Kiri Sosial membuka ruang bagi kawan-kawan yang ingin berkontribusi pada Kirisosial.blog. Kami menerima kontribusi dalam bentuk artikel terjemahan yang memuat tentang inspirasi gerakan yang partisipatif atau tentang inspirasi persatuan. Silahkan kirim terjemahan anda melalui inbox FB atau kirim melalui kirisosial@gmail.com. Terimakasih

Aku Masih Ada



Ngapain bicara ndakik-ndakik (sok intelek). Rakyat butuh makan!
Wiji Thukul, penyair asal Solo itu hingga kini masih hilang. Ia bersama 12 aktivis lainnya menjadi korban penghilangan paksa rezim orde baru. Sajak-sajaknya menjadi larik wajib di kalangan demonstran yang turun kejalan. Penggalan sajak "Peringatan" berbunyi: Hanya ada satu kata: lawan, begitu masyhur sejak diciptakan tahun 1986 hingga saat ini penulisnya tak jelas nasibnya. 

***
Ada banyak pintu mengenali Wiji Thukul. Pergaulan dan pengetahuannya sangat luas. Dia dekat dengan banyak kelompok. Ia milik banyak orang. Semua aktivis 80-90an, kenal Wiji Thukul. Kawan-kawanya mulai buruh, seniman, akademisi sekelas Arif Budiman, Jaap Erkelens (pimpinan KITLV Jakarta), Romo Mangun Wijaya, termasuk tiga orang dari banyak sahabatnya. Sosiolog Arief Budiman yang memberi kata pengantar di buku pertama: Mencari Tanah Lapang, 1994. Waktu Arief masih menjadi dosen di UKSW Salatiga, Wiji Thukul kerap mampir.

Jika Chairil Anwar masyhur dengan mantra “Aku ingin hidup seribu tahun lagi !” Ia mati muda di usia 26. Maka Wiji Thukul tersohor dengan “Hanya Ada Satu Kata: Lawan!” Dan dia hilang karena benar-benar MELAWAN !

Sajak Peringatan ditulis tahun 1986 saat Soeharto gagah perkasa. Jadi mantra aksi-aksi mahasiswa. 3 sajak Wiji Thukul yang seperti wajib dibawakan: Peringatan, Sajak Suara, Bunga dan Tembok

Kata, Wahyu Susilo, adik kandung Wiji Thukul, tiap hari bapaknya sisihkan uang hasil narik becak, untuk beli koran. Alhasil, sejak kecil mereka berdua keranjingan baca. Wiji Thukul menulis puisi sejak SD. Ikut teater sejak SMP. Sekolah terakhir klas 2 SMKI. Selain tak betah, bapaknya juga tak kuat bayar.

Thukul lalu kerja jadi tukang pelitur dan calo bioskop. "Waktu film Rhoma Irama sedang laku-lakunya di kampung, aku jadi kaya,". Di tempat pelitur Wiji Thukul bikin puisi. Tentang tetangga yang melarat, buruh di-PHK, aparat sewenang-wenang. Ia ingin kawan-kawannya tergugah dan tak mudah dibodohi.

Lalu Wiji Thukul bikin sanggar. Mereka ngamen keliling kota, keliling dusun-dusun. Bawa alat musik sederhana sambil nyanyi dan baca puisi. Ia pernah ngamen seorang diri. Wiji Thukul datangi restoran-restoran, membacakan puisinya. Orang-orang melotot kaget. Pasti ia disangka stress atau gila.

Ia terinspirasi konsep teater Augusto Boal dari Brazil, yang di tahun 1960an menjadikan teater sebagai alat pengorganisiran dari kampung ke kampung. Kata-kata Bertold Brecht, yang sering dikutip Wiji Thukul : “Setiap orang adalah seniman dan setiap tempat adalah panggung.” Thukul praktikan itu.

Wiji Thukul juga pernah belajar bikin puisi "yang baik” ala Majalah Horisan dan dari Soetarji C. Bachri. Kalimat dibagus-baguskan tapi setelah itu ia merasa bukan karakternya. Ia balik ke khasnya: Di sini terbaring Mbok Cip yang mati di rumah/ karena ke rumah sakit tak ada biaya - Puisi Kuburan Purwoloyo. Apakah nasib kita akan seperti sepeda rongsokan karatan itu?/ o, tidak, dik!/ Kita harus membaca lagi agar bisa menuliskan isi kepala/ dan memahami dunia - Puisi Untuk Adik.

Tahun 1992, Wiji Thukul memimpin tetangga-tetangganya protes pencemaran pabrik tekstil PT Sari Warna yang cemari kampungnya. Untuk pertama kali ia diseret ke Polres.

Tahun 1987, sastrawan Halim HD mengajak Wiji Thukul pentas di TIM. Pergaulan dengan seniman meluas, juga aktivis. Ia ikut aksi Kedungombo. Puisinya makin populer. Wiji Thukul banyak baca dan rajin ikut diskusi. Ia tak cuma lihai mengolah kata. Ia paham problem pokok masyarakat. Ia belajar sangat serius. Ia kuat membaca. Ia pembelajar segalanya, termasuk komputer yang waktu itu para aktivis mahasiswa cuma tahu Wordstar, tapi Wiji Thukul sudah belajar desain dan ngoprek.

Wiji Thukul salah satu pendiri PRD sejak Persatuan Rakyat Demokratik 1994. Ia jadi pemateri untuk sebuah acara bernama: Pertemuan Kebudayaan Nasional. Setelah acara itu Wiji Thukul ditugaskan di Jakker : Jaringan Kerja Kebudayaa Rakyat, bersama Linda Chistanty dan Raharja Waluyo Jati, AJ. Susmana, Nining dll.

Wiji Thukul bikin Sanggar Suka Banjir di Jagalan Solo yang mengajari anak-anak kampung melukis, menulis puisi, teater, nyanyi, mengajari mereka bersikap kritis. Bersama Jakker, ia bikin panggung kesenian rakyat di basis-basis tani STN/PRD, di Ngawi, Yogya. Tapi pas pentas, dibubarin.

Wiji Thukul tak cuma piawai bikin puisi, ia turut rumuskan program, strategi dan taktik dan AD/ART PRD. Seingatku, Manifesto PRD dengan prolog dahsyat "Tak Ada Demokrasi di Indonesia, adalah salah satu kalimat yang diedit Wiji Thukul.

Bulan Desember 1995 aksi buruh Sritex dipukul habis. Wiji Thukul sembunyi di rumah penduduk. Naas, ia tertangkap, babak belur dipukul hingga matanya nyaris buta sebelah. Aksi terus meninggi setelah tahun 1996, aksi dukung Mega, Makassar Berdarah, juga persiapan Kongres PRD dan ormas-ormas.

Di Bulan Agustus 1995, Sanggar Suka Banjir yang didirikan Wiji Thukul bikin Perayaan 50 Tahun Indonesia Cemas. Acara itu diserbu tentara. Panggung dirusak. Lukisan-lukisan diangkut ke truk. Saya ingat benar adegan itu. Trontong, anak-anak sanggar itu terdiam ketakutan. Fitri Nganthi Wani, putri Wiji Thukul histeris terus pertahankan lukisan miliknya.

Di depan polisi yang datang satu truk, Wiji Thukul masih baca puisi, lalu berdebat, lalu digelandang. Ia terus baca puisi. Teruss!!

Pukulan 27 Juli 96, semua aktivis PRD diburu. Wiji Thukul sembunyi, terakhir di Kalimantan. Rumahnya digrebek. Buku-bukunya diangkut tentara. Dari persembunyian Wiji Thukul menulis puisi. Menyebar lewat milis Apakabar. ”Aku masih ada. Dan kata-kata belum binasa!” Thukul belum menyerah!

Harusnya September 1996, adalah Kongres Jakker. Panitia sudah siap. Rontok setelah peristiwa Kudatuli. Saat saya membaca notulensi rapat persiapan Jakker, sudah dirancang bikin terbitan Suluh, akan terbit 30 Agustus 1996, Pemrednya Nining. Kongres itu tak pernah terjadi. Diagendakan pula, acara Jaker: Pembacaan Puisi Wiji Thukul di Solo dan Pentas Sastra Merdeka di Semarang. Tak pernah terjadi.

Tahun 1997 Wiji Thukul kembali ke Jakarta, bergabung dengan kawan-kawannya. Dia mengorganisir buruh dan PDI pro Mega di Tangerang.

Maret 1998. Sejumlah aktivis dari PRD, PDI pro Mega, PPP dll. Wiji Thukul pun hilang!

Terakhir bertemu keluarga Desember 1997 di Stasiun Tugu Yogya. Si Pon, Wani, Fajar Merrah akan balik ke Solo, Wiji Thukul antar ke stasiun. “Wis kono gek bali. Ati-ati karo anakmu," Kata2 terakhir Wiji Thukul. Dan, dia sendiri tak pernah kembali!

Wiji Thukul adalah seniman rakyat, yang memilih jalan dengan wadah politik menentang rezim Soeharto. Dia sudah tahu risikonya. Dia jalan terus!

Jika di Filipina ada Jose Rizal, sastrawan populer, pahlawan rakyat Filipina, yang dieksekusi penjajah Spanyol. Jika di Timor Lesta ada Fransisco Borja da Costa, penyair yang sajak-sajaknya jadi lagu rakyat Timor Leste yang mati ditembak tentara Indonesia. Jika di Chile, ada Victor Jara, pemusik, penyair, sutradara teater,17 Sept 1973 ditembak mati pasukan Jend Pinochet yang kudeta Allende. Jara pemusik popular, dengan lagu-lagu sarat kritik sosial. Ia selalu main gitar akustik. Di Indonesia, mungkin mirip-mirip Iwan Fals.

Menyebut nama Wiji Thukul selalu bikin dada saya sesak. Thukul, Suyat, Gilang, dulu bersama-sama di Solo. Ingat markas Mertokusuman. Sama sesaknya menyebut Herman dan Bimpet, kawan seperjuangan, serumah beberapa tahun di Surabaya, dengan bapak ibu kos Kawan Nia Damayanti.

Kalian yang tak pernah merasakan perihnya kehilangan kawan berjuang, heii...jangan sekalipun bilang itu cuma ROMANTIS !! !

Dipenjara, diculik, dibunuh, resiko itu kami sadari benar. Penjara dan penculikan itu tinggal giliran siapa. Tapi ingat kawan yang hilang diculik, yang mati ditembak, yang cacat seumur hidup, pedihnya terus melekat. Tak berkurang kendati sudah 14 tahun.

Jika Comandante Marcos terkenal dengan “Kata adalah senjata”. Saya kenang Wiji Thukul dengan “Kata-kata tak ubah realitas, tapi mempertajam realitas!”. Wiji Thukul itu istimewa, orisinil, cerdas. Tanpa tedeng aling-aling, berani. Ide-ide orisinil kerap melesak dari kepalanya. Ingat joke Wiji Thukul yang sering diceritakan ke kawan-kawan: “Yang paling adil adalah Puskesmas, karen apapun sakitnya, obatnya sama: VITAMIN! ”

Atau saat Wiji Thukul kritisi LSM lingkungan yang saat itu memang menjamur: “Orang sudah sibuk berhadapan sama tentara kok kalian masih urus kupu-kupu? Padahal LSM kupu-kupu itu ya punya kawan-kawan yang dimintai duit dan LSM adiknya sendiri, Wahyu Susilo.

Ingat awal 1993, saya mahasiswa baru, sok intelek, ikut seminar. Pembicaranya juga intelek. Tiba-tiba sosok krempeng berkaus lusuh interupsi: “Ngapain bicara ndakik-ndakik (sok intelek). Rakyat butuh makan!” Saya kaget. Ini orang bicaranya enggak intelek banget. Penampilan lusuh pula! Tapi kalimat itu, keberanian itu, berdengung sepert tawon di kuping saya. Iya juga ya? Ah tapi apa pentingnya laki-laki lusuh cedal itu!

Kongres PRD 1994, di meja pembicara, suara cedal itu terdengar lagi. Jadi pemateri. Dia, Wiji Thukul. Saya terlongong-lolong dengan kata-kata ajaib dari bibir Wiji Thukul. Lugas, sederhana, membalut ide-ide yang sama sekali tidak sederhana! Referensinya anjrit gila.

Lalu kami sering ke rumah Wiji Thukul yang masih berlantai tanah. Mesin jahit dan kain jahitan berserakan. Cuma ada sepasang kursi reot. Tap perpustakaan-nya cuy! Ada Gramsci, Brecht, Marx, Tolstoy. Kebanyakan Inggris! Saya yang baru baca Gie dan Ahmad Wahib saja sudah berasa jago banget!

Ingat waktu Wiji Thukul sakit gigi, jongkok bergelung sarung di pojok perpustakaan. Kedua tangan menyangga dagu. Ia nangis gerung-gerung. Ngopo nangis, Kang? Untuku lolo/ Saya yang usil, terkikik-kikik: Untu lolo ae nangis. Gembeng ! Wiji Thukul melotot: “Sontoloyo! Metu kowe !” Sampai sekarang saya masih ingat ekspresi marah itu. Mata merah itu. Sepurane yo, Kang....

Bertahun sesudahnya, saya sering kena sakit gigi yang biadab rasanya. Pernah nangis meraung-raung di kantor. Dan saya jadi selalu ingat Wiji Thukul!

Suatu kali, masih usil lagi: Kang, mbok aku dibuatin puisi yang gak ada huruf R!/ Wiji Thukul diam. Mukanya merah. Kelak saya sadar, ia benar-benar marah. Tapi biarpun sering bikin marah dia, tiap ke rumahnya, sapaan pertama Wiji Thukul: 'Wis mangan rung?” Oh itu sapaan khas semua kawan PRD ding!

Dulu Yu Pon sering bikin puding coklat, dengan biskuit regal. Bulat berjejer. Yaawoh, itu sepert makanan sorga! *saking sering kelaperan* Kami aktivisi di Solo, seperti Imron Rosyid, Prijo Wasono alias Abu, Kelik Ismunandar , pasti masih inget sayur asem iwak gereh dan sambel terasi bikinan Yu Pon.

Tahun 2002, Wiji Thukul dapat Yap Thiam Hien Award. Diterima oleh Yu Pon. Saat itu, semua audiens berseru: “Thukul, dimana kamu???” Waktu itu di Gedung Arsip, malam-malam. Sebarisan kawan di kursi belakang, saling berpandangan. Mata kami memerah. Tak bisa ngomong apa-apa.

Pablo Neruda, penyair kiri Chile, pemenang Nobel, diplomat yang pernah tugas di Jakarta, sohib dekat Alende mati 1973, mati karena kangker prostat. Sampai kini kematiannya masih diselidiki, karena diduga ia mati diracun. Itu kasus tahun 1973. Hampir 40 th lalu. Dan Wiji Thukul, yang hilang sejak 1998, bersama belasan lainnya, tak jelas bagaimana nasibnya.

Met ultah ya Kang. Aku tau, kalau kuucapkan langsung kau pasti nolak "Ah, ulangtaon-ulangtaunan ki nggo opo!!" Moga gigimu gak seringg sakit lagi ya.

Sumber: http://www.beritasatu.com/

No comments

Powered by Blogger.