Referendum Untuk Rohingya
Arman Ullah
Rohingya Dan Perjuangan Mereka Untuk Hak Menentukan Nasib Sendiri
Oleh : Arman Ullah
Sumber : http://www.thestateless.com/
Aman Ullah, adalah seorang sejarawan Rohingya yang berkantor di Bangladesh dan dia adalah seorang mantan guru sekolah di kota Ann dan bagian selatan Maungdaw, Negara Bagian Arakan, Myanmar, yang telah berkontribusi dalam bidang sejarah Rohingya dan penegakkan Hak Asasi Manusia.
"Semua orang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak itu mereka secara bebas menentukan status politik mereka dan dengan bebas mengejar perkembangan ekonomi, sosial dan budaya mereka. "Resolusi PBB 1514 (1960)
Dunia saat ini adalah tentang individu, bukan negara. Ini tentang pengorganisasian diri sendiri secara mandiri, dan hanya bisnis yang mengalami pergeseran ke hal tersebut. Dunia sedang dijalankan oleh penilaian kolektif dan tindakan individu. Penggunaan kekuasaan bergeser dari tangan negara ke tangan individu, dari model vertikal ke model horizontal. Politik akan muncul kembali sebagai alat untuk mengelola diri sendiri.Tren dunia hari ini sedang mengarah pada kebebasan politik dan pemerintahan mandiri. Era baru adalah telinga pengaturan diri sendiri bagi masyarakat di seluruh dunia. Pengaturan diri sendiri adalah pilar demokrasi. Orang-orang di seluruh dunia mulai memanfaatkan kesempatan itu. Banyak orang di dunia saat ini menginginkan pemerintahannya sendiri dan mereka setiap hari melihat orang lain mendapatkan pemerintahannya sendiri, atau sedang bergerak ke arah tersebut.
Union of Burma (Perserikatan Burma) mencapai kemerdekaannya pada tahun 1948 hanya setelah negosiasi yang gigih, yang dipimpin oleh Jenderal Aung San, yang meyakinkan sebagian besar kelompok etnis minoritas untuk bergabung dengan perserikatan baru tersebut. Perjanjian Panglong tahun 1947 menggariskan hak-hak minoritas dan secara khusus memberi opsi kepada masyarakat Shan dan Karenni untuk memisahkan diri dari perserikatan, satu dekade setelah kemerdekaan. Namun jaminan konstitusional ini tidak pernah dihormati sepenuhnya. Identitas dan kesetaraan etnis secara perlahan terus terkikis. Nasionalisme, kontrol Burma, dan Buddhisme terus menjadi elemen penting dari legitimasi politik dan usaha untuk menciptakan identitas nasional di bawah semua rezim yang pernah berkuasa dan sedang berkuasa.
Hampir seketika setelah kemerdekaan, Burma dilemparkan ke dalam serangkaian perang etnis brutal yang terus berlanjut dengan intensitas yang bervariasi sampai hari ini. Dengan demikian, Perserikatan Burma saat ini menghadapi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya - ekonomi, sosial dan politik. Bahkan kelangsungan hidup Perserikatan juga dipertaruhkan. Krisis di Perserikatan Burma saat ini, berakar pada masalah politik, khususnya masalah konstitusional yang berakar pada pertanyaan tentang penentuan nasib sendiri untuk warga negara non-Burma.
Dengan demikian, perbedaan ini dapat diatasi melalui cara-cara politik dan melalui proses politik, yaitu melalui dialog politik, negosiasi dan kompromi, dan melalui pembentukan Uni Federal Burma yang sejati, yang akan menjamin hak demokratis bagi semua warga negara, kesetaraan politik untuk semua negara bagian dan hak penentuan nasib sendiri bagi semua negara bagian, anggota Perserikatan. Sistem Federal yang menggabungkan dan menyeimbangkan antara "pemerintahan mandiri" untuk kedaulatan entis atas tanah airnya secara nasional dan "pemerintahan bersama" untuk Perserikatan adalah sistem federal.
Arakan, yang juga dikenal sebagai Rohang, telah lama dikenal dan dikenal luas oleh para pedagang Arab, Belanda, Portugis dan Inggris sebagai pusat perdagangan dan perniagaan internasional dan terletak di wilayah yang saat ini berbatasan dengan tiga negara- Burma, Bangladesh dan India. Arakan memegang posisi geopolitik utama: selain berada di batas terluar sub-benua India dan Asia Tenggara, Arakan juga menjadi titik temu antara Muslim dan Hindu Asia dan Asia Buddhis, serta antara India dan populasi orang Tibet-Burma.
Arakan, yang sekarang tergabung dalam Burma / Myanmar, dan etnis Rohingya adalah salah satu dari sekian banyak suku bangsa dari Perserikatan Burma. Dan mereka adalah satu dari dua komunitas utama Arakan; Yang lainnya adalah Rakhine dan Budhis. Orang-orang Muslim (Rohingya) dan Buddha (Rakhines) telah hidup berdampingan secara damai di Arakan selama berabad-abad. Selain kelompok mayoritas Muslim (Rohingya) dan Buddha (Rakhine), sejumlah minoritas lainnya juga tinggal di Arakan, termasuk Chin, Kaman, Thet, Dinnet, Mramagri, Mro dan Khami yang, meskipun banyak orang Kristen saat ini , secara tradisional adalah penganut animisme. Kaman adalah Muslim dan Mramagri (Baurwa) adalah umat Budha. Beberapa etnis Burma juga datang dan tinggal di Arakan sejak 1784 setelah invasi dan pendudukan oleh Burma.
Meskipun saat ini merupakan bagian dari Burma , namun hal itu tidak pernah terjadi di masa lalu. Secara kultural, sosial, ekonomi, dan politik orang Arakan telah mempunyai kemerdekaan selama berabad-abad yang silam. Sejarah Arakan sebagai kerajaan yang merdeka dan berdaulat diakhiri dengan invasi dan pendudukan Burma pada tahun 1784.
Namun, sebelum Bodawphaya dapat mengkonsolidasikan kekuasaannya atas Arakan, Inggris menduduki dan mencaploknya pada tahun 1824, ke wilayah India-Inggris. Ketika Burma terpisah dari India pada tahun 1937 menurut Undang-Undang Burma tahun 1935, Arakan dijadikan bagian dari wilayah Birma-Inggris yang bertentangan dengan kekehendak rakyat Arakan, dan akhirnya menjadi provinsi dari negara Burma yang merdeka pada tanggal 4 Januari 1948.
Dengan memindahkan kedaulatan Arakan ke dalam Perserikatan Burma, masyarakat Arakan menjadi kehilangan hak sah mereka untuk menentukan nasib sendiri, yang merupakan hak individu dan kolektif untuk "menentukan dengan bebas. . . status politik dan untuk bebas mengejar. . . ekonomi, sosial dan budaya. "Dan hak untuk menentukan nasib sendiri rakyat Arakan juga dibenarkan oleh prinsip bahwa penentuan masa depan politik orang-orang yang dijajah baik yang dilakukan oleh penguasa kolonial itu sendiri atau" penguasa "yang didirikan oleh kekuatan kolonial adalah hal yang sangat bertentangan dengan proses de-kolonisasi dan prinsip penentuan nasib sendiri.
Faktanya, sementara Inggris melepaskan Burma, mereka seharusnya tidak mengalihkan kedaulatan Arakan melalui Burma tanpa persetujuan rakyat Arakan, yang merupakan pelanggaran terhadap resolusi PBB 1514-XV. Kedaulatan atas wilayah jajahan terletak pada orang-orang di wilayah itu dan bukan karena kekuatan penjajah. Hal ini juga jelas melanggar Resolusi 2625-XXV dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menyatakan bahwa semua wilayah jajahan memiliki status yuridis yang terpisah dan berbeda dari negara penjajah, dan dari wilayah jajahan lainnya, dan status yuridisnya tetap terpisah, selama rajyat dari masing-masing wilayah bekas jajahan ini belum menerapkan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.
Pengalihan 'kedaulatan' yang dilakukan Inggris atas Arakan ke Burma, oleh karena itu, benar-benar ilegal dan merupakan aneksasi paksa terhadap Perserikatan Burma. Tidak ada legalitas dan nilai yuridis dari perjanjian mengenai pengalihan 'kedaulatan' antara Inggris dan Burma yang ditandatangani pada tanggal 7 Oktober 1947, terutama mengenai pengalihan 'kedaulatan' atas Arakan ke Burma.
Pertama, Perjanjian tersebut dengan jelas melanggar prinsip de-kolonisasi PBB dan hak penentuan nasib sendiri rakyat Arakan.
Kedua, Perjanjian tersebut tidak ditandatangani oleh perwakilan rakyat Arakan sendiri maupun oleh orang yang mendapatkan mandat dari masyarakat Arakan untuk melakukannya.
Ketiga, kekuatan dan wewenang rakyat Arakan diabaikan dalam Perjanjian tersebut
Akhirnya, peralihan tersebut dilakukan tanpa berkonsultasi dengan rakyat Arakan, dengan melakukan plebisit atau referendum, justru dengan cara yang berada di luar semua norma dan prosedur internasional yang telah ada dan diakui.
Perjanjian Panlong dan semangat Panglong tidak ada kaitannya dengan rakyat Arakan. Itu tidak didelegasikan atau perwakilan rakyat Arakan. Tidak ada kerja sama atau partisipasi dari masyarakat Arakan kecuali beberapa pemimpin politik Rakhine yang berada di bawah bendera AFPFL, yang berpartisipasi di sana sebagai anggota AFPFL.
Rakyat Arakan membantu pasukan sekutu dalam perang mereka untuk mengusir orang Jepang keluar dari Birma. Dan saat itu, rakyat Arakan diberitahu bahwa mereka akan memperoleh kemerdekaan secara terpisah menurut Piagam Atlantik yang menjanjikan kemerdekaan bagi wilayah-wilayah jajahan yang membantu Pasukan Sekutu untuk memenangkan perang. Namun, impian rakyat Arakan untuk memperoleh kemerdekaan tidak pernah terwujud.
Dengan demikian, tidak ada lagi yang berubah di Arakan setelah 'kemerdekaan' kecuali hanya pergantian kekuasaan. Periode waktu sebelum kemerdekaan Burma adalah masa yang sangat gelap bagi masyarakat Arakan. Rakyat Arakan hampir tidak percaya bahwa Birmalah yang memerintah mereka, tapi mereka merasa sangat terjajah.
Setelah diintegrasikan ke dalam Burma, masyarakat Arakan telah menjadi bagian dari satu kesatuan dari Perserikatan Burma, yang terus menerus mendapatkan perlakuan brutal dan tidak manusiawi; pelanggaran hak asasi manusia, pembunuhan, pemerkosaan, pembodohan, kemiskinan dan ketidakadilan sosial dan telah mengalami genosida etnis dan budaya secara terang-terangan.
Rohingya adalah Muslim yang telah tinggal di Arakan dari zaman dahulu kala.
Nenek moyang mereka bisa terlacak ke orang Arab, Moor, Pathans, Moguls, Bengali dan beberapa orang Indo-Mongoliod. Mereka tinggal di Arakan dari generasi ke generasi selama berabad-abad dan kedatangan mereka di Arakan telah mendahului kedatangan banyak bangsa dan ras lain yang sekarang tinggal di Arakan dan bagian lain dari Burma.
Permukiman Muslim awal di Arakan berasal dari abad ke 7 Masehi. Mereka berkembang dari berbagai macam orang dan terkonsentrasi di lokasi geografis yang sama dari masyarakat mereka sendiri dengan populasi yang terkonsolidasi di Arakan jauh sebelum invasi Burma pada tahun 1784.
Rohingya jauh lebih banyak daripada minoritas nasional lainnya. Mereka adalah negara dengan populasi 3,5 juta orang (baik di dalam maupun di luar negeri), memiliki sejarah pendukung, budaya, peradaban, bahasa dan sastra yang berbeda, meiliki wilayah historis yang mapan serta memiliki ukuran populasi dan wilayah yang masuk akal – bahwa mereka menganggap dirinya berbeda dari kelompok lain dari masyarakat Birma.
Mereka bertekad , bukan hanya untuk melestarikan dan mengembangkan sejarah leluhur dan identitas etnik mereka, tapi juga untuk meneruskan ke generasi masa depan sebagai basis keberadaan mereka yang terus berlanjut sebagai manusia, sesuai dengan pola budaya, institusi sosial dan sistem hukum mereka sendiri. Menurut sejarah, berdasarkan tradisi, juga berdasarkan budaya dan peradaban, orang Rohingya adalah warga Burma yang sama seperti orang lain di Negara ini. Mereka setara dalam segala hal dengan komunitas lain di negara ini.
Orang-orang Rohingya adalah orang-orang pribumi yang dicirikan oleh kriteria-kriteria objektif, seperti sejarah yang berkelanjutan, dan faktor subjektif termasuk identitas diri, yang diperlukan untuk mendefinisikan masyarakat pribumi, dan mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak itu mereka seharusnya secara bebas bisa menentukan status politik mereka dan dengan bebas mengejar perkembangan ekonomi, sosial dan budaya mereka.
Sebagai masyarakat pribumi, mereka memiliki hak untuk mempertahankan dan memperkuat karakteristik politik, ekonomi, sosial dan budaya mereka yang berbeda, serta sistem hukum mereka sendiri, sambil mempertahankan hak mereka untuk berpartisipasi secara penuh, kalaupun mereka memilih terlibat dalam politik, ekonomi, sosial dan kehidupan budaya di satu negara. Mereka tidak hanya memiliki hak atas kewarganegaraan tetapi juga memiliki hak atas tanah, wilayah dan sumber daya mereka, yang berasal dari struktur politik, ekonomi dan sosial mereka sendiri dan dari budaya, tradisi spiritual, sejarah dan filosofi mereka.
Rohingya adalah kelompok sosial, yang dicirikan oleh unsur-unsur obyektif melalui bahasa yang sama, memperoleh kesadaran subyektif tentang kesatuan diantara mereka , selain itu, memiliki hubungan yang berkelanjutan dengan wilayah yang tetap, jadi, mereka membentuk 'RAKYAT' yang dalam hukum internasional memiliki hak untuk memilih penentuan nasib sendiri..
Pasal 1 dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) berbunyi: "Semua orang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak itu mereka secara bebas menentukan status politik mereka dan dengan bebas mengejar perkembangan ekonomi, sosial dan budaya mereka. "Pernyataan Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia pasal 15 menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas suatu kewarganegaraan dan bahwa tidak seorang pun boleh secara sewenang-wenang dihilangkan kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengubah kewarganegaraan.
"Rakyat" adalah sekelompok individu yang dengan suara bulat memilih negara yang terpisah. Jika "orang-orang" sepakat dalam keinginan mereka untuk menentukan nasib sendiri, itu memperkuat klaim mereka.
Belum ada definisi hukum tentang "Rakyat" yang diakui dalam hukum internasional, termasuk hukum internasional saat ini, yang tidak mengakui minoritas etnis dan minoritas lainnya sebagai masyarakat yang terpisah, kecuali dalam kasus di mana kelompok-kelompok tersebut secara sistematis dicabut haknya oleh pemerintah di negara mereka tinggal didalamnya.
Kriteria tentang definisi "orang-orang yang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri" diajukan pada tahun 2010 dalam keputusan tentang kasus Kosovo di Pengadilan Internasional: 1.Tradisi dan budaya 2.Etniksitas 3.Keterikatan historis dan warisan 4. Bahasa 5 . Agama 6. Identitas atau kekerabatan 7. Keinginan untuk membentuk masyarakat dan perasaaan senasib
Meskipun demikian, sejak tahun 1948, serangkaian operasi bersenjata, dengan kerusuhan komunal yang sering terjadi, telah direkayasa satu demi satu, mengakibatkan pengusiran besar warha Rohingya dari tanah air mereka di Arakan. Akibatnya, sejak tahun 1948, sekitar 2 juta orang Rohingya telah diusir atau harus meninggalkan tanah air leluhur mereka demi kehidupan mereka.
Rezim bertubi-tubi telah mengusir paksa seluruh rakyat Rohingya dari tanah air mereka dengan cara membunuh, meyiksa, menangkap dan melakukan penahanan secara sewenang-wenang, mengeksekusi, memperkosa dan melakukan kekerasan seksual, melakukan serangan militer dan paramiliter terhadap warga sipil, merampo dan memeras. , menghancurkan bangunan-bangunan-moumen budaya dan agama , menghancurkan tempat tinggal, menahan warga sipil di kamp, menyebabkan kelaparan , dan beberapa tindakan lainnya dengan cara-cara yang paling tidak manusiawi.
Rezim terus-menerus melakukan tindakan tidak manusiawi terhadap Rohingya dalam propaganda resmi mereka dan mengambarkan Rohingya sebagai orang yang amoral atau berbahaya bagi masyarakat. Para pejabat memalsukan sejarah dan melakukan pembenarkan kenapa seluruh komunitas ini—termasuk rang tua, perempuan dan anak-anak—harus dianggao bersalah. Mereka selalu berusaha untuk menyangkap dan menolak Rohingya tidak hanya sebagai salah satu masyarakat asli negara tersebut, tetapi juga menolak hak kewarganegaraan mereka meskipun kehadiran Rohingya di Arakan bahkan sebelum tahun 1780-an.
Pemerintah militer Burma terus-menerus secara khusus menuduh Rohingya sebagai 'ancaman terhadap keamanan nasional.' Militer negara tersebut, tulang punggung semua pemerintah sejak 1962, telah menerapkan strategi yang bervariasi dan terus meningkat untuk mengurangi, melenyapkan, menduduki, memindahkan dan menghancurkan Rohingya. .
Strategi negara yang membingkai Rohingya sebagai 'kuli pertanian kolonial Inggris' dari Bangladesh yang datang ke Birma-Inggris pada tahun-tahun setelah 1820-an, bertujuan untuk menggambarkan Rohingya yang miskin dan tertindas sebagai calon Islamis yang berniat mengimpor terorisme dari Timur Tengah. Dari perumusan dan penyebaran pandangan tentang Rohingya sebagai orang asing agar ada pembenaran untuk memberlakukan undang-undang kewarganegaraan nasional yang melepaskan Rohingya dari hak kewarganegaraan Burma. Bahkan sejak 2012, mereka telah kehilangan bukan saja hak mereka untuk mendapatkan kewarganegaraan tetapi juga hak mereka untuk identitas diri dan hak mereka untuk bebas memilih. Bahkan hak mereka untuk hidup juga selalu dalam bahaya.
Terlepas dari kenyataan di atas, sejak kemerdekaan Burma pada tahun 1948, orang-orang Rohingya telah berjuang untuk bertahan hidup sebagai manusia. Mereka telah berjuang untuk mendapatkan "hak penentuan nasib mereka sendiri ": yang akan menjamin hak kolektif mereka; hak untuk mengatur tanah air mereka sendiri, hak untuk mempraktekkan ajaran agama dan budaya mereka secara bebas, hak untuk mengajar, belajar dan mempromosikan bahasa mereka secara bebas, dan hak untuk memiliki identitas mereka tanpa rasa takut dan hak untuk hidup damai bersama dengan orang lain.
Mereka telah lama berusaha untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari Perserikatan Burma atas dasar kesetaraan dan keadilan. Mereka telah lama mencari sistem politik dan hukum yang memungkinkan mereka untuk memerintah kampung halaman mereka sendiri, dan pada saat yang sama hidup dengan damai bersama dengan orang lain yang mempraktikkan agama dan budaya yang berbeda dan berbicara dalam bahasa yang berbeda. Dengan kata lain, mereka telah lama mencari sistem politik yang dapat menggabungkan dan menyeimbangkan antara "pemerintahan sendiri" untuk berbagai kelompok etnis dan "pemerintahan bersama" untuk semua masyarakat di Perserikatan Burma.
No comments
Post a Comment