Kiri Sosial membuka ruang bagi kawan-kawan yang ingin berkontribusi pada Kirisosial.blog. Kami menerima kontribusi dalam bentuk artikel terjemahan yang memuat tentang inspirasi gerakan yang partisipatif atau tentang inspirasi persatuan. Silahkan kirim terjemahan anda melalui inbox FB atau kirim melalui kirisosial@gmail.com. Terimakasih

Satu-satunya Tujuan Trump: Mengakhiri Chavismo



(diterjemahkan dari “Trump's Only Goal: To End Chavismo”, tulisan Alex Anfruns, tanggal 31 Januari 2019. Link: https://www.telesurenglish.net/opinion/Trumps-Only-Goal-To-End-Chavismo-20190131-0018.html)


Satu-satunya Tujuan Trump: Mengakhiri Chavismo


Delapan bulan setelah pemilu Mei 2018 yang menjadikan Nicolas Maduro sebagai pemenang pemilu dengan lebih dari 6 juta suara (atau 67,8% dan 46% partisipasi), upaya untuk mendeligitimasi pemerintahannya telah berlipat-ganda pada bulan Januari ini. Meskipun terpilih secara demokratis, Presiden Republik Bolivarian Venezuela ini ditentang oleh oposisi… yang menolak berpartisipasi dalam pemilu!

Pada 10 Januari, Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, resmi dilantik. Segera setelahnya, OAS (The Organization of American States) membuat pernyataan yang terus-menerus diulang di media bahwa pelantikan itu “tidak sah”. Penting dicatat bahwa OAS yang bermarkas di Washington ini dipimpin oleh Luis Almagro yang tidak diakui oleh partainya sendiri di Uruguay dan oleh seluruh kekuatan progresif di Amerika Latin. Hebatnya, pemerintahan baru Andrés Manuel Lopez Obrador menolak campur tangan itu dan mengirim perwakilan Meksiko ke acara pelantikan, sembari menjelaskan bahwa kedaulatan adalah prinsip sakral yang diatur dalam Konstitusi Meksiko.



Hari berikutnya, sebelum melakukan hal yang sama kepada Pemerintah Nikaragua yang terpilih dengan 72% suara dan 68% partisipasi, OAS menyatakan bahwa suara 6 juta lebih rakyat Venezuela pada pemilu 2018 tidak berarti apa-apa. Hal ini bertentangan dengan para pengamat seperti mantan Presiden Jimmy Carter yang lembaganya berpartisipasi dalam banyak proses elektoral di Venezuela dan menyebut sistem Venezuela sebagai sistem “terbaik di dunia”.

Pada 15 Januari, Presiden Majelis Nasional Venezuela, Juan Guaidó, memulai rapat pertamanya di majelis dengan menunjuk dirinya sendiri sebagai tokoh utama oposisi dan mengusulkan, dalam agenda pertama rapat, untuk mendeklarasikan presiden Maduro sebagai “perebut kekuasaan”. Agenda kedua? Mendorong militer untuk mengkudeta Maduro. Hal yang tidak mengejutkan dalam suatu upaya kudeta.

Setelah pemberontakan-gagal sekelompok prajurit pada Senin, 21 Januari, bertepatan dengan seruan mendeligitimasi Pemerintah Venezuela oleh presiden oposisi dalam Majelis Nasional dan ancaman berulang-ulang oleh Amerika Serikat, baik pihak oposisi maupun Chavista melakukan demonstrasi pada Rabu, 23 Januari di Caracas. Beberapa hari sebelumnya, pecah kekerasan-terarah, seperti serangan ke Pusat Kebudayaan Robert Serra (Robert Serra Cultural Center)—dinamakan demikian untuk memperingati pembunuhan terhadap deputi Chavista muda itu. Di media sosial, orang-orang menyebarkan gambar patung Chavez yang digantung di seutas benang, sebuah simbol ujaran kebencian yang menyasar jurnalis juga. Madeleine Garcia, seorang reporter TeleSUR yang dikenal karena liputan-liputan politiknya, juga menjadi target karena dugaan keterlibatannya dengan “kediktatoran”. Sehari sebelum aksi jalan-kaki tersebut di atas, 4 orang tewas dalam bentrokan-bentrokan dan penjarahan.

Dan sekarang? Tidak tertutup kemungkinan bahwa oposisi akan mengambil keuntungan dari babak baru konfrontasi dan kekerasan untuk melakukan percobaan kudeta lain dengan dukungan informasi palsu media internasional, seperti yang pernah terjadi pada April 2002. Dalam hal ini, AS kemungkinan sudah siap untuk “menolong rakyat Venezuela memulihkan demokrasi”.

Tradisi putschis oposisi


Sejak kematian Hugo Chavez pada 5 Maret, 2013, pihak oposisi telah menggunakan segala cara yang mungkin untuk mencegah keberlanjutan Chavisme. Bahkan di pemilu pertama saat Nicolas Maduro berhadapan dengan Enrique Caprilles, Caprilles telah menyerukan kepada pemilihnya untuk turun ke jalan setelah hasil pemilu yang menunjukkan kemenangan Maduro diumumkan. Hasilnya, 7 orang dilaporkan tewas. Reaksi ini tidak akan dapat diterima oleh kebanyakan negara, dan oposisi yang melakukannya akan bersalah karena ketiadaan etika dalam proses elektoral dan pemisahan kekuasaan. Namun apapun yang dilakukannya, terlepas dari beratnya kesalahan dan konsekuensinya, oposisi di Venezuela nampaknya mengandalkan dukungan opini publik internasional.

Hanya beberapa bulan kemudian, akhir 2013, Leopoldo Lopez, pemimpin partai sayap kanan-jauh, secara terbuka menyerukan pemberontakan, “La Salida” (The Exit). Mengikuti pola yang sama dengan revolusi-tanpa-kekerasan (color revolution) di Eropa Timur, Lopez meluncurkan serangkaian demonstrasi yang dinyatakan sebagai demonstrasi damai, didukung banjir “informasi palsu” media yang menyembunyikan watak asli mereka yang keras. Hasilnya: 43 orang tewas dan 800 luka-luka. Beberapa bulan setelah gagalnya upaya kudeta ini, Presiden Barack Obama akan campur-tangan pada awal 2015 untuk mengaktifkan dekrit yang menganggap Venezuela sebagai “ancaman luar biasa terhadap keamanan nasional Amerika Serikat.” Pernyataan ini berakar pada intervensi tradisional AS dalam urusan negara-negara yang sejak 1823 dipandang oleh kaum elit AS sebagai “halaman belakang”, sebagaimana secara jelas ditegakkan oleh Doktrin Monroe (Monroe Doctrine).

Dalam pemilu parlemen Desember 2015, oposisi Venezuela memenangkan mayoritas suara dalam Majelis Nasional untuk pertama kalinya sejak terpilihnya Chavez. Kendati ada peningkatan risiko kecurangan dalam minggu-minggu sebelum pemilu, oposisi tidak menentang hasil pemilu bila mereka yang menjadi pemenangnya. Akan tetapi, menyusuli beberapa tuduhan penyimpangan, Mahkamah Agung (Supreme Court of Justice) membatalkan kemenangan tiga anggota parlemen oposisi karena pembelian suara. Terlepas dari fakta bahwa menurut Konstitusi, Majelis Nasional harus tunduk kepada keputusan Mahkamah Agung, presiden Majelis Nasional saat itu, Julio Borges, tetap mengawali masa persidangan justru dengan melantik wakil-wakil yang terkena kasus tersebut. Merasa tidak puas dengan kekuasaan yang telah diperolehnya, oposisi menyatakan bahwa mereka tidak akan menjalankan keputusan-keputusan dari cabang eksekutif, karena menurut mereka pemerintahan Maduro tidak sah dan dia akan segera tumbang. Padahal sekali lagi, peranan yang diberikan oleh Konstitusi kepada Majelis Nasional adalah untuk memastikan berfungsinya secara normal kebijakan-kebijakan publik dengan menyetujui pedoman-pedoman umum eksekutif. Sejak saat itu, pemerintah menuduh oposisi berada dalam situasi “pembangkangan”.

Di tahun 2016, situasi ekonomi sangat cepat memburuk di negara tersebut, terutama karena sebuah model ekonomi yang didasarkan pada ketergantungan pada harga internasional minyak ekspor. Upaya-upaya stabilisasi dalam OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) akan lambat untuk meraih beberapa hasil. Pada saat yang sama, mekanisme-mekasnime “perang ekonomi”, seperti yang dilakukan kepada Allende di Chili atau Sandinista di Nikaragua, telah dikenali, namun mereka diremehkan atau bahkan dianggap sebagai sebuah argumen yang keliru oleh para kritikus Chavism.

Meskipun begitu, sanksi-sanksi keuangan terus meningkat, dan kehadiran Donald Trump pada akhir tahun 2016 tak mengubah keadaan. Pemerintahan Trump kembali ke kebiasaan para pedahulunya dalam politik regional, terutama melalui peranan aktif Organization of American States (OAS), namun juga dengan mencoba melibatkan pemerintahan-pemerintahan sayap-kanan yang baru di wilayah tersebut untuk bekerja sama dalam sebuah serangan kolektif kepada Venezuela, sebagaimana dibuktikan oleh tiga kali kunjungan Mike Pence ke Amerika Latin dan kunjungan lebih belakangan oleh Mike Pompeo ke Amerika Latin.

Pada musim semi 2017, pihak oposisi sekali lagi menyerang dengan mengulangi skema tahun 2014, dan kali ini menyandarkan pada ketidakpuasan rakyat yang dipicu keterpurukan ekonomi. Korban yang meninggal bahkan lebih berat daripada krisis terakhir, kali ini sampai 131 orang.

Namun strategi ini ternyata merupakan sebuah kegagalan baru. Di satu sisi, berkat inisatif pemerintah, yaitu CLAP (Local Committees of Popular Supply) untuk menghadapi kesulitan-kesulitan rakyat. Di sisi lain, langkah-langkah sosial terus berlanjut, sebagaimana dibuktikan dengan penyerahan dua setengah juta unit rumah baru, sebagai bagian dari “Gran Mision Vivienda” (Great Housing Mission) yang dimulai pada tahun 2011. Di atas segalanya, Maduro memiliki keberanian untuk menghentikan siklus kekerasan baru ini dengan meminta partisipasi warga melalui seruan bagi sebuah referendum untuk mendukung sebuah Majelis Konstituante. Langkah ini berhasil memobilisasi rakyat yang mendukung perdamaian dan pemulihan normalitas demokrasi.

Terpecah, pihak oposisi, yang dikejutkan oleh langkah jitu tersebut, saat itu harus mundur. Terlepas dari persaingan-persaingan internal dan keraguan mengenai perlunya memastikan kepentingan-kepentingannya terwakili, pihak oposisi kembali berlindung dalam penyangkalan menyusul pengumuman hasil pemilihan presiden baru 2018. Melihat dukungan rakyat yang masih dimiliki oleh Chavism, Trump kemudian mendeklarasikan bahwa Amerika Serikat (AS) memiliki sebuah “opsi militer” untuk Venezuela. Tahun lalu, Pejabat-pejabat AS mengakui bahwa “pemerintah Trump mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia dengan pemberontak militer Venezuela untuk mendiskusikan rencana-rencana untuk menggulingkan Presiden Nicolás Maduro”.

Strategi kekacauan untuk Karibia


Setelah penerbangan ke luar negeri banyak tokoh oposisi yang ditarget oleh surat perintah penahanan, seperti Julio Borges dan Antonio Ledezma, Venezuela terus-menerus dihadapkan pada sebuah kampanye media yang menanamkan gagasan dalam opini publik internasional bahwa negara ini adalah sebuah negara diktator.

Presiden baru Majelis Nasional Venezuela, yaitu Juan Guaido, tidak berimprovisasi ketika pada tanggal 15 Januari, ia memulai agenda pertama Majelis Nasional, dengan tujuan sebuah “persetujuan tentang deklarasi mengenai perebutan kekuasaan Kepresidenan Venezuela dan penerapan Konstitusi untuk memulihkannya” pada poin pertama, dan sebuah “Dekrit untuk memberikan Amnesti dan jaminan-jaminan Konstitusi kepada militer dan warga sipil yang akan membantu mempertahankan Konstitusi itu” pada poin kedua.

Pada hari Selasa tanggal 23, dalam sebuah pesan campur-tangan terang-terangan, Wakil Presiden AS Mike Pence mendorong beberapa orang Venezuela untuk turun ke jalanan untuk “memulihkan demokrasi dan kebebasan”. Dengan kata lain, untuk menghancurkan Venezuela, seperti negara-negara Amerika Selatan lainnya. Setelah begitu banyak intervensi, apakah demokrasi sempurna yang dikehendaki oleh AS akan serupa Ukraina, Honduras, Libya atau Afghanistan? Pada poin ini, bukanlah rahasia bahwa multilateralisme Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidaklah sesuai dengan selera AS. Ilusi yang dimiliki sebagian orang tentang pemerintahan Presiden Obama telah hancur-lebur. Janjinya untuk menutup Guantanamo hanyalah tabir asap.

Di banyak negara Eropa, Venezuela telah digunakan untuk menakut-nakuti para pemilih, membuat mereka yang tergoda oleh seorang kandidat progresif menjadi percaya bahwa pengalaman Bolivarian tidak akan menguntungkan rakyat mereka. Dengan bertindak secara karikatural, sayap kanan internasional dan siaran-siaran medianya dengan sengaja telah menyembunyikan fakta yang tidak dapat disangkal mengenai pengurangan ketidaksetaraan sosial yang merupakan ciri kebijakan pemerintah Venezuela, seperti hak atas perumahan atau pendidikan. Berfokus pada realitas mengenai permasalahan-permasalahan ekonomi dan aspek-aspek sensasionalnya, ketimbang mencoba menjelaskan alasan-alasan kompleks situasi ini, media telah merekayasa citra sebuah Venezuela yang dijerumuskan ke dalam kekacauan demi tujuan politik.

Oposisi politik Venezuela, yang sekarang ini diwakili oleh Juan Guaido, tidak hanya menyambut secara terbuka dukungan eksternal apa pun, terutama tradisi yang telah menjadi interferensi, namun justru tergantung padanya untuk bertahan hidup! Bahwa Uni Eropa, pemerintah Prancis, dan negara-negara lainnya dengan sangat jelas menentang hukum internasional dan kedaulatan yang menjadi dasar perdamaian, maupun penghormatan penuh kepada hak asasi manusia, harus menjadi keprihatinan besar bagi kita.

Ketika media tertentu mengutip proklamasi-diri seorang oponen di Venezuela yang menolak pemisahan antara kekuasaan dan Konstitusi, dan membenarkan seruannya untuk berontak guna membantunya mendapatkan dukungan eksternal, ini bukanlah informasi, melainkan perang propaganda. Kemanusiaan sedang mengalami tantangan-tantangan serius. Hak atas informasi yang adil dan objektif adalah urusan semua orang. Setelah begitu banyak perang dan kudeta yang dimungkinkan oleh pemerintah-pemerintah kita dan yang catatannya tidak pernah dibuat, ekspresi solidaritas antara kaum red/yellow vests yang geram dan pemberontak, perlawanan-perlawanan setempat dan orang-orang Amerika yang di bawah ancaman adalah kemungkinan paling kecil yang masih kita miliki.

No comments

Powered by Blogger.