Revolusi dan Demokrasi (Bagian Kedua)
Lenin dan Krupskaya; 1920 |
PERJUANGAN KELAS DAN KEDIKTATORAN PROLETARIAT
---sambungan dari bagian pertama---
Dalam Negara dan Revolusi Lenin mencatat bahwa konsepsi kediktatoran proletariat terletak di jantung teori sosialisme ilmiah Marx, yaitu, teorinya tentang bagaimana sosialisme—masyarakat tanpa kelas—dapat diwujudkan. Lenin mengutip komentar Marx yang ditulis pada tahun 1852:
... tidak perlu ada pengakuan pada saya atas penemuan keberadaan kelas-kelas di dalam masyarakat modern atau pertentangannya di antara mereka. Jauh sebelum saya, sejarawan borjuis telah menggambarkan perkembangan historis dari pertentangan kelas dan ekonom borjuis, anatomi ekonomi dari kelas-kelas tersebut. Hal baru yang saya lakukan adalah membuktikan: (1) bahwa keberadaan kelas-kelas terikat dengan fase sejarah tertentu dalam perkembangan tenaga produksi; (2) bahwa perjuangan kelas mengarah pada kediktatoran proletariat; (3) bahwa kediktatoran ini sendiri hanya merupakan transisi menuju penghapusan semua kelas, transisi menuju masyarakat tanpa kelas.13
Kediktatoran proletariat merupakan kelanjutan logis dari perjuangan kelas proletar. Karena, bagaimanapun, ini adalah kelanjutan perjuangan kelas yang melampaui pemerintahan kapitalis. Ini merupakan perubahan perjuangan dari yang sebelumnya perjuangan revolusioner melawan kelas penguasa (kapitalis) dan negaranya, dan ketika dibawah kediktatoran proletariat menjadi sebuah perjuangan yang dilakukan oleh negara baru dan kelas penguasanya yang baru [Proletariat] untuk menekan semua perlawanan terhadap pembentukan sistem produksi baru dan bentuk masyarakat baru. Selanjutnya, karena kediktatoran proletariat hanya akan berhasil dalam tujuannya saat menghapuskan kelas proletariat, dengan cara menghapus semua pertentangan kelas. Ini artinya menegasikan dirinya sendiri—dalam hal itu, jelas, fungsi kediktatoranya akan melenyap seiring dengan melenyapnya perlawanan atas kediktatorannya, bersamaan dengan melenyapnya basis kelas-kelas dari mana perlawanan itu muncul.
Tidak ada yang aneh sebagai sebuah kenyataan bahwa revolusi kelas pekerja akan mengambil bentuk kediktatoran. Sebaliknya, setiap pemerintahan revolusioner selama masa revolusi harus merubah kondisi-kondisi yang mengatur sistem produksi yang lama harus dengan cara diktator, karena keberadaannya secara historis adalah untuk secara paksa menekan perlawanan dari kelas penguasa yang digulingkan dengan cara melenyapkan kondisi-kondisi produksi yang membuatnya mampu berkuasa sebelumnya. Sebagaimana diamati Marx pada bulan September 1848: "Setiap pengelolaan politik di masa transisi sehabis terjadinya revolusi membutuhkan sebuah kediktatoran, kediktatoran yang energik." 14
Sebenarnya, setiap revolusi sosial—dan bukan hanya revolusi sosialis proletariat—pada dasarnya merupakan kediktatoran. Seperti yang tergambarkan dengan baik pada saat revolusi borjuis melawan kelas penguasa feodal, sebuah revolusi sosial adalah sebuah peristiwa di mana satu bagian dari masyarakat secara sepihak memaksakan kehendaknya terhadap bagian masyarakat lainnya. Politik itu sendiri merupakan teori dan praktik penggunaan kekuasaan negara—efek koersif dari angkatan bersenjata yang terorganisir—untuk memaksakan kehendak suatu kelas atau koalisi kelas-kelas tertentu terhadap seluruh populasi di suatu wilayah.
Satu-satunya yang relatif baru tentang konsep kediktatoran proletariat adalah namanya. Bahwa konsep Marxisme tentang perjuangan kelas—bahwa target akhir dari semua praktik politik Marxisme harus disubordinasikan sebagai bentuk pembangunan perlawanan seluruh proletariat (local, nasional, dan internasional; secara ekonomi, pilitik, dan ideologis) sampai pada titik penaklukan kekuasaan politik oleh kelas pekerja—termasuk kediktatoran proletariat harus jelas bagi siapa saja yang mampu secara konkret memvisualisasikan prosesnya.
Tipuan ilusi "demokratis" yang kerap dikemukakan kaum reformis liberal dan kaum sosialis gadungan mendapat panggungnya disini. "Karena proletariat merupakan mayoritas penduduk di negara-negara kapitalis maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia, mengapa tidak memenangkan kekuasaan secara demokratis? Di mana lagi kebutuhan untuk kediktatoran?” tanya mereka.
Penipuan itu sangat kentara. Pertama, hal itu mengaburkan antara bentuk pemilu "demokratis" dengan realita demokrasi—tatanan kehidupan rakat jelata. Kedua, hal itu mengandaikan (di hadapan segala bukti historis) bahwa kemenangan pada pemilu parlemen, dengan sendirinya, merupakan sebuah "penaklukan kekuasaan". Ketiga, memberikan mimpi bahwa kelas kapitalis (termasuk pejabat militer dan polisi) akan tunduk tanpa perlawanan pada hasil pemilu parlemen. Keempat, mengelabui prosedur "damai dan demokratis" ini sebagai alternatif revolusioner bagi penaklukan, kekalahan, dan imobilisasi kekuatan perlawanan borjuasi yang tersingkirkan. Kelima, ia mengabaikan fakta bahwa semua pemerintahan di masyarakat kelas melibatkan, karena kebutuhan, penggunaan kediktatoran dan paksaan oleh satu kelas dengan mengorbankan semua kelas lainnya, dan anggota kelasnya sendiri yang keras kepala.
Kaum reformis- kaum sosialis gadungan—seperti Kautsky—yang mempertentangkan "demokrasi" dengan segala bentuk "kediktatoran" telah mengungkapkan mereka sama tidak pahamnya dengan para liberal bebal akan makna sebenarnya dari istilah-istilah politik tersebut. Yaitu, bahwa demokrasi adalah bentuk kekuasaan negara, yang menggunakan kediktatoran untuk memaksa oleh mayoritas rakyat atau wakilnya terhadap minoritas. "Demokrasi", bahkan dalam pengertian yang dimaksudkan oleh kaum liberal-sosialis gadungan—yaitu bentuk negara parlementer borjuis—merupakan sebuah bentuk kediktatoran!
Masalah "demokrasi", baik dari sudut pandang sosialis-proletariat atau sudut pandang borjuis, dalam realitanya adalah soal bagaimana cara mencapai dan menerapkan kekuatan untuk memaksa! Kekuasaan pemerintah adalah kekuatan dari satu bagian masyarakat untuk memaksakan kehendaknya (meski tidak harus sewenang-wenang) dengan cara monopoli angkatan bersenjata kepada seluruh lapisan masyarakat.
Dalam kritiknya terhadap Revolusi Bolshevik, Kautsky menegaskan bahwa apa yang dimaksud oleh Marx dengan istilah "kediktatoran proletariat" hanya untuk menggambarkan sebuah "situasi politik, bukan bentuk pemerintahan" .15 Apakah pernyataan Kautsky itu valid atau tidak, dapat dibuktikan dengan melihat kutipan-kutipan lainnya dari Marx.
Pada tahun 1881, Marx, ketika menulis kepada Ferdinand Domela Nieuwenhuis yang beragama Kristen, telah menekankan fakta bahwa "pemerintahan sosialis tidak berkuasa di sebuah negara kecuali kondisinya begitu maju sehingga dapat segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk menekan massa kaum borjuis ". 16
Dalam surat ini di bulan Mei 1875 kepada pimpinan SPD untuk mengritik program “Gotha” mereka, Marx menulis:
"Diantara perkembangan masyarakat kapitalis dan komunis terdapat periode transisi revolusioner yang satu ke yang lainnya. Terdapat juga hubungannya dengan periode transisi politik di mana negara tidak bisa lain haruslah berupa kediktatoran revolusioner proletariat. Sekarang program ini—program Gotha—tidak membahas hal tersebut dan juga keadaan masyarakat komunis di masa depan. Tuntutan politisnya tidak mengandung apa-apa di luar litani demokratis kuno yang sudah dikenal semua orang: hak pilih universal, legislasi langsung, hak rakyat, milisi rakyat, dan lain-lain. Mereka hanyalah gema dari Partai Rakyat borjuis, Liga Perdamaian dan Kebebasan. Itu semuanya adalah tuntutan-tuntutan, yang sejauh tidak dilebih-lebihkan, telah terwujud. Hanya saja pemberlakuannya bukan di wilayah Kekaisaran Jerman, melainkan di Swiss, Amerika Serikat, dll ... Bahkan demokrasi yang paling dewasapun, di negara republik demokratis yang telah mencapai tahap akhir perkembangan bentuk masyarakat borjuis, perjuangan kelaspun harus diperjuangkan guna mencapai titik puncak perubahannya—bahkan titik tertinggi dari demokrasipun, masih berada dalam batas-batas yang diijinkan oleh polisi dan tidak diijinkan secara logika. 17 "
Kutipan-kutipan ini menegaskan baik mengenai "kediktatoran" dan "demokrasi". Secara eksplisit, kediktatoran revolusioner proletariat dijabarkan sebagai satu-satunya bentuk negara yang mungkin terjadi selama transisi dari kapitalisme menuju masyarakat tanpa kelas di masa depan. Sama pastinya, "republik demokratik" secara kategoris merupakan bentuk negara dari masyarakat borjuis dimana "perjuangan kelas harus diperjuangkan hingga ke titik puncak", yaitu perebutan kekuasaan oleh kaum proletariat.
Usaha Kautsky untuk mengaburkan makna "bentuk pemerintahan" dan "situasi politik" menjadi semakin jelas—adalah sebuah persekongkolan yang menyedihkan.
Sudah jelas, jika kediktatoran proletariat merupakan titik puncak dari perjuangan kelas proletariat melawan hukum borjuasi yang termanifestasikan dalam kerangka "republik demokratik", keduanya sama-sama merupakan "situasi politik" sejauh berhubungan dengan "kediktatoran" proletariat, dan juga pada "subjek" borjuis yang direpresi. Ini adalah bentuk pemerintahan sejauh ini sebagai sebuah negara, dan memiliki fungsi khusus sebagai agen transisi revolusioner, yang, karena transisi dan revolusioner, merupakan kelanjutan perjuangan kelas proletariat dalam bentuknya yang telah berubah.
No comments
Post a Comment