Kaum MIskin Yang Melawan
Seorang Kawan, Wiji Thukul
Oleh : Linda Christanty
Situasi pasca pemilihan umum disambung krisis ekonomi membuat Jakarta terus memanas sampai November 1997 itu. Telepon tiba-tiba berdering dan seseorang di seberang sana berbicara dengan tergesa-gesa, “Linda, aku minta izin pulang ke Solo dulu, ya.” Dia adalah Wiji Thukul. Kalimat tersebut menjadi kalimat terakhirnya untuk saya, sebelum ia dinyatakan hilang bersama sejumlah aktivis politik yang diculik militer hampir tiga tahun lalu.
Ia tak pernah ditemukan sampai hari ini.
Siang terik tengah menyengat Surakarta, saat saya dan seorang teman menyusuri lorong panjang dengan rumah-rumah sederhana pada sisi-sisinya. Pemukiman ini dikelilingi pabrik. Bau busuk dari got-got pembuangan menghadang penciuman, seperti barikade tentara yang tak bisa dihindari.
Kampung Kalangan dihuni para buruh pabrik, tukang becak, dan berbagai pekerja upahan yang berjuang keras untuk hidup. Anak-anak kecil bermain, berlari-lari, dan bergantian menyapa kami. Di belakang sebuah bangunan, dekat tanah lapang, ada gundukan-gundukan berwarna putih. Teman saya menjelaskan bahwa gundukan itu berasal dari limbah pabrik bumbu penyedap. Lorong panjang tersebut membawa kami makin jauh ke dalam, menuju rumah Wiji Thukul. Ia seorang penyair. Puisi-puisinya menggambarkan penindasan dan protes kaum buruh terhadap majikan, juga perlawanan rakyat kecil terhadap kekuasaan.
Rumah itu sangat sederhana, dengan sebuah ruangan luas di bagian muka. Lantainya diberi alas plastik biru, yang sering dijadikan bahan tenda pedagang kaki lima. Sebuah ambin merapat di dinding. Mesin jahit tua yang menjadi alat mencari nafkah tampak di tengah ruangan, dekat pintu kamar tidur penghuninya. Sebuah bilik kecil di samping rumah ternyata kamar mandi. Tak ada kran air maupun bak mandi. Lantainya tanah dengan lubang kakus terbuka, yang menyebarkan bau tak sedap.
Pria ini berperawakan agak kurus. Penampilannya bersahaja, berkaos oblong putih merek Swan. Ia lalu memperlihatkan sebuah ruang rahasia, perpustakaan miliknya. Buku-buku tersusun dalam rak. Kebanyakan berbahasa Inggris. Saya menemukan sebuah buku tentang televisi di situ, yang menjelaskan pengaruh televisi terhadap perilaku homoseksual. Buku-buku lainnya tentang Bertold Brecht dan pemikiran Antonio Gramsci. Udara dalam perpustakaan terasa pengap, tapi ia menawari kami minum kopi dan bercakap-cakap di sana. Tak berapa lama Nganti Wani, putrinya yang berusia lima tahun, dan beberapa teman sebayanya masuk, kemudian keluar lagi. Anak-anak kecil yang datang bertandang itu anggota Sanggar Suka Banjir. Wiji Thukul mengajak mereka bermain teater, menyanyi, dan menggambar bersama. Ia ingin mengajari mereka melawan keterbatasan dan kemiskinan dengan mengenalkan pada keindahan, karena keindahan bisa berada di mana saja, melampaui batas-batas kelas.
Wiji Thukul mempunyai konsep sendiri dalam berteater.
Baginya, tak ada jarak antara pertunjukan di atas panggung dengan penonton, bahkan terhadap realitas yang tengah berlangsung. Suatu hari Sanggar Suka Banjir mementaskan lakon tentang banjir. Antara pemain dan penonton terjadi dialog, sampai mencari jalan keluar bersama untuk menyiasati tanggul yang rusak. Di akhir pementasan, pemain dan penonton bersama-sama mengunjungi rumah pak lurah untuk mengadukan soal banjir tadi.
Kepeduliannya terhadap persoalan nasib rakyat tertindas dan aktivitas berkeseniannya tak bisa dipisahkan, seperti sepasang kekasih yang terikat janji mati. Ini mengandung risiko. Suatu hari, pada 1994, diskusi bertajuk “Sastra dan Perlawanan Rakyat” berlangsung di rumah Thukul. Seorang seniman Surakarta, mahasiswa, dan anak-anak dari Sanggar Suka Banjir hadir. Kebetulan, saya menjadi pembicara dalam diskusi tersebut. Orang-orang tak dikenal berdatangan dan ikut bersila di atas plastik biru itu. Setelah selesai bicara, saya diantar lewat pintu belakang dan dijemput seorang teman. Istri Thukul, Mbak Pon, mengantar sampai di muka pintu. Ia mengepalkan tangan sambil berbisik lirih, “Hidup rakyat.” Setelah kami bertemu lagi, Thukul bercerita dalam acara itu intel yang hadir sekitar 20 orang. Ia tertawa-tawa. Tiada terpancar kecemasan pada sepasang matanya. Intimidasi menjadi hal yang lucu barangkali.
Pada tahun itu juga aksi petani terjadi di Ngawi. Thukul memimpin massa dan melakukan orasi. Ia juga membacakan puisi-puisinya. Thukul ditangkap, lalu dipukuli militer.
Pada tahun itu juga aksi petani terjadi di Ngawi. Thukul memimpin massa dan melakukan orasi. Ia juga membacakan puisi-puisinya. Thukul ditangkap, lalu dipukuli militer.
Puisi-puisi Thukul lahir dari kesadaran menjadikan seni sebagai media perjuangan terhadap kesewenang-wenangan. Wiji Thukul pernah memenangkan penghargaan Werdheim, sebuah anugerah bergengsi untuk karya-karya kemanusiaan.
Puisi-puisinya memperoleh pujian, meski ia mengatakan tak pernah menulis puisi untuk menang perlombaan. Panitia penghargaan memberinya hadiah sejumlah uang. Tetapi, Thukul tak bisa datang ke Belanda untuk menerima langsung hadiah tersebut. WS Rendra, penyair Indonesia yang juga memenangkan penghargaan Werdheim pada tahun yang sama dan datang untuk menghadiri penganugerahan itu menawarkan diri untuk dititipi uang hadiah Thukul. Namun, hadiah tadi tak pernah sampai ke tangan Thukul.
Kami telah berkawan bertahun-tahun, meski bertemu hanya di waktu-waktu tertentu. Kami mulai membangun Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKER) bersama Rahardja Waluya Jati dan pelukis Moelyono di penghujung 1994 itu (semula pelukis Semsar Siahaan dan sejarawan Hilmar Farid juga terlibat, lalu memilih tak aktif lagi). Meski para seniman masih memperdebatkan hubungan halal atau haram antara seni dan politik, tapi kami memutuskan untuk hidup dan berkesenian di tengah perlawanan rakyat yang kehilangan hak-haknya di masa Soeharto.
Pada akhir 1995, Wiji Thukul ikut memimpin pemogokan ribuan buruh PT Sritex di Surakarta. Saya lupa tanggal dan bulan peristiwa itu. Pemilik saham PT Sritex, antara lain Harmoko dan Angkatan Darat. Aksi kali ini membuat mata kirinya nyaris buta akibat kekerasan aparat.
Ia memang bukan penyair biasa. Wiji Thukul adalah salah seorang pimpinan Partai Rakyat Demokratik, juga salah satu kader terbaik partainya.
Secara pribadi, ia teman yang menyenangkan. Thukul gemar bergurau. Lelucon-leluconnya segar dan orisinal. Ia juga bisa menjaga perasaan orang lain, meski harus mengorbankan perasaan sendiri. Suatu hari saya, saat mengunjunginya lagi di Surakarta, saya memberi Thukul kaset pianis jazz, David Benoit. Ia hanya mengucapkan terima kasih, lalu memutar kaset itu dalam tape recorder di perpustakaan. Dentingan piano Benoit terdengar keras di malam hari. Berbulan-bulan kemudian saya bertemu Waluya Jati di Yogyakarta. “Lin, kata Thukul kamu memberinya kaset jazz dan dia bilang, aku kok nggak bisa menikmati kaset Linda itu, ya, meski sudah berusaha,” kata Waluya Jati, seraya tertawa.
Setelah pembicaraan telepon pada November 1997, saya tak mendengar kabar apa pun dari Wiji Thukul. Kemudian, sebuah acara untuk mengenangnya berlangsung di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin tahun lalu. Saya datang ke sana, seperti mengunjungi kawan lama. Sebuah lukisan cat minyak yang sedikit mirip Thukul turut dipajang. Spanduk acara bertulis “Thukul, Pulanglah” dipasang di belakang meja pembicara. Tamu-tamu belum banyak yang hadir. Seorang pria menyentuh lembut pundak saya dan berbisik, “Linda, Mbak Pon istri Thukul ada di sini dan ingin ketemu setelah tahu kamu datang.” Hati saya tiba-tiba pedih. Perempuan itu menghampiri saya dan kami membisu dalam pelukan yang erat. Nganti Wani sudah tumbuh menjadi gadis remaja, berdiri di belakang kami. Tatapannya membuat saya tak tahan. Kerinduan, harapan, kepedihan, dan kemarahan berpijar dari sepasang mata anak semuda itu.
Saya tidak tahu Thukul masih hidup atau sudah tak ada. Ini tahun keempat kepergiannya. Tiap mengenang Thukul, saya teringat seorang penyair Bulgaria yang mati dieksekusi di muka regu tembak rezim fascis negerinya. Penyair ini bernama Nikolai Vaptsarov. Ia mati muda dalam usia 32 tahun. Vaptsarov seorang pejuang bagi rakyatnya, sama seperti Wiji Thukul. Tapi, jarang ada yang tahu bahwa perjuangan sama seperti cinta. Kematian tak pernah sungguh-sungguh menghampirinya.
Jakarta, 25 April 2001
Sumber : https://arusbawah20.wordpress.com/
No comments
Post a Comment