Kiri Sosial membuka ruang bagi kawan-kawan yang ingin berkontribusi pada Kirisosial.blog. Kami menerima kontribusi dalam bentuk artikel terjemahan yang memuat tentang inspirasi gerakan yang partisipatif atau tentang inspirasi persatuan. Silahkan kirim terjemahan anda melalui inbox FB atau kirim melalui kirisosial@gmail.com. Terimakasih

Revolusi dan Demokrasi (Bagian ketiga-selesai)



---Sambungan dari bagian ke dua--


DEMOKRASI DAN “DEMOKRASI”

Yang menjadi isu utama adalah apa yang dikemukakan Kautsky di bawah ambisinya yang sesat, yaitu, apa perbedaan antara demokrasi seutuhnya dan yang paling konsisten seperti yang dipahami oleh Marx, Engels dan Lenin, dengan istilah "kediktatoran proletariat" seperti yang juga digunakan Marx, Engels dan Lenin?

Pada intinya: tidak ada bedanya sama sekali. Sebenarnya, Lenin selalu menekankan bahwa demokrasi seutuhnya hanya bisa diwujudlkan melalui kediktatoran kaum proletariat; Sementara Marx dan Engels cukup sering menggunakan kata "demokrasi" sebagai sinonim "kediktatoran proletariat"; Dan tidak pernah berhenti mencemooh para pendukung demokrasi parlementer borjuis kecil yang mencoba menyesatkan para pekerja dengan bentuk parlementer dari demokrasi ketimbang substansi revolusioner-proletariatnya.

Sudah sangat jelas, ada dua pemahaman demokrasi dan "demokrasi"—yang dalam makna realita dan satunya lagi adalah sekedar omong kosong liberal sosialis-gadungan. Mari kita lihat apakah kita bisa menemukan cara membedakannya.

Inti dari kata "demokrasi" dalam arti sesungguhnya adalah tuntutan kelas—tuntutan untuk kesetaraan kelas: untuk penghapusan hukum-hukum oleh kelas yang mendapat hak istimewa.

Masyarakat Yunani kuno, yang menemukan kata "demokrasi", selalu memberi makna kelas. Bagi mereka artinya adalah aturan bagi para demos (rakyat jelata), yang berarti hilangnya kekuasaan oleh minoritas berhak istimewa. "Sebuah demokrasi", Aristoteles menulis dalam bukunya Politics, "terwujud kapanpun mereka yang bebas dan tidak mampu, menjadi mayoritas, memegang kendali pemerintahan". Dia membandingkan "demokrasi" dengan "oligarki", di mana "kontrol pemerintahan terletak pada orang kaya dan bangsawan, yang jumlahnya sedikit " .18


Cukup dibutuhkan sedikit refleksi untuk melihat segala argumentasi tentang “demokrasi” atau “kediktatoran” secara abstrak adalah sia-sia. Hanya ketika kita bertanya "demokrasi untuk siapa" atau "kediktatoran, oleh siapa pada siapa?”—hanya jika pertanyaan itu dikonkretkan dan dimungkinkan bagi kita untuk memeriksanya dalam hubungan praksisnya dengan struktur kelas masyarakat, baru soal tersebut menemukan solusi rasionalnya.

Misalnya, bagi bangsa Yunani di era negara-polis, di mana istilah "demokrasi" pertama kali diciptakan, seperti yang dapat kita lihat dari komentar Aristoteles di atas, bisa ditemukan makna sosial konkretnya, dan sama sekali tidak abstrak. Entah itu fungsi pembuatan dan pengelolaan undang-undang secara turun temurun dikuasai oleh “orang kaya dan para bangsawan, yang jumlahnya sedikit” yang dalam kasus ini berarti tidak adanya demokrasi, atau fungsi-fungsinya dijalankan oleh para demos, yaitu mereka yang miskin dan berarti merupakan mayoritas, yang artinya demokrasi telah berjalan.

Bagi seorang aristokratik Yunani (seperti Aristoteles) sebuah negara di mana kaum demos menjalankan kedaulatan absolut, sebagaimana Aristoteles mengatakannya "massa rakyat menjadi monarkis" dan "menjadi tuan bagi warga kelas atas" 19, berarti dalam prakteknya persis seperti kediktatoran revolusioner Proletariat kepada kaum borjuis saat ini. Secara fakta historis dapat disebut "tiran" (lagi orang Yunani kuno lah penemu istilah ini) yang pertama adalah para diktator hasil kemenangan demokrasi untuk memerintah menggantikan posisi penguasa aristokratik yang telah Diusir. Bagi orang Yunani kuno, "demokrasi" tidak dapat dipisahkan dari "kediktatoran" oleh rakyat jelata.

Itu juga makna kata yang diusungnya ketika dihidupkan kembali saat Revolusi Besar Prancis tahun 1789-93. Edmund Burke, yang dianggap oleh akademisi liberal sebagai salah satu filsuf politik paling terkemuka yang pernah dimiliki Inggris (terlepas bahwa dia orang Irlandia!), sangat menentang Revolusi Prancis karena menurutnya Revolusi Prancis merusak "tatanan subordinasi kelas" dan memberikan kekuasaan kepada "orang-orang hina". Dia menyebut republik demokratik revolusioner yang didirikan oleh Jacobin pada tahun 1793 sebagai "istana kanibal", sebuah "republik pembunuh"; yang dipimpin oleh "orang-orang gila yang paling kotor, paling rendah, paling licik, dan paling miskin", masyarakat pendukungnya adalah "koalisi rakyat barbar Amazon dan laki-laki kanibal Paris", "manusia rendahan", "ateis pembunuh", "sekelompok pencoleng", "gerombolan perampas, pembunuh, tiran, dan atheis yang putus asa", "sampah masyarakat".

Tak terlampau sulit mendeteksi sentiment kelas di sini, atau mengidentifikasikan "demokrasi" sebagai aturannya rakyat jelata. Juga tidak salah lagi banyak lawan Bolshevisme yang kehabisan kata-kata celaan menjelma menjadi Burke untuk meminjam kosa kata umpatannya.

Sementara Burke mengoceh soal Republik Prancis, pendukung Jacobin, Jean Paul Marat, menjelaskan esensi dari kekuatan yang membuat Burke ketakutan dan kehilangan akal sehatnya:
... revolusi telah dibangun dan dipertahankan hanya oleh kelompok masyarakat yang paling rendah, oleh para pekerja, perajin, pedagang eceran, petani, oleh rakat jelata, mereka yang oleh orang kaya disebutnya gembel, oleh orang-orang malang yang oleh orang kaya dipanggilnya rakyat jelata, dan mereka yang disebut orang Roma sebagai proletariat.20

Bagian ini penting karena kamungkinan inilah pertama kalinya penggunaan modern dari istilah proletariat dalam makna revolusionernya. Ini mendukung fakta bahwa semua "demokrat" di periode 1792 sampai 1848 adalah kaum revolusioner yang memperjuangkan penghapusan penindasan pada “rakyat”—yang berjuang menghancurkan hak istimewa untuk kelas tertentu agar rakyat yang tak berpunya dapat berkuasa dan bukannya orang-orang kaya. Jika hanya "kesetaraan" formal ketika pemilu, yang tetap meninggalkan mesin negara di bawah kendali orang kaya, bagi mereka itu sama sekali bukan demokrasi—hanya olok-olok bagi istilah tersebut.

Marat, misalnya, terkenal baik karena memperjuangkan proletariat Paris dan juga karena andilnya dalam pemberontakan Paris hingga dapat memunculkan konstitusi tahun 1793 yang terkenal itu, dimana semua pejabat pemerintah harus dipilih lewat pemilihan dan dapat direcall kapan saja oleh pemilihnya dan di mana dewan legislatif pusat terdiri dari delegasi dewan di bawahnya.

KESETARAAN FORMAL DAN KETIDAK SETARAAN KELAS

Berawal dari perlawanan proletariat Paris untuk pemulihan konstitusi yang benar-benar demokratis inilah, yang hampir menetapkan kediktatoran proletariat Paris, (dan digulingkan kaum borjuis kaya justru karena hal itu)—dari perlawanan inilah awal munculnya gerakan sosialis revolusioner. Gerakan ini dibuat oleh kelompok "Conspiracy of the Equals " tahun 1796-97 yang dipimpin oleh Gracchus Babeuf, editor jurnal kiri Jacobin, Tribune du Peuple.

Slogan paling populer dari kelompok “Conspiracy of the Equals” adalah “Roti dan Konstitusi 1793!” Di slogan ini mereka mengkaitkan isu sosial dan politik secara sejajar: demokrasi hanya berarti bagi kelas proletariat jika mendapatkan hak mereka atas “roti”. Arah berpikir ini diilustrasikan secara tepat dalam pamflet yang dimiliki Babeuf ketika dia ditangkap tahun 1797:

Kami menuntut untuk hidup dan mati, sama seperti ketika dilahirkan, setara: kami menginginkan kesetaraan yang sesungguhnya atau mati. Itulah yang harus kami dapatkan. Dan kami akan mendapatkan keseteraan itu apapun harganya. Terkutuklah bagi mereka yang menolak dan menentang kami! Terkutulah bagi siapapun yang menentang harapan yang begitu jelas ini! Revolusi Prancis hanyalah pengantar dari revolusi lain yang jauh lebih besar, jauh lebih mulia, yang akan mencapai puncaknya!21 

DEMOKRASI DAN REVOLUSI

Dalam dokumen ini, kita memiliki rumusan paling awal tentang demokrasi yang pada dasarnya juga merupakan kediktatoran proletariat, dan bertujuan untuk membangun persamaan sosialis.

Logikanya yang sempit terlihat dari fakta argumennya mengabaikan adanya ketidaksetaraan penggunaan persamaan hak untuk mendukung tuntutan satu kelas saja—kaum proletariat. Itulah "logika" borjuis untuk membalas tuntutan "kesetaraan".

Demokrasi, kata mereka, berarti tiap individu harus dianggap "setara" dengan tiap individu lainnya di mata negara. Untuk mengajukan pertanyaan mengenai ketidaksetaraan secara logika dilarang. Sebenarnya, "demokrasi" borjuis menuntut agar individu-individu, secara hukum, direduksi menjadi sekedar unit-unit independen abstrak dari sebuah senyawa manusia.

Tidak ada yang pernah menjelaskan sumber materi-sosial dari komponen inti ideologi burjuis selain Karl Marx. Di Das Capital dia menunjukkan bahwa proses pengambilalihan kapitalis atas nilai lebih yang diciptakan oleh kelas pekerja dimulai dengan penjualan dan pembelian tenaga kerja (kapasitas individu untuk melakukan aktivitas kerja). Dia kemudian menunjukkan bagaimana komodifikasi kapitalisme tenaga kerja menghasilkan munculnya konsepsi borjuis tentang kesetaraan abstrak atas semua individu:

Lingkup sirkulasi atau pertukaran komoditas, di dalam batas-batas penjualan dan pembelian tenaga kerja terus berlanjut, sebenarnya merupakan hak azasi manusia yang sejati. Ini adalah ranah eksklusif Kebebasan, Kesetaraan, Kepemilikkan dan Bentham—utilitarianisme. Kebebasan, karena keduanya adalah pembeli dan penjual komoditas, katakanlah dari tenaga kerja, ditentukan hanya oleh kehendak bebas mereka sendiri. Mereka dikontrak sebagai orang bebas, yang setara di depan hukum. Kontrak mereka merupakan hasil akhir di mana penggabungannya akan menemukan ekspresi hukum yang sama. Kesetaraan, karena masing-masing terlibat dalam relasi dengan yang lain, sama seperti pemilik komoditas biasa, dan mereka bertukar secara sepadan. Kepemilikan, karena masing-masing hanya memberi dari apa yang dimilikinya. Dan Bentham, karena masing-masing hanya mencari keuntungannya sendiri. Satu-satunya hal yang membuat mereka bersama, dan menempatkan mereka dalam hubungan satu sama lain, adalah keegoisan, mencari keuntungan dan memenuhi kepentingan pribadi dari satu sama lain. Masing-masing hanya memperhatikan dirinya sendiri, dan tidak ada yang mengkhawatirkan yang lain. Dan justru karena alasan itu, baik sesuai dengan keharmonisan yang telah ditetapkan sebelumnya, atau karena bantuan takdir, mereka semua bekerja sama demi keuntungan bersama mereka, demi kesejahteraan bersama, dan demi kepentingan bersama.22

Di permukaan, pada bidang sirkulasi komoditas, kelihatannya ada kesetaraan antara individu kapitalis sebagai pembeli tenaga kerja dengan individu pekerja upahan. Namun, dalam proses produksi, para pekerja harus memberi lebih dari yang mereka dapatkan berdasarkan Kapasitas para pekerja untuk memproduksi komoditas yang peningkatan nilai-tukarnya lebih besar dari upah yang dibayarkan atas waktu dihabiskan dalam sistem pekerjaan kapitalis. Produksi nilai lebih adalah motor dari sistem produksi kapitalisme.

Hubungan ekonomi yang terbentuk di bidang sirkulasi komoditas—di pasar, khususnya pasar tenaga kerja—tercermin pada suprastruktur hukum dan politik masyarakat borjuis oleh anggapan bahwa semua individu pada dasarnya setara, dan memiliki hak yang sama katakanlah—sebagai pemilih individual yang terionisasi (sangat kecil dan tak berarti)—dalam memutuskan kepentingan publik.

Bagi "logika" borjuis, argumen tentang kesetaraan abstrak masing-masing individu "di hadapan hukum", secara “logika” tidak bisa dibantah oleh kesadaran kelas proletariat—hanya saja secara praksis: bahwa saat jam makan, sama sekali tidak menyenangkan menjadi unit abstrak dari kemanusiaan; saat jam makan, seseorang memiliki kebutuhan konkret atas jenis makanan tertentu yang juga konkret. Oleh karena itu, kaum proletariat berargumen, "persamaan demokratik" yang mengakui kesetaraan saya dengan kaum borjuis hanya secara abstrak, dan menolak untuk mengakuinya secara konkret dengan alasan telah "diakui dalam undang-undang"—“keseteraan demokrasi" macam ini adalah omong kosong borjuis. Seperti yang diungkapkan Anatole France: "Hukum, dalam kesetaraannya yang agung, melarang baik orang kaya dan miskin untuk tidur di kolong jembatan; Mengemis di jalanan; Dan mencuri roti!"

Asumsi "demokrasi"nya borjuis didasarkan bukan pada hubungan antar manusia, tapi pada hubungan kepemilikan-pribadi. Hanya jika seseorang menolak untuk diyakinkan bahwa sudah sangat cukup untuk menghadiahkan seseorang “hak kepemilikan" pada dirinya sendiri, terlepas apakah dia memiliki keinginan untuk mempertahankan orang tersebut sebagai manusia, bahwa kesengsaraan kesetaraan borjuis di hadapan hukum dan ungkapan politik "demokratis"nya, "persamaan pada saat pemilu parlemen", terungkap sebagai sebuah tipuan.

Dalam "demokrasi" borjuis seperti Inggris dan Australia, semuanya sama-sama "bebas" menjadi kandidat parlemen (asalkan mereka memiliki uang untuk membayar deposit yang diperlukan!). Semua sama-sama "bebas" untuk meyakinkan para pemilih untuk memilih mereka (asalkan memiliki uang untuk menyewa ruang pertemuan, mencetak dan mengedarkan literatur kampanye, dan membeli ruang iklan di surat kabar dan waktu iklan di radio dan televisi!). Semuanya sama-sama "bebas" untuk menerbitkan surat kabar harian dengan sirkulasi masal (asalkan memiliki beberapa ratus juta pound atau dolar yang dibutuhkan untuk membeli mesin cetak besar, truk pengantar, dll.). Semua sama-sama "bebas" untuk memilih kandidat atau partai politik "terbaik" (asalkan mereka memiliki sarana untuk mengetahui mana dan siapa "yang terbaik" untuk mereka!).

PERKEMBANGAN DIALEKTIKA ISTILAH “DEMOKRASI”


Itu adalah tekanan dari pengalaman historis perbedaan antara bentuk legal dan politik dari kesetaraan di bawah "demokrasi" borjuis dan realita substansinya dalam kondisi aktual kehidupan proletariat, yang menyebabkan slogan-slogan kaum buruh demokratis berubah secara mendadak dari tuntutan untuk "demokrasi sejati" (yang terkandung dalam "Konstitusi 1793" di Prancis, dari "Piagam Rakyat" di Inggris), menjadi satu tuntutan "kediktatoran proletariat". Itu dibuat sekitar pertengahan 1848, ketika dalam perjalanan revolusi demokratis yang meletus di penjuru Eropa pada tahun itu terungkap bahwa kaum borjuis dan kaum borjuis kecil demokrat lah yang pada setiap krisis selalu menyerah pada kontra-revolusi kekuatan anti demokrasi dan melepaskan bahkan "persamaan demokrasi" yang mereka sendiri nikmati ketimbang menghasilkan "demokrasi nyata" bagi kaum proletariat.

Pada masa-masa Revolusi Prancis, kata-kata "demokrat" dan "demokrasi" menjadi celaan bagi telinga massa proletariat. "Kaum demokrat", berdasar pengalaman ketika itu, adalah peniru, tukang pura-pura, penipu demagogis, pengobral janji, yang semuanya terungkap dalam setiap perbandingan antara kata-kata dan perbuatannya.

Di tengah menggeloranya praktik aktual revolusioner pada tahun yang sama itulah slogan "kediktatoran proletariat" lahir. Marx sendiri, sebetulnya menyematkan pencipta dari frase itu kepada proletariat Paris selama pemberontakan revolusionernya yang prematur, dan berakhir tragis, pada Juni 1848 melawan "republik demokratis" yang didirikan oleh pemberontakannya sendiri pada bulan Februari 1848:

Proletariat Paris dipaksa melakukan insureksi Juni oleh borjuasi. Ini cukup untuk menandai malapetaka nya. Kebutuhannya yang mendesak untuk diakui tidak mendorongnya terlibat dalam perjuangan menggulingkan borjuasi secara paksa, juga tidak dengan tugas lain yang sebanding dengan ini. Surat kabar Moniteur menginformasikannya secara resmi bahwa waktunya sudah lewat bagi republik untuk tunduk dan mengikis ilusinya. Dan dengan kekalahan Komune Paris semakin memberi keyakinan bahwa sekecil apapun peningkatan posisinya tetaplah merupakan utopia jika berada di dalam republik borjuis, sebuah utopia yang akan dianggap kejahatan begitu ingin diwujudkan menjadi nyata. Republik Februari, menjanjikan secara nama namun borjuis dalam watak isinya, sebagai konsesi dari tuntutan yang ingin dimajukan itu maka muncullah slogan perjuangannya yang revolusioner: Gulingkan kaum borjuasi! Kediktatoran bagi kelas buruh!

Kesimpulan apa yang dapat diambil setelah mempelajari dialektika historis dari istilah "demokrasi" dan proletariat revolusioner yang menuntutnya?

Pertama, bahwa esensi tuntutan "demokrasi" adalah tuntutan akan kesetaraan, yang dalam kasus proletariat semakin meningkat (sudah pastinya) pada kepentingan praktis dari tuntutan penghapusan perbedaan kelas—yang (dan juga harus) berada di bawah tekanan perkembangan historis tuntutan penggulingan pemerintahan borjuis, untuk kediktatoran proletariat, dan untuk sosialisme.

Kedua, bahwa Marx dan Engels memahami, dan dengan demikian menafsirkan, istilah "demokrasi". Hal ini dibuat secara eksplisit oleh Engels dalam kritiknya terhadap program rancangan Kautsky tahun 1891 untuk Partai Sosial Demokrat Jerman, di mana dia mengamati bahwa:

Satu hal yang pasti, Partai dan kelas buruh hanya bisa berkuasa di bawah bentuk pemerintahan republik demokratis. Ini bahkan merupakan bentuk spesifik dari kediktatoran peroletariat, sebagaimana telah ditunjukkan dalam Revolusi Prancis yang agung [Yaitu, Komune Paris 1871].24

Ketiga, pembatasan Kautsky tentang pentingnya istilah "demokrasi" hanya pada satu bentuk kondisi historisnya—yaitu tentang parlementarismenya—tentu saja dicela oleh Marx dan Engels sebagai sesuatu yang sangat bertentangan dengan akal sehat dari seluruh doktrin politik mereka.

Keempat, bahwa upaya Kautsky untuk mempertentangkan "demokrasi" (secara abstrak) sebagai alternatif dari kediktatoran proletariat merupakan upaya untuk menutupi desersi dia dari perjuangan revolusioner proletariat guna mendukung usaha dia melakukan tawar-menawar politik dengan borjuasi melawan perjuangan ini.


Akhirnya, bahwa mempertentangkan "demokrasi" dengan segala macam makna kediktatoran berarti, dalam prakteknya, merupakan sossialis gadungan—bekerjasama dengan borjuasi dalam perjuangan kelas melawan proletariat. Penyangkalan bahwa perjuangan kelas proletariat melawan kaum borjuasi harus mengarah pada kediktatoran proletariat, secara praktek berarti melanggengkan perjuangan kelas melawan revolusi proletariat. Evolusi politik Kautsky di Jerman bebereapa tahun setelah dia menulis polemiknya menentang Revolusi Bolshevk—dimana dia menjadi pejabat di pemerintahan yang menggunakan mesin birokrasi militer negara borjuis untuk menghantam secara brutal revolusi para pekerja Jerman pada November 1918 sampai Maret 1919—memberi cukup bukti kebenaran dari kesimpulan ini.

No comments

Powered by Blogger.