MASYARAKAT ADAT DAYAK MERATUS MELAWAN KORPORASI
Pernyataan Sikap
Masyarakat Adat Dayak Meratus, Kalimantan Selatan.
(untuk up date terkahir--26 April 2017, silahkan baca pada di bagian bawah rilis ini)
Masyarakat Adat Dayak Meratus, Kalimantan Selatan.
(untuk up date terkahir--26 April 2017, silahkan baca pada di bagian bawah rilis ini)
HENTIKAN PERAMPASAN WILAYAH ADAT DAN KRIMINALISASI TERHADAP (AKTIVIS) MASYARAKAT ADAT DAYAK MERATUS SERTA SEGERA TERBITKAN PERATURAN DAERAH PENGAKUAN MASYARAKAT ADAT DAYAK MERATUS
Puluhan tahun, kami masih dijajah dan ditindas oleh bangsa sendiri! Atas nama hukum negara, wilayah adat kami terus di rampas. Semuanya bermula sejak tahun 1968, dimana Pemerintah Republik Indonesia memberikan ijin konsesi HPH dan HTI kepada PT. Kodeco Timber dengan area seluas 270 ribu hektar. Melalui SK Penunjukan Kawasan Hutan No. 453/Kpts-II/1999 yang kemudian diperbaharui dengan SK No. 435/Menhut-II/2009, area konsesi PT. Kodece Timber menjadi seluas 99,750 hektar. Pengurangan lahan ini antara lain disebabkan adanya keputusan pemerintah pusat terkait perubahan kawasan, seperti perubahan kawasan hutan menjadi hutan lindung, pencadangan transmigrasi, hutan canggar alam, dan hutan produksi tetap.
Belum selesai PT. Kodeco Timber, kami dikejutkan dengan kehadiran beberapa korporasi, salah satunya PT. Johlin Group. Kedua perusahaan ini mengklaim memiliki izin yang sah, tapi tidak dipernah diberitahu wujudnya. Aktivitas pengusiran dan pengguran terus dilakukan oleh korporasi-korporasi ini, dengan alasan area yang digusur adalah area perusahaan. Yang kami ketahui di tanah-tanah bekas gusuran ditanami sawit. Dan yang kami sangat sesalkan, para penggusur itu selalu dikawal oleh aparat kepolisian bersenjata lengkap. Ribuan hektar wilayah adat kami, digusur bersama tanaman padi yang kami tanam, kuburan, dan segala peninggalan leluhur kami.
Praktik penangkapan sewenang-wenang oleh Kepolisian juga telah menjadi candu dan memuakkan. Saudara kami Trisno Susilo, yang selama ini aktif melakukan pembelaan hak-hak masyarakat adat dayak meratus di kalimantan selatan dikriminalisasi, dan 6 (enam) tahun menyandang status sebagai Tersangka (November 2011 – Februari 2017). Trisno dituduh melanggar Pasal 50 ayat 3 huruf a UU No. 41/1999 tentang Kehutanan (mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah) dan akan divonis pada 26 April 2017 di Pengadilan Negeri Batulicin. Kami menduga dan yakin bahwa proses hukum terhadap Saudara kami Trisno Susilo, sarat dengan pelanggaran hukum itu sendiri, dan berkaitan erat dengan aktivitasnya sebagai Aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Tanah Bumbu. Beberapa warga pernah ditangkap bersama Trisno Susilo oleh Kepolisian Resort Tanah Bumbu, ditahan selama 1 (satu) minggu, lalu dilepaskan, setelah orang-orang tersebut “dipaksa” menyerahkan Surat Keterangan Tanah miliknya kepada Kepolisian Resort Tanah Bumbu.
Selain Trisno Susilo, 2 (dua) orang saat ini sedang menyandang status sebagai Tersangka di Kepolisian Resort Kotabaru, yakni Saudara DS. Manasse Boekit (Pengurus AMAN Tanah Bumbu) dan Saudara Arif (Masyarakat Adat Dayak Meratus).
Semua upaya telah kami tempuh, tapi tidak ada hasil. Bukan berarti kami menyerah! Perjuangan untuk merebut dan mempertahankan hak kami, akan terus hidup sampai kami mati! Dari leluhur kami, dan hingga generasi yang akan datang, hak harus tetap dipertahankan dan direbut dari maling-maling besar itu! Tuan rumah menolak berdamai dengan maling!
Hari ini, 25 April 2017, kami mendorong dan mendesak, antara lain:
Agar Pemerintah Pusat segera mencabut izin PT. Kodeco Timber dan korporasi lainnya yang selama ini merambah hutan di wilayah adat masyarakat adat dayak meratus, karena diduga sarat dengan pelanggaran hukum, dan segera memberikan perlindungan kepada masyarakat adat dayak meratus, dengan tidak memberikan izin alih fungsi hutan menjadi industri perkebunan dan sebagainya. Jika tidak, maka akan menjadi ancaman bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat adat dayak meratus;
Agar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tanah Bumbu, sebagai “penyampung lidah” rakyat, bersikap dan bertindak dengan segera menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pengakuan Masyarakat Adat Dayak Meratus sebagai wujud pelaksaan amanah Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mengatur bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang, dan sebagai wujud pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang mengakui eksistensi “hutan adat”;
Agar Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan c.q. Kepolisian Resort Kabupaten Tanah Bumbu dan Kotabaru, menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang “Melayani, Melindungi, dan Mengayomi”, bukan memfasiltasi korporasi untuk merampas wilayah adat masyarakat adat dayak meratus di Kalimantan Selatan;
Agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Batulicin yang memeriksa Perkara No. 17/Pid.Sus/2017/PN Bln, atas nama Terdakwa Trisno Susilo, SP. Bin Ngadimin, menjatuhkan Putusan Bebas, sebab Saudara Trisno Susilo adalah korban dari absennya negara dan “sesat”nya penegakan hukum yang hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas untuk menindak kejahatan korporasi.
Demikian pernyataan sikap ini kami buat, sebagai pemilik kedaulatan kami katakan sekali lagi: “Jika Negara Tak Mengakui Kami, Kamipun Tak Mengakui Negara!”
Tanah Bumbu, 25 April 2017Miso Putra Dayak
(Koordinator Lapangan)
Narahubung: 0812 8111 4944
Sumber : Akun FB Abdon Nababan
Update :
Siaran Pers AMAN, 26 April 2017
Perjuangkan wilayah adat Meratus, Trisno divonis bersalah
Pengadilan Negeri Batulicin, Kalimantan Selatan pada Rabu (26/04) memvonis Trisno Susilo hukuman empat tahun penjara, denda 15 juta rupiah subsidair 3 bulan kurungan. Trisno dikriminalisasi karena mendampingi masyarakat adat Dayak Meratus, Kalimantan Selatan yang mempertahankan wilayah adatnya.
Trisno ditangkap oleh Kepolisian Resort Tanah Bumbu dan menyandang status tersangka sejak November 2011. Majelis hakim PN Btulicin menilai, Trisno Susilo terbukti melakukan pelanggaran pasal 78 (2) UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Tim pendamping hukum Trisno langsung mengajukan banding. “Putusan ini ‘menyesatkan’ dan hanya akan melegalkan terus perampasan wilayah adat atas nama hukum,” jelas Fatiatulo Lazira sebagai pendamping hukum Trisno.
Fatiatulo juga menilai pertimbangan majelis hakim sangat kontradiktif. “Yang dipakai hakim itu pasal yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Hakim juga mengabaikan pembelaan terdakwa, keterangan saksi-saksi meringankan dan ahli,” tambahnya. Karena itu, tim pendamping hukum Trisno juga berencana meminta Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial untuk memerika majelis hakim perkara ini.
Hak-hak masyarakat adat Dayak Meratus atas wilayah adatnya telah lama dilanggar oleh perusahaan dan pemerintah. Ini terkait dengan izin yang diberikan secara sewenang-wenang kepada PT Kodeco Timber untuk merambah wilayah adat Dayak Meratus.
Pada Selasa (25/4), warga Dayak Meratus bersatu dan melakukan aksi menuntut pemerintah mengeluarkan korporasi dari wilayah adatnya. Mereka juga meminta agar Trisno dibebaskan. "Saudara Trisno Susilo adalah korban dari absennya negara dan sesatnya penegakan hukum yang hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas untuk menindak kejahatan korporasi," kata Miso, kordinator aksi tersebut.
“Saya harapkan kita akan terus berjuang. Jangan menyerah. Hak adalah hak. Jangan diabaikan. Pegunungan Meratus harus dipertahankan. Masyarakat adat harus bersatu,” kata Trisno kepada AMAN, setelah persidangan.
Dua warga lain, yaitu Manasse Boekit dari Tanah Bumbu dan Arif dari Dayak Meratus kini berstatus tersangka di Kepolisian Resort Kotabaru. Sama seperti Trisno, Manasse dan Arif berjuang mempertahankan haknya sebagai Masyarakat Adat, namun dikriminalisasi oleh UU Kehutanan.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menyatakan kecewa terhadap vonis tersebut. “Hari ini sekali lagi keadilan tidak lulus di ruang pengadilan. Tambah satu lagi korban kriminalisasi negara terhadap Masyarakat Adat. Ini menunjukkan kalau hukum di negara ini tidak berjiwa keadilan terhadap Masyarakat Adat,” sesalnya.
Di Sulawesi Selatan, empatbelas warga Seko ditahan karena menyuarakan penolakannya terhadap rencana pembangunan PLTA di wilayah adatnya. Di Toba Samosir, Sumatera Utara, Dirman Simanjuntak sedang menjalani proses persidangan karena diadukan oleh PT Toba Pulp Lestari. Dirman yang sedang berladang di wilayah adatnya sendiri dituduh melakukan perambahan hutan.
No comments
Post a Comment