Solidaritas Rakyat Indonesia untuk Venezuela
Pernyataan Solidaritas untuk Rakyat Venezuela
Rakyat Indonesia Desak Amerika Serikat Hentikan Imperialisme di Venezuela
Usaha kudeta dengan dukungan dari Amerika Serikat kembali terjadi di Venezuela. Upaya kudeta baru-baru ini dimulai dengan pemberontakan sejumlah perwira Garda Nasional pada Senin, 21 Januari 2019. Pemberontakan ini berhasil dipatahkan. Tetapi kemudian disusul dengan sejumlah demonstrasi hingga pihak oposisi melanjutkan serangan politiknya.
Juan Guaido, pemimpin oposisi dan sekaligus ketua Majelis Nasional segera memproklamirkan diri sebagai presiden interim pada Rabu 23 Januari 2019. Ia menggunakan alibi keadaan darurat di konstitusi yang mengizinkan ketua majelis nasional mengambil alih kekuasaan sementara dan menggelar pemilu dalam waktu 30 hari. Pemimpin oposisi ini juga menyerukan kepada tentara untuk berpisah dari pemerintahan Maduro.
Pemerintah Amerika Serikat di bawah Donald Trump, menyatakan pengakuan terhadap kepemimpinan Guaido yang tidak syah ini. Disusul kemudian pengakuan yang sama oleh negara-negara sekutu AS seperti Brasil, Kolombia, Peru, Kanada, dan Israel serta organisasi kawasan di bawah pengaruh AS seperti Organisasi Negara-negara Amerika.
Salah satu argumen yang dikemukakan mereka adalah jumlah pemilih yang di bawah 50 persen akibat boikot dari koalisi oposisi sayap kanan Democratic Unity Roundtable (MUD). Pada pemilu 2018, sebanyak 46 persen dengan 9 juta dari 10 juta pemilih terdaftar mencoblos.
Imperalis Amerika Serikat dan sekutunya menggunakan standar ganda dalam mendelegitimasi pemerintahan berdaulan tersebut. Di Amerika Serikat sendiri, hanya 48 persen pemilih menggunakan hak suara pada pemilu 1924. Parahnya, selama satu abad belakangan sejak 1916 jumlah pemilih pemilu presiden di negara adidaya itu tidak pernah tembus angka 61 persen. Pemilu presiden terakhir bahkan hanya berhasil menarik 55 persen pemilih ke kotak suara. Di Uni Eropa, angkanya bahkan jauh lebih tragis. Sejak 1999, lebih 50 persen pemilih tidak menggunakan hak suara. Pada pemilu eropa 2009 dan 2014, hanya 43 persen pemilih mencoblos, angka itu 5 persen lebih rendah dari partisipasi pada pemilu Venezuela. Tapi, kenapa tidak ada seruan untuk mendelegitimasi pemerintahan Uni Eropa dan Amerika Serikat?
Pemerintahan sah Nicholas Maduro segera memutuskan hubungan diplomatik terhadap AS. Menteri Pertahanan, Vladimir Padrino, menyatakan dukungan terhadap pemerintahan sah Maduro. Dukungan itu sekaligus menegaskan bahwa alasan Guaido mengambilalih kekuasaan tidak memiliki legitimasi. Dukungan yang sama juga ditunjukkan oleh Majelis Agung.
Kami melihat upaya kudeta dengan dukungan AS itu sebagai upaya campur tangan terhadap kedaulatan negara. AS menampilkan wajah imperialisme dengan intervensi negara yang haluan ekonomi-politiknya tidak sesuai dengan kebijakan-kebijakan neo-liberal.
Sejak pemerintahan Hugo Chavez hingga kini, Venezuela konsisten menenteng kebijakan neo-liberal yang memiskinkan rakyat. Pemerintahan Chavez dan Maduro banyak menggelontorkan anggaran negara untuk mengangkat rakyat dari kemiskinan. Jumlah rakyat miskin turun dari 23 persen pada 1999 menjadi 8,5 persen 14 tahun kemudian. Pengangguran turun dari 14,6 persen menjadi 7,6 persen pada periode yang sama.
Namun, pemerintahan neoliberal Amerika Serikat tidak membiarkan itu dan melakukan sejumlah intervensi ekonomi untuk memporakporandakan keberhasilan revolusi bolivarian. Di antaranya adalah dengan melakukan blokade ekonomi.
Konstitusi Indonesia menyebutkan, “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.” Atas dasar itu, kami mendukung upaya pemerintah berdaulat Venezuela untuk melawan penjajahan Amerika Serikat. Solidaritas internasional melawan imperialisme adalah semangat yang bapak bangsa Soekarno terus jalankan ketika memerintah.
Rakyat Indonesia juga perlu memberikan dukungan pada The Bolivarian Republic of Venezuela karena negara itu selama ini membuktikan solidaritasnya pada kita. Negara di Amerika Latin itu adalah salah satu negara yang dengan cepat memberikan bantuan saat gempa Palu dan Donggala terjadi. Pemerintah Maduro mengulurkan bantuan sebesar 10 juta dollar atau Rp 140 miliar. Jumlah bantuan itu jauh lebih besar dibanding negara-negara mapan seperti Australia, Jerman atau donasi Uni Eropa sekalipun. Uni Eropa ketika itu memberikan bantuan 1,5 juta euro atau Rp 24 miliar pada gempa Palu dan Donggala.
Padahal ketika itu Venezuela baru dilanda gempa berkekuatan 7,3 SR. Gempa terbesar sejak tahun 1900 itu terasa hingga Ibukota Venezuela, Caracas. Kondisi ekonomi Venezuela juga sedang tidak baik-baik saja, sejak jatuhnya harga minyak (sebagai komoditi utama Venezuela) dan sabotase ekonomi oleh oposisi sayap kanan dukungan AS.
Kini rakyat Venezuela tengah menghadapi kudeta oposisi sayap kanan dukungan AS. Pemerintah Trump menyatakan intervensi militer ke Venezuela merupakan salah satu opsi yang dimungkinkan untuk krisis politik yang tengah pecah di Venezuela.
Melihat dan mengamati perkembangan situasi politik yang tengah terjadi di Venezuela kami Gerakan Buruh untuk Rakyat (GEBRAK) menyatakan sikap:
1. Menyatakan pesan solidaritas dan dukungan kepada rakyat Venezuela dan pemerintahan Nicholas Maduro.
2. Mengutuk segala upaya kudeta dan pengambilalihan kekuasaan secara tidak syah yang dilakukan oleh sebagian perwira militer dan Juan Guaido.
3. Menuntut semua pihak untuk menghormati suara rakyat yang terejahwantahkan dalam Pemilu Venezuela bulan Mei 2018 yang memenangkan Nicholas Maduro.
4. Mengutuk upaya intervensi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya yang tidak menghormati kedaulatan nasional Venezuela.
5. Menyerukan aksi solidaritas yang luas kepada seluruh rakyat untuk melawan imperialisme Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
6. Mendesak pemerintah Indonesia untuk tidak mengakui pemerintahan Juan Guaido dan mendukung pemerintahan sah Nicholas Maduro dan mengakui pemilu presiden 2018 sebagai pemilu yang demokratis.
Jakarta, 29 Jan 2019
Gerakan Buruh Untuk Rakyat (GEBRAK)
Indonesian social movement protest United States’ imperialism in Venezuela
Labor Movement for the People (Gerakan Buruh untuk Rakyat or Gebrak) protested the intervention of United States to the internal affair of Venezuela. Gebrak also underlined that economic blockade by United States and its allies as the root of economic and political crisis in Venezuela. The protest was expressed during a mass demonstration before United States Embassy to Indonesia on Tuesday, February 12, 2019. People’s movement from various organizations in the alliance joined the protest.
Gebrak stated that the struggle of Bolivarian revolution in Venezuela is the struggle of the oppressed people against imperialism by the US and its allies. Neoliberal imperialism enforces its policies through political intervention. The policies, such as cutting subsidy and privatizing state enterprises, only enrich the tycoons and impoverish the poor
Gebrak considered intervention on a country’s sovereignty is a new form of colonialism. “This protests prove that the imperialist United States is doing a big mistake. US does not respect Venezuelan sovereignty,” said Gebrak spokesperson Nining Elitos.
US recognition of Juan Guaido as Venezuelan president and other political intervention by the US and its allies indeed damaged democracy in Venezuela. “US corrupted the ‘socialism’ democratic system in Venezuela,” said her.
US and its allies have also been endorsing bias narratives on Venezuela in the mainstream media. The bias includes the misadministration from the government as the cause of the crisis and that Maduro is not the legitimate president. In fact, Maduro was elected in a legitimate election with the support of 68 percent of all voters. Opposition politicians also raced in the election. “The strategy of spreading lies has been deployed as a pretext to invade other countries such as Iraq and Libya,” said other Gebrak Spokesperson, Novri Auliansyah.
On the economic crisis, Gebrak noted that economic blockade as the cause of the basic needs scarcity in Venezuela. AS and its allies also confiscated the asset of Venezuelan government valued USD 30 billion which suffice for the government to import goods to meet its people’s basic needs. The confiscation includes the seizure of Venezuelan state-owned enterprise in US, Citgo. US even handed the management to the opposition Juan Guaido to fund the opposition movement. Ironically, the countries sponsoring the economic blockade now offered humanitarian assistance for the crisis they made. “The crisis in Venezuela was designed by western imperialism countries to delegitimize the Venezuelan socialist government,” explained Auliansyah.
Gebrak supported peaceful conflict resolution to solve the Venezuelan conflicts. US and its allies have been escalating the conflicts. US President Donald Trump have several times expressed intention to wage war against Venezuela. US has also supported opposition faction that refused to negotiate peacefully. The self-declared president without election Juan Guaido is known for demanding an immediate election as precondition for negotiation. Meanwhile, the presidential election in 2018 was in fact sooner that the previously planned as the result of previous negotiation with the opposition. “The conflict must be escalated to avoid bloodshed,” said the other Gebrak spokesperson Ilhamsyah. Ilhamsyah noted US must stop its support to hardliner opposition that refused negotiations.
Labor Movement for the People consists oF various organisations. Among them are student organization (Progressif Student School, National Student League for Democracy, People’s Student Federation, and Union of Indonesia Student, Presidium of Indonesian National Student Movement), labor organization (Indonesian Confederation of United Workers, Congress Alliance of Indonesian Labor Unions, National Union Confederation, Central of National Labor Movement), Organizational Political Congres of People’s Labor Struggle, Mahardika Women, The Unity of People’s Strugle, and Agrarian Reform Consortium.
Spokesperson
Novri Auliansyah +62 857-8228-1113
Ilhamsyah + 62 812-1923-5552
Nining Elitos +62 813-1733-1801
No comments
Post a Comment