John Pilger: Perang di Venezuela Dibangun di Atas Kebohongan
Perang di Venezuela Dibangun di Atas Kebohongan
"Rakyat yang menyelamatkan saya. Mereka mampu melakukannya walau media melawan saya, bahkan mencegah mengungkapkan fakta-fakta tentang apa yang terjadi. Ini adalah kisah heorik dalam dunia demokrasi populer." kata Chavez kepada saya.
Dalam analisis ini, John Pilger menelisik dan membahas kembali ke masa-masa kekuasaan Chavez di Venezuela, termasuk perjalanannya bersama dengan Hugo Chavez, sampai dengan masa kampanye AS dan Eropa terkini untuk menggulingkan Nicolas Maduro dalam 'kudeta oleh media' dan untuk mengembalikan Amerika Latin ke abad 19 dan 20.
Selama bepergian mengiringi Hugo Chavez, saya segera memahami ancaman Venezuela. Di sebuah koperasi pertanian di negara bagian Lara, di bawah terik matahari orang-orang menunggu dengan sabar sambil bersenda gurau. Kendi air dan jus melon diedarkan. Gitar dimainkan; seorang perempuan, Katarina, berdiri dan bernyanyi dengan suara serak.
"Apa arti syair lagunya?" Saya bertanya.
"Bahwa kita bangga," jawabnya.
Tepuk tangan untuknya berbarengan dengan kedatangan rombongan Chavez. Dia tampak membawa tas selempang berisi buku-buku. Dia mengenakan baju merah besar dan menyapa orang-orang dengan namanya, dan berhenti untuk mendengarkan. Yang mengejutkan saya adalah kemampuannya untuk mendengarkan.
Tapi sekarang dia membaca. Selama hampir dua jam dia membaca ke mikrofon dari tumpukan buku di sampingnya: Orwell, Dickens, Tolstoy, Zola, Hemingway, Chomsky, Neruda: satu halaman di sini, satu atau dua baris di sana. Orang-orang bertepuk tangan dan bersiul saat dia pindah dari penulis ke penulis.
Kemudian perwakilan petani maju mengambil mikrofon dan memberi tahu apa yang mereka ketahui, dan apa yang mereka butuhkan; dia adalah sesosok wajah renta, seolah diukir dari pohon di dekatnya, membuat pidato panjang dan kritis tentang masalah irigasi; Chavez mencatat.
Disini ditanam anggur, jenis Syrah yang gelap. "John, John, cepat ke sini," kata El Presidente, setelah melihatku terkantuk-kantuk di bawah teriknya matahari dan terbenam dalam buku Oliver Twist.
"Dia suka anggur merah," kata Chavez kepada hadirin yang bersorak, bersiul, dan memberi saya sebotol "vino de la gente". Beberapa pata kata ucapan saya dalam bahasa Spanyol yang buruk membuat mereka tertawa.
Mengamati gaya Chavez saat bertemu rakyatnya, terlihat bagaimana dia adalah sosok yang ketika membuat janji, saat mulai berkuasa, bahwa setiap langkahnya diabdikan sepenuhnya pada kehendak rakyat. Dalam delapan tahun, Chavez memenangkan delapan kali pemilu dan referendum: rekor dunia. Dia secara elektoral adalah kepala negara paling populer di Belahan Barat, mungkin di dunia.
Semua usulan program penting reformasi chavista disetujui, sebuah konstitusi baru yang disetujui oleh 71 persen suara rakyat (melalui referendum), yang di dalamnya termasuk 396 pasal yang mengatur kebebasan yang belum pernah didengar sebelumnya, seperti Pasal 123, yang untuk pertama kalinya mengakui hak asasi dari ras campuran, dan orang kulit hitam, dimana Chavez adalah salah satunya.
Kemudian perwakilan petani maju mengambil mikrofon dan memberi tahu apa yang mereka ketahui, dan apa yang mereka butuhkan; dia adalah sesosok wajah renta, seolah diukir dari pohon di dekatnya, membuat pidato panjang dan kritis tentang masalah irigasi; Chavez mencatat.
Disini ditanam anggur, jenis Syrah yang gelap. "John, John, cepat ke sini," kata El Presidente, setelah melihatku terkantuk-kantuk di bawah teriknya matahari dan terbenam dalam buku Oliver Twist.
"Dia suka anggur merah," kata Chavez kepada hadirin yang bersorak, bersiul, dan memberi saya sebotol "vino de la gente". Beberapa pata kata ucapan saya dalam bahasa Spanyol yang buruk membuat mereka tertawa.
Mengamati gaya Chavez saat bertemu rakyatnya, terlihat bagaimana dia adalah sosok yang ketika membuat janji, saat mulai berkuasa, bahwa setiap langkahnya diabdikan sepenuhnya pada kehendak rakyat. Dalam delapan tahun, Chavez memenangkan delapan kali pemilu dan referendum: rekor dunia. Dia secara elektoral adalah kepala negara paling populer di Belahan Barat, mungkin di dunia.
Semua usulan program penting reformasi chavista disetujui, sebuah konstitusi baru yang disetujui oleh 71 persen suara rakyat (melalui referendum), yang di dalamnya termasuk 396 pasal yang mengatur kebebasan yang belum pernah didengar sebelumnya, seperti Pasal 123, yang untuk pertama kalinya mengakui hak asasi dari ras campuran, dan orang kulit hitam, dimana Chavez adalah salah satunya.
Dalam salah satu ‘pengajarannya’ di depan rakyat dia mengutip seorang penulis feminis: "Cinta dan solidaritas itu sama." Para pendengarnya dapat memahaminya, dan menampilkan diri mereka di depan Chavez secara bermartabat, bukan segan. Rakyat menganggap Chavez dan pemerintahannya sebagai jagoan mereka: sebagai milik mereka.
Ini terutama berlaku bagi orang pribumi, mestizos dan Afro-Venezuela, yang sebelumnya dipandang secara hinda oleh pendahulu Chavez, dan juga oleh mereka yang hidup jauh dari perkampungan miskin kota, di perumahan dan apartemen mewah di Caracas Timur, yang selalu bepergian ke Miami tempat harta mereka disimpan, dan yang menganggap diri mereka "putih". Mereka inilah inti dari apa yang disebut media sebagai "oposisi".
Ketika saya bertemu klas masyarakat ini, di Country Club pinggiran kota, di rumah-rumah mewah ber-lampu gantung rendah, saya langsung mengenalinya. Mereka ini sejenis dengan orang kulit putih Afrika Selatan, borjuis kecil Constantia dan Sandton, pilar kekejaman apartheid.
Kartunis dalam pers Venezuela, yang sebagian besar dimiliki oleh oligarki dan penentang pemerintah, menggambarkan Chavez sebagai kera. Seorang host radio menyebutnya "si monyet". Di universitas-universitas swasta, sudah menjadi kebiasaan bagi anak-anak orang kaya untuk memberi komentar rasis pada mereka yang gubuk-gubuknya terlihat dibalik kabut polusi.
Walaupun politik identitas paling digemari dan sering muncul di halaman-halaman surat kabar liberal di Barat, ‘ras’ dan ‘kelas’ adalah dua kata yang tidak pernah diucapkan dalam cakupan "liputan" yang berafilisasi ke Washington, dalam upaya terang-terangan AS mengambil sumber minyak terbesar dunia dan merebut kembali "halaman belakang" mereka.
Dari semua kesalahan para chavista—seperti membiarkan ekonomi Venezuela tergantung oleh kekayaan minyak dan tidak pernah secara serius menantang para pemodal besar dan praktek korupsi—mereka membawa keadilan sosial dan kebanggaan bagi jutaan orang, dan melakukannya lewat demokrasi. Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"Dari 92 pemilu yang telah kami pantau," kata mantan Presiden Jimmy Carter (Carter Center adalah lembaga pemantau pemilu yang disegani di seluruh dunia), "Saya bisa mengatakan proses pemilu di Venezuela adalah yang terbaik di dunia." Sebaliknya, kata Carter, sistem pemilu AS, dengan penekanannya pada biaya kampanye, "adalah salah satu yang terburuk".
Dalam memperluas program-programnya ke dalam kekuasaan rakyat komunal yang sejajar, dia meletakan basisnya pada perkampungan-perkampungan yang termiskin. Chavez menggambarkan demokrasi Venezuela sebagai "versi kami dari gagasan Rousseau tentang kedaulatan rakyat".
Di perkampungan miskin kota La Linea, duduk di dapur mungilnya, Beatrice Balazo mengatakan kepada saya bahwa anak-anaknya adalah generasi pertama kaum miskin yang bisa bersekolah secara formal, dengan diberi makan siang, dan belajar musik, seni, dan menari. "Aku dapat melihat kepercayaan diri mereka berkembang seperti bunga," katanya.
Di perkampungan miskin kota La Vega, saya mendengarkan seorang perawat, Mariella Machado, seorang perempuan kulit hitam berusia 45 tahun dengan tawa ganjil, berbicara kepada dewan pertanahan kota tentang berbagai masalah mulai dari tunawisma hingga perang ilegal. Hari itu, mereka meluncurkan Mision Madres de Barrio, sebuah program yang ditujukan bagi para janda miskin. Di bawah undang-undang itu, mereka memiliki hak untuk mendapatkan bantuan, dan meminjam dari bank khusus perempuan. Sekarang para janda termiskin mendapatkan $ 200 per bulan.
Di sebuah ruangan yang diterangi lampu neon, saya bertemu Ana Lucia Ferandez, berusia 86 tahun, dan Mavis Mendez, 95 tahun. Kemudian datang seorang permpuan berusia 33 tahun, Sonia Alvarez, bersama kedua anaknya. Awalnya, tidak satupun dari mereka bisa membaca dan menulis; sekarang mereka sedang belajar matematika. Untuk pertama kali dalam sejarahnya, Venezuela memiliki hampir 100 persen angka melek huruf.
Ini adalah berkat Mision Robinson, yang dirancang untuk orang dewasa dan remaja yang sebelumnya tidak dapat mengenyam pendidikan karena miskin. Mision Ribas memberi setiap orang kesempatan mengenyam pendidikan hingga ke tingkat SMA, yang disebut bachillerato. (Nama Robinson dan Ribas merujuk pada para pemimpin kemerdekaan Venezuela dari abad ke-19).
Dalam 95 tahun hidupnya, Mavis Mendez telah menyaksikan beragam pemerintahan Venezuela, yang sebagian besar merupakan pengikut Washington, yang memimpin pencurian milyaran dolar rampasan minyak, yang sebagian besar diterbangkan ke Miami. "Dalam kacamata kemanusiaan kami ini tidak penting," katanya. "Kami hidup dan mati tanpa pendidikan dan air yang mengalir, tanpa makanan yang tidak sanggup kami cukupi. Ketika kami jatuh sakit, yang terlemah meninggal. Sekarang saya dapat membaca dan menulis nama saya, dan banyak lagi; dan apa pun yang dikatakan para orang kaya dan media, kami telah menanam benih-benih demokrasi sejati dan saya senang melihatnya terjadi. "
Pada tahun 2002, selama proses kudeta yang didukung Washington, putra dan cucu Mavis serta cicit-cicitnya bergabung bersama ratusan ribu rakyat turun dari perkampungan miskin kota di lereng bukit dan menuntut tentara tetap loyal kepada Chavez.
Ini terutama berlaku bagi orang pribumi, mestizos dan Afro-Venezuela, yang sebelumnya dipandang secara hinda oleh pendahulu Chavez, dan juga oleh mereka yang hidup jauh dari perkampungan miskin kota, di perumahan dan apartemen mewah di Caracas Timur, yang selalu bepergian ke Miami tempat harta mereka disimpan, dan yang menganggap diri mereka "putih". Mereka inilah inti dari apa yang disebut media sebagai "oposisi".
Ketika saya bertemu klas masyarakat ini, di Country Club pinggiran kota, di rumah-rumah mewah ber-lampu gantung rendah, saya langsung mengenalinya. Mereka ini sejenis dengan orang kulit putih Afrika Selatan, borjuis kecil Constantia dan Sandton, pilar kekejaman apartheid.
Kartunis dalam pers Venezuela, yang sebagian besar dimiliki oleh oligarki dan penentang pemerintah, menggambarkan Chavez sebagai kera. Seorang host radio menyebutnya "si monyet". Di universitas-universitas swasta, sudah menjadi kebiasaan bagi anak-anak orang kaya untuk memberi komentar rasis pada mereka yang gubuk-gubuknya terlihat dibalik kabut polusi.
Walaupun politik identitas paling digemari dan sering muncul di halaman-halaman surat kabar liberal di Barat, ‘ras’ dan ‘kelas’ adalah dua kata yang tidak pernah diucapkan dalam cakupan "liputan" yang berafilisasi ke Washington, dalam upaya terang-terangan AS mengambil sumber minyak terbesar dunia dan merebut kembali "halaman belakang" mereka.
Dari semua kesalahan para chavista—seperti membiarkan ekonomi Venezuela tergantung oleh kekayaan minyak dan tidak pernah secara serius menantang para pemodal besar dan praktek korupsi—mereka membawa keadilan sosial dan kebanggaan bagi jutaan orang, dan melakukannya lewat demokrasi. Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"Dari 92 pemilu yang telah kami pantau," kata mantan Presiden Jimmy Carter (Carter Center adalah lembaga pemantau pemilu yang disegani di seluruh dunia), "Saya bisa mengatakan proses pemilu di Venezuela adalah yang terbaik di dunia." Sebaliknya, kata Carter, sistem pemilu AS, dengan penekanannya pada biaya kampanye, "adalah salah satu yang terburuk".
Dalam memperluas program-programnya ke dalam kekuasaan rakyat komunal yang sejajar, dia meletakan basisnya pada perkampungan-perkampungan yang termiskin. Chavez menggambarkan demokrasi Venezuela sebagai "versi kami dari gagasan Rousseau tentang kedaulatan rakyat".
Di perkampungan miskin kota La Linea, duduk di dapur mungilnya, Beatrice Balazo mengatakan kepada saya bahwa anak-anaknya adalah generasi pertama kaum miskin yang bisa bersekolah secara formal, dengan diberi makan siang, dan belajar musik, seni, dan menari. "Aku dapat melihat kepercayaan diri mereka berkembang seperti bunga," katanya.
Di perkampungan miskin kota La Vega, saya mendengarkan seorang perawat, Mariella Machado, seorang perempuan kulit hitam berusia 45 tahun dengan tawa ganjil, berbicara kepada dewan pertanahan kota tentang berbagai masalah mulai dari tunawisma hingga perang ilegal. Hari itu, mereka meluncurkan Mision Madres de Barrio, sebuah program yang ditujukan bagi para janda miskin. Di bawah undang-undang itu, mereka memiliki hak untuk mendapatkan bantuan, dan meminjam dari bank khusus perempuan. Sekarang para janda termiskin mendapatkan $ 200 per bulan.
Di sebuah ruangan yang diterangi lampu neon, saya bertemu Ana Lucia Ferandez, berusia 86 tahun, dan Mavis Mendez, 95 tahun. Kemudian datang seorang permpuan berusia 33 tahun, Sonia Alvarez, bersama kedua anaknya. Awalnya, tidak satupun dari mereka bisa membaca dan menulis; sekarang mereka sedang belajar matematika. Untuk pertama kali dalam sejarahnya, Venezuela memiliki hampir 100 persen angka melek huruf.
Ini adalah berkat Mision Robinson, yang dirancang untuk orang dewasa dan remaja yang sebelumnya tidak dapat mengenyam pendidikan karena miskin. Mision Ribas memberi setiap orang kesempatan mengenyam pendidikan hingga ke tingkat SMA, yang disebut bachillerato. (Nama Robinson dan Ribas merujuk pada para pemimpin kemerdekaan Venezuela dari abad ke-19).
Dalam 95 tahun hidupnya, Mavis Mendez telah menyaksikan beragam pemerintahan Venezuela, yang sebagian besar merupakan pengikut Washington, yang memimpin pencurian milyaran dolar rampasan minyak, yang sebagian besar diterbangkan ke Miami. "Dalam kacamata kemanusiaan kami ini tidak penting," katanya. "Kami hidup dan mati tanpa pendidikan dan air yang mengalir, tanpa makanan yang tidak sanggup kami cukupi. Ketika kami jatuh sakit, yang terlemah meninggal. Sekarang saya dapat membaca dan menulis nama saya, dan banyak lagi; dan apa pun yang dikatakan para orang kaya dan media, kami telah menanam benih-benih demokrasi sejati dan saya senang melihatnya terjadi. "
Pada tahun 2002, selama proses kudeta yang didukung Washington, putra dan cucu Mavis serta cicit-cicitnya bergabung bersama ratusan ribu rakyat turun dari perkampungan miskin kota di lereng bukit dan menuntut tentara tetap loyal kepada Chavez.
"Rakyat yang menyelamatkan saya," kata Chavez kepada saya. "Mereka mampu melakukannya walau media melawan saya, bahkan mencegah mengungkapkan fakta-fakta tentang apa yang terjadi. Ini adalah kisah heorik dalam dunia demokrasi populer."
Sejak kematian Chavez pada tahun 2013, penggantinya, Nicolas Maduro, telah melepaskan diri dari label cemoohan media Barat: "mantan sopir bus", dan menjadi inkarnasi Saddam Hussein. Serangan media-media tersebut sungguh konyol. Di bawah pemerintahannya, penurunan harga minyak telah menyebabkan inflasi yang tinggi dan mengacaukan harga di masyarakat yang hampir semua makanannya dari import; namun, seperti yang dilaporkan wartawan dan pembuat film Pablo Navarrete minggu ini, Venezuela tidak lah sekacau yang digambarkan media barat. "Ada banyak makanan di mana-mana," tulisnya. "Saya telah merekam banyak video makanan di pasar [di seluruh Caracas] ... ini hari Jumat malam dan restorannya penuh."
Pada 2018, Maduro terpilih kembali sebagai Presiden. Salah satu faksi oposisi memboikot pemilu ini, sebuah taktik yang dicoba untuk melawan Chavez. Boikot itu gagal: 9.389.056 orang memilih; enam belas partai berpartisipasi, dan enam kandidat mencalonkan diri sebagai presiden. Maduro memenangkan 6.248.864 suara, atau 67,84 persen.
Pada hari pemilihan, saya berbicara dengan salah satu dari 150 pemantau asing. "Itu sepenuhnya adil," katanya. "Tidak ada penipuan; tidak satu pun klaim buruk media-media barat yang terbukti. Nol. Benar-benar menakjubkan."
Seperti sebuah babak dalam jamuan teh di Alice in Wonderland, pemerintahan Trump memunculkan Juan Guaido, sebuah ciptaan pop-up dari CIA—lewat naungan lembaga NED (National Endowment for Democracy), sebagai "Presiden sah Venezuela". Dan menurut survey The Nation, 81 persen rakyat Venezuela belum pernah mendengar nama Juan Guaido. Dia tidak dipilih oleh siapapun.
Maduro "tidak sah", kata Trump (yang memenangkan kursi kepresidenan AS dengan tiga juta suara lebih sedikit dari lawannya), dia seorang "diktator", kata wakil presiden Mike Pence—yang menanti-nantikan durian runtuh dari minyak Venezuela. John Bolton, penasihat Trump (yang ketika saya mewawancarainya pada tahun 2003 mengatakan, "Hei, apakah Anda seorang komunis, mungkin bahkan Buruh?"), mengatakan soal Venezuela adalah soal “keamanan nasional”.
Sebagai "utusan khusus untuk Venezuela" (title bagi master kudeta), Trump telah menunjuk seorang penjahat terpidana, Elliot Abrams, yang dengan skenarionya saat melayani Presiden Reagan dan George W. Bush membantu menghasilkan skandal Contra-Iran pada 1980-an dan menjerumuskan Amerika tengah ke tahun-tahun kelam berlumuran darah.
Mari kesampingkan dulu dongeng Lewis Carroll—Alice in Wonderland—yang kegilaannya menghebohkan berita tahun 1930-an. Namun bahkan kebohongan-kebohongan mereka tentang Venezuela ditelan mentah-mentah dengan penuh semangat oleh mereka yang dibayar guna membuatnya seakan sebagai kebenaran.
Pada siaran berita Channel 4, Jon Snow meneriaki anggota parlemen dari Partai Buruh, Chris Williamson, "Lihat, Anda dan Mr Corbyn berada di sisi yang salah [di Venezuela, karena memihak Maduro]!" Ketika Williamson mencoba menjelaskan mengapa mengancam negara berdaulat adalah salah, Snow memotongnya, dan mengakhiri sambungan telepon.
Pada tahun 2006, Channel 4 News secara massif menuduh Chavez merencanakan membuat senjata nuklir dengan Iran: sebuah fantasi. Koresponden Washington saat itu, Jonathan Rugman, membiarkan seorang penjahat perang, Donald Rumsfeld, untuk menyamakan Chavez dengan Hitler, tanpa membantahnya.
Para peneliti di University of the West of England mempelajari laporan BBC tentang Venezuela selama sepuluh tahun. Mereka memeriksa 304 laporan dan menemukan bahwa hanya tiga di antaranya yang merujuk pada kebijakan positif pemerintah. Bagi BBC, catatan demokrasi Venezuela, undang-undang hak asasi manusia, program makanan, inisiatif layanan kesehatan dan pengurangan kemiskinan tidak terjadi. Bagi BBC, program pemberantasan buta aksara terbesar dalam sejarah manusia tidak terjadi, seperti halnya jutaan orang yang longmarch mendukung Maduro dan mengenang Chavez, tidak ada.
Ketika ditanya mengapa dia hanya merekam pawai oposisi, reporter BBC Orla Guerin men-tweet bahwa terlalu sulit untuk berada di dua pawai dalam satu hari.
Perang media telah dikumandangkan pada Venezuela, yang kebenarannya "terlalu sulit" untuk dilaporkan.
Terlalu sulit untuk melaporkan bahwa jatuhnya harga minyak sejak 2014 sebagian besar akibat intrik kriminal oleh Wall Street. Terlalu sulit untuk melaporkan pemblokiran akses Venezuela ke sistem keuangan internasional yang didominasi AS sebagai sabotase. Terlalu sulit untuk melaporkan "sanksi" Washington terhadap Venezuela, yang telah menyebabkan hilangnya $ 6 milyar pendapatan Venezuela sejak 2017, termasuk obat-obatan import senilai $ 2 milyar, sebagai tindakan illegal AS. Atau, penolakan Bank of England untuk mengembalikan cadangan emas Venezuela sebagai sebuah tindakan pembajakan.
Mantan reporter PBB, Alfred de Zayas, menyamakan ini dengan "pengepungan abad pertengahan" yang dirancang "untuk membuat sebuah negara bertekuk lutut". Ini adalah serangan kriminal, katanya. Hal ini mirip dengan yang dihadapi oleh Salvador Allende pada tahun 1970 ketika Presiden Richard Nixon dan yang setara dengan John Bolton, Henry Kissinger, berangkat untuk "membuat ekonomi [Chili] menjerit". Yang selanjutnya diikuti oleh masa-masa kelam kekuasaan Pinochet.
Koresponden Guardian, Tom Phillips, mentweet gambar dirinya memakai topi dengan kata-kata ber bahasa slang Spanyol: "Make Venezuela fucking cool again." Reporter sebagai badut mungkin merupakan fase akhir dari degenerasi jurnalisme mainstream.
Jika kaki tangan CIA, Guaido, dan supremasi kulit putihnya merebut kekuasaan, itu akan menjadi penggulingan ke-68 pemerintahan berdaulat oleh Amerika Serikat. Kebanyakan dari mereka adalah negara demokrasi. Hal yang akan mengikutinya pasti obral besar-besaran kekayaan mineral Venezuela, bersama dengan pencurian minyak negara itu, sebagaimana digariskan oleh John Bolton.
Di bawah pemerintahan pro-Washington yang terakhir, angka kemiskinan di Venezuela menjadi yang tertinggi dalam sejarah. Tidak ada layanan kesehatan bagi mereka yang miskin. Tidak ada pendidikan bagi semua rakyat; Mavis Mendez, dan jutaan orang seperti dia, tidak akan bisa membaca atau menulis. How cool is that, Tom?
Sejak kematian Chavez pada tahun 2013, penggantinya, Nicolas Maduro, telah melepaskan diri dari label cemoohan media Barat: "mantan sopir bus", dan menjadi inkarnasi Saddam Hussein. Serangan media-media tersebut sungguh konyol. Di bawah pemerintahannya, penurunan harga minyak telah menyebabkan inflasi yang tinggi dan mengacaukan harga di masyarakat yang hampir semua makanannya dari import; namun, seperti yang dilaporkan wartawan dan pembuat film Pablo Navarrete minggu ini, Venezuela tidak lah sekacau yang digambarkan media barat. "Ada banyak makanan di mana-mana," tulisnya. "Saya telah merekam banyak video makanan di pasar [di seluruh Caracas] ... ini hari Jumat malam dan restorannya penuh."
Pada 2018, Maduro terpilih kembali sebagai Presiden. Salah satu faksi oposisi memboikot pemilu ini, sebuah taktik yang dicoba untuk melawan Chavez. Boikot itu gagal: 9.389.056 orang memilih; enam belas partai berpartisipasi, dan enam kandidat mencalonkan diri sebagai presiden. Maduro memenangkan 6.248.864 suara, atau 67,84 persen.
Pada hari pemilihan, saya berbicara dengan salah satu dari 150 pemantau asing. "Itu sepenuhnya adil," katanya. "Tidak ada penipuan; tidak satu pun klaim buruk media-media barat yang terbukti. Nol. Benar-benar menakjubkan."
Seperti sebuah babak dalam jamuan teh di Alice in Wonderland, pemerintahan Trump memunculkan Juan Guaido, sebuah ciptaan pop-up dari CIA—lewat naungan lembaga NED (National Endowment for Democracy), sebagai "Presiden sah Venezuela". Dan menurut survey The Nation, 81 persen rakyat Venezuela belum pernah mendengar nama Juan Guaido. Dia tidak dipilih oleh siapapun.
Maduro "tidak sah", kata Trump (yang memenangkan kursi kepresidenan AS dengan tiga juta suara lebih sedikit dari lawannya), dia seorang "diktator", kata wakil presiden Mike Pence—yang menanti-nantikan durian runtuh dari minyak Venezuela. John Bolton, penasihat Trump (yang ketika saya mewawancarainya pada tahun 2003 mengatakan, "Hei, apakah Anda seorang komunis, mungkin bahkan Buruh?"), mengatakan soal Venezuela adalah soal “keamanan nasional”.
Sebagai "utusan khusus untuk Venezuela" (title bagi master kudeta), Trump telah menunjuk seorang penjahat terpidana, Elliot Abrams, yang dengan skenarionya saat melayani Presiden Reagan dan George W. Bush membantu menghasilkan skandal Contra-Iran pada 1980-an dan menjerumuskan Amerika tengah ke tahun-tahun kelam berlumuran darah.
Mari kesampingkan dulu dongeng Lewis Carroll—Alice in Wonderland—yang kegilaannya menghebohkan berita tahun 1930-an. Namun bahkan kebohongan-kebohongan mereka tentang Venezuela ditelan mentah-mentah dengan penuh semangat oleh mereka yang dibayar guna membuatnya seakan sebagai kebenaran.
Pada siaran berita Channel 4, Jon Snow meneriaki anggota parlemen dari Partai Buruh, Chris Williamson, "Lihat, Anda dan Mr Corbyn berada di sisi yang salah [di Venezuela, karena memihak Maduro]!" Ketika Williamson mencoba menjelaskan mengapa mengancam negara berdaulat adalah salah, Snow memotongnya, dan mengakhiri sambungan telepon.
Pada tahun 2006, Channel 4 News secara massif menuduh Chavez merencanakan membuat senjata nuklir dengan Iran: sebuah fantasi. Koresponden Washington saat itu, Jonathan Rugman, membiarkan seorang penjahat perang, Donald Rumsfeld, untuk menyamakan Chavez dengan Hitler, tanpa membantahnya.
Para peneliti di University of the West of England mempelajari laporan BBC tentang Venezuela selama sepuluh tahun. Mereka memeriksa 304 laporan dan menemukan bahwa hanya tiga di antaranya yang merujuk pada kebijakan positif pemerintah. Bagi BBC, catatan demokrasi Venezuela, undang-undang hak asasi manusia, program makanan, inisiatif layanan kesehatan dan pengurangan kemiskinan tidak terjadi. Bagi BBC, program pemberantasan buta aksara terbesar dalam sejarah manusia tidak terjadi, seperti halnya jutaan orang yang longmarch mendukung Maduro dan mengenang Chavez, tidak ada.
Ketika ditanya mengapa dia hanya merekam pawai oposisi, reporter BBC Orla Guerin men-tweet bahwa terlalu sulit untuk berada di dua pawai dalam satu hari.
Perang media telah dikumandangkan pada Venezuela, yang kebenarannya "terlalu sulit" untuk dilaporkan.
Terlalu sulit untuk melaporkan bahwa jatuhnya harga minyak sejak 2014 sebagian besar akibat intrik kriminal oleh Wall Street. Terlalu sulit untuk melaporkan pemblokiran akses Venezuela ke sistem keuangan internasional yang didominasi AS sebagai sabotase. Terlalu sulit untuk melaporkan "sanksi" Washington terhadap Venezuela, yang telah menyebabkan hilangnya $ 6 milyar pendapatan Venezuela sejak 2017, termasuk obat-obatan import senilai $ 2 milyar, sebagai tindakan illegal AS. Atau, penolakan Bank of England untuk mengembalikan cadangan emas Venezuela sebagai sebuah tindakan pembajakan.
Mantan reporter PBB, Alfred de Zayas, menyamakan ini dengan "pengepungan abad pertengahan" yang dirancang "untuk membuat sebuah negara bertekuk lutut". Ini adalah serangan kriminal, katanya. Hal ini mirip dengan yang dihadapi oleh Salvador Allende pada tahun 1970 ketika Presiden Richard Nixon dan yang setara dengan John Bolton, Henry Kissinger, berangkat untuk "membuat ekonomi [Chili] menjerit". Yang selanjutnya diikuti oleh masa-masa kelam kekuasaan Pinochet.
Koresponden Guardian, Tom Phillips, mentweet gambar dirinya memakai topi dengan kata-kata ber bahasa slang Spanyol: "Make Venezuela fucking cool again." Reporter sebagai badut mungkin merupakan fase akhir dari degenerasi jurnalisme mainstream.
Jika kaki tangan CIA, Guaido, dan supremasi kulit putihnya merebut kekuasaan, itu akan menjadi penggulingan ke-68 pemerintahan berdaulat oleh Amerika Serikat. Kebanyakan dari mereka adalah negara demokrasi. Hal yang akan mengikutinya pasti obral besar-besaran kekayaan mineral Venezuela, bersama dengan pencurian minyak negara itu, sebagaimana digariskan oleh John Bolton.
Di bawah pemerintahan pro-Washington yang terakhir, angka kemiskinan di Venezuela menjadi yang tertinggi dalam sejarah. Tidak ada layanan kesehatan bagi mereka yang miskin. Tidak ada pendidikan bagi semua rakyat; Mavis Mendez, dan jutaan orang seperti dia, tidak akan bisa membaca atau menulis. How cool is that, Tom?
No comments
Post a Comment