Menggugat Paradigma Pendidikan
Indonesia harus belajar banyak dari negara lain dalam memandang persoalan pendidikan. Selain di belahan Eropa Utara, di Selatan Amerika, tepatnya di Cile, pendidikan sebagai ruang perlawanan dilakukan mahasiswa di sana.
Dalam debat capres putaran pertama, unicorn seketika menjadi populer karena Prabowo membawa istilah itu ke dalam ruang debat. Bukan pujian yang didapat, ia justru dirisak pendukung Jokowi karena dianggap tak paham dunia digital. Pendukung Prabowo balik membalas. Media sosial riuh oleh hal-hal yang superfisial ini. Namun, substansi debat justru menguap. Kilasan tadi setidaknya memberikan sedikit gambaran bahwa Indonesia dianggap tengah berada di ambang fase baru—Revolusi Industri 4.0—yang karenanya layak menjadi perhatian para calon pemimpin negara. Revolusi Industri 4.0 menjadi istilah baru yang terus digemakan para elit politik, bisnis, dan pemerintah Indonesia. Semua mendadak latah oleh istilah ini, tak terkecuali masyarakat. Ranah pendidikan, terutama perguruan tinggi, oleh pemerintah akan disesuaikan sedemikian rupa agar dapat mencetak lulusan siap kerja di dunia industri yang baru. Tak heran jika Direktur Pembinaan Kelembagaan Perguruan Tinggi Kemenristek Dikti, Totok Prasetyo, mengatakan bahwa perguruan tinggi jangan sampai mencetak terlalu banyak sarjana sosial humaniora.
Ia juga mengatakan akan menahan progam studi (prodi) cabang ilmu tersebut. Lontaran pernyataan semacam ini bukannya baru terjadi sekarang. Jokowi sudah berkali-kali mengatakan hal serupa, meski dengan tekanan berbeda. Ia menangkap potensi dari pertumbuhan industri teknologi di Indonesia yang berkembang begitu pesat—e-commerce. Namun, garis besarnya sama: pendidikan harus diarahkan untuk mencetak lulusan tenaga kerja untuk segera fit-in di dunia industri yang sekarang memasuki era baru. Dengan kata lain, ke depan pemerintah akan berfokus pada restrukturisasi pendidikan untuk peningkatan skill sumber daya manusia (SDM). Padahal semestinya fokus pendidikan bukan untuk menyongsong Revolusi Industri 4.0 yang hanya berbeda nama saja dari versi sebelum-sebelumnya—karena logika internalnya tetap sama. Pemerintah abai melihat sistem pendidikan hari ini justru membentuk ketidakcakapan pelajar dalam hal-hal sederhana: menguasai matematika dasar dan menginterpretasi kalimat. Dalam tes yang dilakukan PISA tahun 2015, Indonesia berada di urutan 62 dari 70 negara. Hal ini tentu mengindikasikan ada ketidakberesan dalam sistem pendidikan.
***
Puluhan ribu kilometer dari Indonesia, di Swedia, pada awal pertengahan 2018 seorang pelajar perempuan berusia 15 tahun duduk seorang diri di luar gedung parlemen Swedia dengan membawa poster tuntutannya. Pelajar ini bernama Greta Thunberg. Ia sedang mogok sekolah, dan tetap akan mogok sampai di pemilu mendatang pemerintah dan politisi memperhatikan masalah perubahan iklim di negaranya. Suhu di Swedia mencapai yang terpanas sejak 262 tahun lalu. Ketika orang-orang yang melihatnya menyuruhnya kembali masuk sekolah ia bilang, “Jangan khawatir, aku membawa buku di tasku. Tapi apakah aku harus belajar di sekolah? Fakta-fakta sudah tidak penting lagi, politisi tidak mendengar kata ilmuwan. Kalau demikian kenapa aku harus belajar di sekolah?” Dari banyak yang meragukan dan mengabaikannya, kini satu demi satu dukungan mengalir kepadanya. Gurunya, teman-temannya, bahkan pelajar di seluruh dunia. Kini jutaan pelajar dari 125 negara mogok sekolah dan turun ke jalan (climate strike) untuk menyuarakan nasib dunia di masa depan akibat perubahan iklim. Di Indonesia sendiri, gelombang mogok ini belum begitu banyak mendapat sorotan. Namun, aksi kecil-kecilan sudah dilakukan beberapa pelajar.
Indonesia seharusnya justru menjadi salah satu negara awal yang merespon gelombang mogok sekolah ini. Pasalnya, hutan tropis di Indonesia yang menjadi salah satu jantung dunia kini dibabat habis untuk perkebunan kelapa sawit. Dari tahun 1970-2017, rata-rata pertumbuhan luas lahan kelapa sawit mencapai 10,31% per tahun. Kini, luasnya mencapai 12,3 juta hektar. Luar biasa! Politisi, pebisnis, dan pemerintah seolah sudah saling sepakat bahwa tak penting lagi keberadaan hutan tropis di Indonesia, padahal keberadaan hutan begitu penting karena selain menjadi habitat alami flora dan fauna, pepohonan berperan menyerap karbondioksida (CO2) yang berada di atmosfer bumi. Maka, ketiadaan pepohonan ini akan membuat karbondioksida terperangkap di atmosfer yang berakibat meningkatnya suhu bumi. Dengan demikian, Indonesia menyumbang 1,5 derajat Celcius rata-rata peningkatan suhu global, yang jika dalam 12 tahun tidak berkurang, akan menyebabkan bencana besar di bumi —tenggelamnya banyak kota karena permukaan laut naik, punahnya ratusan spesies makhluk hidup, bencana kelaparan, bencana kekeringan, dll. Peringatan akan bahaya ini sudah dilakukan ilmuwan-ilmuwan, namun apa daya sistem ekonomi hari ini tidak memungkinkan perubahan secara masif dan cepat karena profit harus tetap diutamakan lebih dahulu.
Tapi, Indonesia bukan Swedia. Paradigma pendidikan di negara khatulistiwa ini tidak meradikalkan akar masalah melalui kontekstualisasi realitas, atau minimal tidak menggugah kesadaran kritis pelajarnya. Pelajar justru hanya dilihat tak ubahnya sekrup-sekrup mesin yang akan berguna bagi dunia industri selepas lulus nanti. Memang ini bukan khas Indonesia, di banyak negara paradigma pendidikan masih berkisar pada motto “hidup yang lebih baik dengan pekerjaan yang baik”. Artinya, pendidikan tidak punya tujuan apa-apa lagi selain pekerjaan—dalam artian yang kapitalistik. Tapi ironisnya, data statistik justru menunjukkan hal yang berlainan. BPS 2017 menyebut, di Indonesia, Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan kategori “Universitas” mengalami kenaikan cukup signifikan dalam 3 tahun terakhir, yakni menjadi 618.758, setelah sebelumnya di tahun 2014 berjumlah 398.298. Itu artinya, tingkat pendidikan yang tinggi tidak menjamin akan mendapatkan posisi kerja dan upah yang lebih baik; yang oleh karenanya juga kondisi hidupnya.
Jika demikian, mestinya kita harus melihat bahwa pendidikan bukanlah ruang otonom karena ia tidak dapat terpisah dari kerangka hubungan sosial yang lebih luas. Hal ini berarti pendidikan merupakan institusi yang berada dalam suatu tatanan ekonomi-politik tertentu yang mendominasi dan menghegemoni dunia, yang hari ini merupakan tatanan kapitalisme neoliberal dunia. Ini merupakan perkembangan kapitalisme paling terbaru yang merupakan respon lapisan teratas kelas kapitalis (terutama kapital keuangan/finance capital) sebagai konsekuensi internal kapitalisme atas merosotnya akumulasi kapital yang didahului oleh krisis keuangan global paska Perang Dunia II. Restorasi atas krisis tersebut dicapai melalui dua hal: (1) perombakan konfigurasi kekuasaan (menghancurkan kapitalisme-negara ala Keynesian dan melemahkan kekuatan kelas pekerja) agar menjadi lebih berpihak pada kelas kapitalis—kapitalis keuangan; dan (2) melalui intensifikasi dan ekstensifikasi penghisapan nilai-lebih dengan menghancurkan tembok-tembok yang merintangi dan membatasi ekspansi dan akumulasi kapital, terutama di negeri-negeri kapitalis pinggiran maupun negeri-negeri sosialis yang menganut kebijakan proteksionis negara dengan intervensi sangat besar terhadap pasar. Neoliberalisme memiliki asumsi bahwa intervensi terhadap pasar, apapun bentuknya, adalah buruk.
Akibatnya, seluruh institusi publik, termasuk pendidikan, yang sebelumnya dikelola oleh negara dipindahtangankan kepada pengelolaan korporasi melalui privatisasi. Hal ini dilakukan dengan satu tujuan: menjadikan institusi pendidikan sebagai institusi perluasan (sekaligus pendukung) akumulasi kapital. Bank Dunia melegitimasi hal ini dalam reform agenda dengan menyebut “Agenda reforma … adalah orientasi pasar ketimbang kepemilikan publik atau pengaturan dan perencanaan pemerintah. Mendasari orientasi pasar terhadap pendidikan tinggi berarti berkuasanya, nyaris berskala dunia, kapitalisme pasar dan prinsip-prinsip ekonomi neoliberal”.
Dengan berlakunya hubungan pasar, logika persaingan menjadi daya dorong utama yang menggerakkan kampus. Produksi pengetahuan ditujukan sebagai produksi komoditas yang punya nilai tukar di pasar, yakni, misalnya, antara kampus sebagai penjual dan mahasiswa plus industri sebagai pembeli. Kesetaraan akses pendidikan, oleh karenanya, hanya menjadi mitos. Yang terjadi justru kampus mereproduksi struktur kelas yang berlaku. Jean Anyon misalnya, dengan riset etnografis di beberapa sekolah dasar (elementary school) di Amerika, menyaksikan bagaimana pembedaan akses sekolah dalam era kapitalisme neoliberal justru mengawetkan ketimpangan kelas yang ada. Di sekolah anak-anak kelas pekerja, penggunaan kurikulum diutamakan untuk menanamkan skill pada murid agar siap menjadi pekerja manual (manual labour). Pembelajaran lebih bersifat teknis dan prosedural. Berbeda dengan sekolah menengah atas yang menekankan pada proses kognitif-reflektif untuk mengasah daya imajinasi murid-muridnya untuk dipersiapkan menjadi pekerja mental (mental labour).
Di samping itu, dampak transformasi pendidikan dalam struktur kapitalisme neoliberal menjadikan insititusi ini terdepolitisasi. Norma stabilitas pasar mengandaikan “netral”-nya ruang pendidikan dari ideologi yang berpotensi mengganggu sistem. Daniel Saunders mengatakan bagaimana hegemoni neoliberalisme pada level kesadaran menuntut tenaga pengajar menjauhkan pandangan politiknya dari dalam kelas. Kelas kapitalis menginginkan pengajar untuk memberikan “ilmu murni”, yakni ilmu sebagaimana dipahami dalam kaidah postivisme, yang dianggap bebas nilai dan sudah dilepaskan dari konteksnya (decontextualized). Watak ilmu pengetahuan dalam institusi pendidikan dirancang seturut dengan sistem yang berlaku dan produk pengetahuan itu sendiri telah disaring sedemikian rupa sesuai kebutuhan pasar. Dampak yang langsung muncul adalah lumpuhnya kemampuan berpikir secara kritis. Hal ini, menurut Saunders, justru merupakan “proyek hegemoni” (hegemony project) untuk menyembunyikan tendensi ideologis kapitalisme neoliberal dalam sekolah.
Jika demikian, bisakah sekolah atau kampus menjadi gelanggang resistensi seperti yang dilakukan Greta sebagai subjek yang sadar? Atau justru hanya akan mereproduksi hegemoni wacana kapitalisme-neoliberalisme? Dengan bahasa yang lain, apakah pendidikan merupakan reproduksi sistem kapitalisme neoliberal yang bergerak secara pasif seturut dinamika dalam pasar atau apakah pendidikan secara inheren merupakan lahan perlawanan terhadap sistem kapital? Pertanyaan ini menghadapkan kita pada persoalan mengenai watak pendidikan; apakah sebagai aparatus yang tunduk di bawah kehendak kapital ataukah sebagai ruang pembebasan. Pertanyaan pertama direpresentasikan oleh kalangan yang disebut “reproductive theory”, yakni, seperti uraian sebelumnya, memandang pendidikan sebagai semata instrumen sistem neoliberal. Sedangkan pertanyaan kedua direpresentasikan oleh apa yang disebut sebagai “resistance theory”, yang memandang pendidikan, terutama pendidikan tinggi, sebagai ruang yang secara inheren memiliki potensi pembebasan.
Dengan lanskap ekonomi-politik kapitalisme hari ini dan memakai “reproductive theory”, secara umum paradigma pendidikan memang diarahkan untuk mencetak tenaga kerja siap pakai di dunia industri, namun di Indonesia masalahnya lebih kompleks daripada itu. Sejak Orde Baru berkuasa, hegemoni kultur feodalistik dan militeristik ditancapkan ke dalam benak pelajar. Hasilnya dapat ditebak, yang dalam bahasa Foucauldian, disebut pendisplinan dan hukuman (discipline and punish). Sederhananya semisal menghapal nama-nama menteri yang ada di kabinet. Untuk apa pula guna menghapal nama menteri jika substansi pekerjaan kementerian tersebut justru tak dipelajari, apalagi dikritisi?
Kemudian juga ada P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang butir-butirnya wajib dihapal dan dipelajari. Pancasila menjadi ideologi mutlak yang tidak dapat diganggu gugat, tentunya sesuai tafsiran Orde Baru. Padahal pergumulan ideologi ini begitu sengitnya sebelum kemudian dirancang teknikalitas pembangunan dan birokratisme negara. Militerisme akhirnya menjadi hal yang terpisahkan dari ruang pendidikan. Dalam transformasi besar-besaran paska-1965, militer diberi porsi besar untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Begitu sistematisnya “pemulihan” ini sampai kaum progresif yang kuat beserta wacana-wacananya tersingkir dari panggung sejarah, bahkan mungkin sampai sekarang. Kampus mulai ditertibkan melalui berbagai regulasi, semisal Sistem Kredit Semester (SKS) dan NKK/BKK. Bagi Orde Baru, mahasiswa harus mengisi pos-pos pemerintahan untuk menjalankan roda pembangunan—developmentalisme ala Orde Baru. Dan dari generasi ini lahirlah teknokrat-teknokrat ekonomi sebagai intelektual penopang developmentalisme Orde Baru. Ilmu pengetahuan, khususnya ekonomi, mulai dikeluarkan dari konteksnya dan dipandang sebagai ilmu murni untuk mencapai kemakmuran negara. Dengan kian terdepolitisasinya ilmu pengetahuan, militerisme yang sudah terbangun muncul sebagai jawaban tunggal atas semua permasalahan. Bela Negara, misalnya. Sebuah perspektif yang hanya memandang semua problematika sosio-ekonomi dan sosio-politik dalam kacamata sempit (ultra)nasionalisme.
Indonesia harus belajar banyak dari negara lain dalam memandang persoalan pendidikan. Selain di belahan Eropa Utara, di Selatan Amerika, tepatnya di Cile, pendidikan sebagai ruang perlawanan dilakukan mahasiswa di sana. Mereka membangun serikat mahasiswa dari bawah, yakni dari jurusan untuk menjadi kendaraan politik mahasiswa dalam masalah akademik maupun dalam sektor-sektor lain. Demokrasi langsung dibangun sedikit demi sedikit melalui partisipasi luas. Ini adalah sebuah cermin perlawanan bahwa pendidikan tidak mungkin terisolir dari ruang sosial yang lebih luas, dan bahwa laku pendidikan yang kontekstual tidak dapat diinjeksi dari atas—dari birokrat kampus atau dosen itu sendiri.
Pertanyaan akhirnya, apakah pendidikan di Indonesia akan terus mengikuti kemauan pasar—yang sekarang diartikan sebagai Revolusi Industri 4.0—dalam membangun kualitas manusianya, atau membangun suatu rancang bangun pendidikan yang tidak meninggalkan konteks hari ini dan historisnya? Tapi pertanyaan ini jelas hanya sebuah angan-angan kosong jika ilmu sosial humaniora masih dipandang elit pemerintah sebagai ilmu yang tak penting bagi pengembangan manusia Indonesia, sebagaimana pihak kolonial dulu tak ingin pemikiran rakyat Hindia Belanda maju dengan menelanjangi teori dan praktek kolonialisme—yang sangat berkaitan erat dengan ekonomi-politik—maka rakyat hanya dipersiapkan menjadi buruh dan pegawai pemerintahan. Ah, memang kolonialisme belum benar-benar pergi dari tanah ini.
[1] http://jakarta.tribunnews.com/2019/03/12/kemenristek-dikti-arahkan-kampus-sesuai-kebutuhan-industri-bukan-humaniora-dan-sosial
[2] http://theaseanpost.com/article/how-will-indonesia-fare-pisa-2018
[3] BPS. 2017. Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan. https://www.bps.go.id/statictable/2009/04/16/972/pengangguran-terbuka-menurut-pendidikan-tertinggi-yang-ditamatkan-1986---2017.html
[4] Jean Anyon. 1981. “Social Class and School Knowledge”, Curriculum Inquiry, 11(1): 3-42. 12.
[5] Daniel Saunders. 2007. “The Impact of Neoliberalism on College Students”, Journal of College and Character, 8(5): 1-9. 5.
[6] Lih. ”Chili: Membangun Serikat Mahasiswa dari Tingkat Jurusan” http://kirisosial.blogspot.com/2017/06/chili-membangun-serikat-mahasiswa-dari.html
No comments
Post a Comment