Tak kan Ada Proklamasi Tanpa Sukarni
Sukarni
Nama lengkapnya adalah Sukarni Kartodiwirjo. Lahir tanggal 14 Juli 1916 di Desa Sumberdiran, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Dia adalah anak keempat dari sembilan bersaudara: Hono, Sukarmilah, Sukardi, Sukarni, Suparti, Endang Sarti, Sukarjo dan satu saudaranya yang terakhir diketehui karena meninggal sejak masih kecil. Ibunya bernama Supiah berasal dari Kediri. Ayahnya bernama Kartodiwirjo, keturunan Eyang Onggo, juru masak Diponegoro. Keluarga mereka hidup dengan berkecukupan, orang tua Sukarni memiliki toko daging di pasar Garum. Orang tuanya berharap kelak anaknya menjadi orang yang lebih memperhatikan bangsanya, sesuai dengan arti dibalik nama anak keempat mereka tersebut.
Sukarni terlahir pemberani, selayaknya harapan orang tua Sukarni sedikit-demi-sedikit mulai tumbuh dan segera mengakar dalam dirinya. Ditengah situasi penjajahan Belanda saat itu, dan diusianya yang masih sangat muda, bibit kebangsaan Sukarni mulai tertanam saat ia masuk sekolah Mardisiswo (semacam Taman Siswa yang dibangun oleh Ki Hajar Dewantara) di Blitar. Sekolah tersebut memiliki arah anti kolonialisme Belanda, di sekolah itu pula murid-murid termasuk Sukarni diajarkan nasionalisme oleh pendiri Mardisiswo yaitu Moh. Anwar.
Saat Sukarni kecil, sering melompat dari dokar yang mengantarnya dan saudara-saudaranya pergi ke dan pulang dari sekolah, ia sering mengumpulkan puluhan kawan-kawannya untuk berkelahi dengan anak-anak Belanda yang berpapasan dan mengolok-olok mereka. Anak-anak Belanda itu adalah anak-anak pegawai pabrik gula di desa Garum.
Pemuda dalam Arus Kiri
Sukarni tumbuh bersamaan dengan semangat pengorganisasiannya, ia melanjutkan sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Orderwijs) semacam SMP di Blitar. Sukarni memulai langkah keremajaannya dengan berorganisasi, saat usianya 14 tahun, Sukarni membangun Persatuan Pemuda Kita dan menjadi pimpinan organisasi tersebut. Tidak lama kemudian, ia tertarik pada sabuah organisasi nasional Indonesia Muda—yang merupakan gabungan Jong Sumatera, Jong Java, Jong Ambon dan Jong Celebes. Di usianya saat itu, Sukarni sudah menjadi orator yang hebat, karena kemampuannya itu ia pernah dipaksa untuk turun dari podium kala berpidato dan kemudian diinterogasi oleh Residen Blitar Van der Plas.
Pada tahun berikutnya, terbentuk organisasi Suluh Pemuda Indonesia (SPI) oleh para pemuda rakyat di Malang. sebagai respon terhadap kecenderungan organisasi Indonesia Muda yang elitis dan tidak merakyat—ditambah dengan basis keanggotaannya hanya berasal dari pemuda pelajar minimal setingkat MULO. Pada tahun yang sama, di Semarang juga terbentuk Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia (Perpri). Selanjutnya Sukarni bergabung menjadi anggota Perpri cabang Purwokerto.
Keaktifannya dalam pergerakan, yang makin kiri, membuat Sukarni dikeluarkan dari MULO, ia dianggap mencari masalah dengan pemerintahan Belanda. Namun pemuda asal Blitar yang revolusioner ini tidak patah arang dan semakin militan untuk menempa diri, ia pergi ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah, dan menurut artikel terkait dengan riwayat Sukarni—atas dukungan Ibu Wardoyo (kakaknya Bung Karno) Sukarni melanjutkan sekolah jurnalistik di Bandung. Saat ia berada di Bandung, dari sumber artikel lainnya, pengurus Partindo mendorong Sukarni untuk mengikuti sekolah politik pemimpin di Ashrama Indonesia Merdeka dimana Soekarno salah satu pengajar—saat itu pulalah Sukarni bertemu dengan para pemuda kiri lainnya yaitu Wikana, Asmara Hadi dan Trimurti.
Sukarni dianggap Latif Hendradiningrat sebagai sosok lain Sukarno, dimana keduanya sama-sama orator. Pilihan kata dan muatan pidatonya selalu terasa menggetarkan. Latif mengakui kehebatan Sukarni kala pidato, sejak pertemuannya dalam Kongres IM di Surabaya. Menginjak usia 18 tahun, semakin jagolah ia berpidato—dimasa itu pemuda pejuang yang bisa membakar semangat dengan pidato sangat dihargai. Pertemuan Sukarni dan Latif berlanjut, saat Sukarni lanjut sekolah guru di Jakarta—Perguruan Oemoem Pendidik (POP).
Sukarni Buronan 100 Gulden
Tahun 1934, saat usia 20 tahun, pemuda kiri yang pandai pidato ini diangkat menjadi ketua pengurus besar Indonesia Muda. Sukarni membawa masuk nilai-nilai kerakyatan sekaligus menghancurkan benteng eitisme IM. Kesadaran Sukarni yang semakin menjadi-jadi, membuat pemerintahan kolonial Belanda gerah kepada angkatan muda yang militant ini. Pada tahun 1936 pemerintahan kolonial Belanda mengerahkan PID (Politieke Inlichtingen Dienst/Badan Intelejen Politik) untuk menangkap para pengurus Indonesia Muda. Sebagai buronan informasi tentangnya di hargai 100 gulden, cukup besar ditahun tersebut. Foto Sukarni dipasang dimana-mana, di pos-pos, stasiun tram dan sepur, di dinding-dinding tahanan, dan kantor-kantor polisi kolonial.
Sejak saat itu, Sukarni berusaha meloloskan diri dari PID, ia menyamar menjadi pengemis tua, menjadi pedagan tembakau pikul, di pantai Cilincing, Jakarta (Batavia waktu itu) ia menawarkan dagangan ke para pelaut antar pulau dan berusaha meminta tumpangan gratis. Sukarni berhasil, sebelum pergi ke Kalimantan ia menemui kawan-kawannya—bertemu dengan Abdoelgani dan menyerahkan kepemimpinannya setelah itu pergi bertahun-tahun. Sukarni menggunakan nama samaran, yaitu Maidi, untuk bertahan hidup ia bekerja. Ia pernah menjadi pedagang soto di Banjarmasin, lalu pergi lagi ke Murungpundak dan menjadi kuli di Bataafsche Petroluem Maatschaapij (BPM). Pergi lagi ke Sanga-sanga, ia bekerja di rumah Terreinchef BPM. Dan pergi lagi ke Balikpapan, menjadi kuli ukur BPM.
Selama pelarian, tidak ada yang mengetahui identitas aslinya, baru setalah ia mengaku bica baca tulis di BPM, justru itu yang membuat penyamarannya terungkap. Meskipun demikian, ia pun ditugaskan di Sanga-sanga, Kutali Lama, Muara Badak, Sangatta, Bontang. Ia dicurigai karena cakap bekerja dan baca tulis, perusahaan Belanda itu menelusuri identitasnya. Pada tahun 1941 Sukarni ditangkap oleh PID dari Batavia, kemudian ia dipindahkan ke penjara Samarinda, Surabaya, lalu Jakarta—ditahanan seksi III Passer Baroe.
Dalam peradilan, Sukarni divonis hukuman pembunangan ke Boven Digoel, Papua. Akan tetapi vonis tersebut batal karena pemerintahan Hindia Belanda yang diserbu dan jatuh ke tangan Jepang pada tahun 1942. Berkuasanya Jepang di bumi Indonesia saat itu membawa manfaat pagi para angkatan muda Indoneisa yang berstatus tahanan politik—termasuk Sukarni, dan diantaranya juga Wikana, Chairul Saleh, Supeno, Adam Malik, dan tokoh pemuda kiri lainnya, meskipun demikian bumi Indonesia masih dalam jajahan Jepang. Pada saat setelah pembebasan, Sukarni bekerja di Antara (sumber lainnya mengatakan ia bekerja di Sedenbu/Departemen Propaganda bentukan Jepang).
Sukarni dan Komite Aksi Menteng 31
Komite Aksi Menteng 31 adalah sebuah wadah dari organisasi pemuda dan rakyat, yang sengaja dibentuk untuk merebut kemerdekaan dari tangan Jepang saat itu.
Setelah bebas dari status tahanan politik, Sukarni bersama Chairul Saleh, Wikana, dan kawan muda lainnya membentuk Angkatan Baru Indonesia (awal dari Komite Aksi Menteng 31) yang bermarkas di jalan Menteng 31, Jakarta, dan Sukarni terlipih sebagai ketua Asrama Menteng 31 pada tahun 1943. Asrama Menteng 31 ini adalah tempat dimana para pemuda ditempa dengan gagasan kemerdekaan, sesuai dengan usulan Sukarni bahwa Menteng 31 ini selanjut akan diarahkan untuk membentuk perlawanan terhadap Jepang. Di tahun itu juga Sukarni bertemu dengan Tan Malaka, yang kemudian menyarankan-nya mengambil kepeminpinan Partai Murba.
Para pemuda Menteng 31 ini menjadi titik tonggak pengorganisasian kaum muda. Mereka adalah pemuda kiri yang menjadi simpul dan selanjutnya melahirkan tokoh-tokoh utama angkatan 45.
Sukarni dan Penculikan Sukarno
Hingga sampai pada tahun 1945, gerakan angkatan muda bawah tanah diberbagai wilayah yang berhadap-hadapan dengan Jepang—mengabarkan kepada Sukarni dan kawan-kawan Menteng 31 bahwa di banyak Jepang mengalami kekalahan. Sukarni, Wikana, Chairul Saleh dan lainnya bersepakat bahwa saat itu waktu yang tepat untuk memproklamirkan kemerdekaan. Segala pertimbangan telah dihitung dengan baik, beberapa pemuda Menteng 31 menjalankan siasat untuk mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk membacakan Proklamasi—namun kedua pimpinan itu menolak membacanya dan terjadi perdebatan diantara mereka semua, khususnya Wikana dan Bung karno.
Pengaruh Jepang masih sangat dekat dengan Bung Karno dan Bung hatta, hal itu membuat para pemuda kiri Menteng 31 berniat untuk menjauhkan kedua pimpinan tersebut dari Jepang. Pada 16 Agustus 1945, demi menyingkirkan kedua pimpinan tersebut dari pengaruh Jepang, Sukarni dan kawan-kawannya menculik mereka berdua dibawa ke Rengasdengklok. Penculikan tersebut adalah upaya untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Namun tidak semudah yang mereka pikirkan, debat yang sengit terjadi diantara para pemuda dan kedua pimpinan itu. Setelah melalui depat sengit, akhirnya menemukan benang merah, semua pihak bersepakat bahwa proklamasi kemerdekaan dibacakan dan ditetapkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sukarni dan Rapat Akbar Lapangan Ikada
Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945, dengar sergap Sukarni dan kawan-kawan membentuk Komite (van) Aksi Mentang 31 untuk bertugas menyebarluaskan kemerdekaan di seluruh penjuru indoneisa—terutama kepada kaum muda yang telah diorganisasikan menjadi Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin oleh Wikana (ia juga merupakan anggota aktif Partai Indonesia, Gerakan Rakyat Baru dan pimpinan PKI bawah tanah Jawa Barat) dan untuk buruh yaitu Barisan Buruh Indonesia serta yang selanjutnya terbentuk Laskar Buruh dan Laskar Perempuan.
Pada 3 September 1945, Sukarni sendiri memimpin pengambilalihan Jawatan Kereta Api, bengkel Manggarai dan stasiun kereta api lainnya, juga memimpin pengambilalihan angkutan umum dalam kota dan stasiun radio—yang semuanya untuk kepentingan kemerdekaan. beberapa hari kemudian, tanggal 8 September tentara sekutu utusan Asia Tenggara mendaratkan 7 pasukan dengan parasut di lapangan Kemayoran, disusul kapan perang sekutu yang melabuh di Tanjung Priok.
Mendengar kabar tersebut, para pemuda kembali berkumpul dan membahas penyelenggaraan rapat akbar untuk menyatakan tekad bulat untuk merdeka dari penjajahan. Propaganda dan famlet disebar luaskan sebagai persiapan mobilisasi untuk rapat akbar raksasa yang direncanakan 19 September 1945 di lapangan Ikada. Beberapa hari kemudian, Jepang mencium rencana rapat akbar oleh Jepang. Diperintahkanlah militer untuk mengerahkan pasukan serta tank, sesuai dengan maklumat oleh Saiko Sikikan untuk melarang aksi para pemuda tersebut.
Sukarni dan kawan-kawannya memastikan kembali mobilisasi, menuju tanggal 19 September, gerbong-gerbung datang dari penujur daerah, dari Cikampek, Bogor, Tangerang dan lainnya. “Rabat Akbar” di lapangan Ikada akhirnya berjalan. Ratusan ribu pemuda rakyat berkumpul sudah mulai berdatangan ke lapangan Ikada, hingga pada tengah siang, massa sudah berkumpul semua. Setelah beberapa jam Bung Karno datang pada sore hari. Ternyata sebelum ke lapangan Ikada, terjadi debat diantara menteri-menteri kabinat pemerintahan baru Indonesia, dan Sukarno memilih untuk datang.
Ditengah kepungan senjata oleh pihak Jepang, Sukarno datang dan diberi sambut sorak dan nyanyian Indonesia Raya dan Darah Rakyat untuk pimpinan republic tersebut. Sukarno mengambil panggung untuk berpidato, akan tetapi kali ini tidak sepanjang pidato biasanya—kali ini ia berusaha membuat rakat tenang dan meminta percaya kepada pemimpin. Ratusan ribu rakyat itu bersama dengan bung Karno dan para pemuda kiri menutup Rapat Akbar dengan semangat kemerdekaan yang tinggi, dan setelahnya mereka semua bubar dengan tenang.
Sukarni dan Murba
Itulah sosok Sukarni dan sumbangsihnya terhadap kemerdekaan Indonesia dan terutama sebagai kaum muda. Kemerdekaan adalah sebuah zaman baru bagi Indonesia, zaman dimana Sukarni menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Perjuangan (PP) dan Tan Malaka sebagai Ketua, saat itu usia 30 tahun. Bersama PP, ia menolak perundingan pemerintah terhadap Belanda dan menjadi oposisi pemerintah. Akibat posisinya, ia dipenjara dibawah pemerintahan perdana menteri Amir Syarifudin. Setelah bebas dari tahanan pada tahun 1948, yang tahun itu juga merupakan tahun terbentuknya Partai Murba (Musyawarah Besar) dan Sukarni yang saat ini terpilih menjadi ketua umum Murba (sampai ia wafat).
Di masa Indonesia masih sangat baru terbangun, pemuda kiri ini terpilih sebagai anggota pada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) saat pemerintahan, dan pada pemilihan umum tahun 1955 ia terpilih menjadi anggota Konstituante. Di tahun 1961, di tugaskan sebagai Duta Besar Indonesia di Peking (Republik Rakyat Tiongkok) sampai tahun 1964.
Setelah Sukarni kembali ke tanah air, ia kembali di penjara, menurut salah satu sumber artikel Sukarni memperingatkan bung Karno atas sepakterjang PKI. Selain itu, partai Murba juga dibekukan pada tahun 1965, bersama dengan penahanan para pimpinan Murba lainnya. Penahan Sukarni dan pimpinan Murba lainnya tidak berjalan lama, ia kembali dibebaskan pada masa orde baru, dan pembekuan partai Murba dicabut. Selanjutnya Sukarni diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada tahun 1967 yang merupakan jabatan resmi terakhir baginya.
Tujuh Mei 1971, Sukarni wafat, ia dimakankan di Taman Pahlawan Kalibata diiringi dengan upacara kenegaraan serta diberikannya Bintang Jasa Maha Putera kelas empat. Setalah 33 tahun, nama Sukarni Kartodiwirjo kembali diangkat kepermukaan pada tahun 2014, Sukarni dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Joko Widodo selaku presiden terpilih 2014/2019—pemberian pelakat diwakilkan oleh putrid bungsunya Emelia Iriagiliati.
No comments
Post a Comment