Kiri Sosial membuka ruang bagi kawan-kawan yang ingin berkontribusi pada Kirisosial.blog. Kami menerima kontribusi dalam bentuk artikel terjemahan yang memuat tentang inspirasi gerakan yang partisipatif atau tentang inspirasi persatuan. Silahkan kirim terjemahan anda melalui inbox FB atau kirim melalui kirisosial@gmail.com. Terimakasih

AKSI HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL 8 MARET 2017

Sumber : Mongabay Indonesia & BBC

Perempuan Buruh tuntut Hak Cuti 14 Minggu

Semua perempuan harus mempunyai kecerdasan, karena dunia itu terlalu keras jika hanya mengandalkan kecantikan. Di puji karena cantik memang menyenangkan, tapi dikagumi karena prestasi itu jauh lebih membanggakan"
Walau hari ini tanggal 8 Maret diperingati sebagai HariPerempuan Internasional 2017, namun masih sangat banyak wanita yang belum tahu apa makna dari hari peringatan tersebut. Dunia menyebutnya sebagai International Women’s Day, bahkan Google Doodle pun memajangnya untuk mengingatkan.

Di laman mukanya, terlihat beberapa sosok perempuan yang hebat di bidang masing-masing. Mereka punya prestasi yang membanggakan, tidak hanya untuk dirinya namun juga untuk orang banyak.

Bisa disebut juga bahwa sosok wanita pendahulu di laman muka Google tersebut adalah perintis untuk kesempatan berkarya bagi perempuan masa kini. Mereka dengan berani mendobrak budaya konvensional yang membelenggu perempuan untuk berkarier dan berprestasi.

Makna Hari Perempuan Internasional yang dirayakan di seluruh dunia adalah untuk menandai keberhasilan yang sudah diraih saat ini oleh kaum hawa di bidang ekonomi, sosial, juga politik. Sebelumnya ketiga bidang tersebut lebih dominan digeluti oleh kaum pria.


Hampir seribu perempuan buruh yang tergabung dalam Komite Perempuan Industriall  Indonesia Council menggelar peringatan Hari Perempuan Internasional di ruas jalan di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (08/03).

Aksi damai ini diikuti berbagai elemen organisasi dan LSM serta kelompok buruh yang berasal dari berbagai wilayah di sekitar Jakarta.

Sementara, Jumisih dari Pokja Buruh Perempuan menyatakan pihaknya mendukung tuntutan tersebut.
"Selama ini pengusaha mengintimidasi perempuan untuk mendapatkan haknya untuk cuti haid, melahirkan, maupun ruang lokasi," tegasnya di sela-sela unjuk 
Di bawah konvensi ini, pemerintah wajib memberikan 14 minggu cuti melahirkan. "Selama ini di Indonesia, kita hanya dapat cuti 12 pekan saja," kata Indah Saptorini.
Kenyataannya, menurut dia, banyak juga perempuan buruh yang hamil atau melahirkan diputus kontraknya, "Posisi tawar mereka juga lemah, karena statusnya sebagai buruh outsourcing," tambahnya.
"Selama ini pengusaha mengintimidasi perempuan untuk mendapatkan haknya untuk cuti haid, melahirkan, maupun ruang lokasi," katanya di sela-sela unjuk rasa. Kelompoknya juga memberikan seruan besar untuk menghentikan pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan,


Di bawah UU no 13 Tahun 2003, perempuan pekerja mendapatkan hak untuk upah layak yang sama, hak menyusui, cuti haid selama dua hari, cuti melahirkan selama 3 bulan, dan jaminan keamanan dan kesusilaan
Aturan ketenagakerjaan menyebut bahwa pekerja perempuan mendapatkan hak cuti haid setiap bulannya, tetapi praktik di sejumlah pabrik tidak semudah itu. Tapi ada juga yang spesifik, "Kita susah sekali kalau mau ke toilet. Mesti antre," kata seorang perempuan buruh peserta aksi lainnya. "Di Batam, ada pabrik yang memerintahkan satpam untuk memeriksa darah haid perempuan buruhnya. Meski perempuan (satpamnya) tetap saja risih," tambah Indah lagi.
"Ada juga pabrik yang menerapkan kebijaksanaan pemeriksaan sebelum haid atau surat keterangan dokter." Disebutkan pula bahwa kaum buruh perempuan masih menghadapi persoalan, misalnya pelarangan serikat buruh dan keterbatasan waktu untuk berorganisasi.
Tetapi ada juga yang spesifik, "Kita susah sekali kalau mau ke toilet. Mesti antre," kata seorang perempuan buruh peserta aksi lainnya. Umumnya kapasitas toilet perempuan memang lebih sedikit, meski ukuran luasnya sama dengan toilet laki-laki, ungkap sebagian pendemo.


Perempuan Tani dan Nelayan

Perampasan sumber kehidupan warga seperti petani, dan nelayan, berdampak paling besar terhadap perempuan. Terlebih, petani dan nelayan perempuan belum mendapat pengakuan politik dan minim tersentuh program perlindungan maupun pemberdayaan.


Perempuan benar-benar harus diperjuangkan haknya. Mudah-mudahan pemerintahan makin maju, makin tahu kalau perempuan bisa berjuang, bukan laki-laki tok,” kata Giyem, perempuan petani pegunungan Kendeng dalam aksi International Womens’ Day di Jakarta, Rabu (8/3/17).  Hadir juga dalam aksi ini kelompok musik antara lain Marjinal dan Simfoni.
Giyem, perwakilan perempuan petani yang kehilangan terancam kehilangan hak pengelolaan pangan dan sumber sumber air karena kehadiran PT. Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah.
“Sebenarnya perempuan sama laki-laki sama saja cuma nggak tahu kenapa semua pejabat yang dipilih laki-laki. Belum tentu kalau laki-laki itu semua benar justru banyak perempuan yang mendirikan kebenaran,” katanya.
Dia kecewa terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang menerbitkan kembali izin lingkungan meski telah dimentahkan Mahkamah Agung. Industri ekstraktif masif seperti perusahaan tambang, sawit, tebu dan proyek infrastruktur jalan, bandara sampai reklamasi pantai maupun penguasaan sumber mata air merampas ladang dan hutan sumber kehidupan perempuan.
Kala petani perempuan berhadapan dengan alih fungsi lahan, perampasan tanah, penyeragaman bibit, hingga konflik agraria yang mengusir mereka dari sumber kehidupan, saat bersamaan, perampasan penghidupan perempuan pesisir pun terjadi. Perempuan nelayan terdorong masuk skema pemiskinan terstruktur yang dilakukan negara.  Dampak terberat ditanggung perempuan nelayan, bukan hanya kehilangan akses sumber penghidupan keluarga nelayan, juga pengelolaan wilayah pesisir yang adil dan berkelanjutan.
“Kita melihat selama 14 tahun ada Kementerian Kelautan dan Perikanan, sampai hari ini belum ada pengakuan politik terhadap posisi dan peran perempuan nelayan,” kata Arieska dari Solidaritas Perempuan.

Dalam UU Perlindungan Nelayan, katanya,  posisi perempuan masih jadi bagian rumah tangga nelayan.
“Artinya, menihilkan sebenarnya perempuan punya peranan sangat penting disektor perikanan,” kata perempuan yang mendampingi nelayan perempuan Muara Angke ini.
Dia mencontohkan, mereka mempersiapkan keperluan pra tangkap dan menjaga rumah saat suami melaut. Di beberapa daerah ada perempuan melaut. “Memang pembagian peran di masyarakat kita seolah pesisir adalah wilayah perempuan, tengah laut wilayah laki-laki. “
Ketika peran perempuan tak diakui atau kontribusi tak dilihat dalam rumah tangga nelayan,  mereka jadi tak diperhitungkan dalam berbagai program pemberdayaan maupun perlindungan, misal asuransi nelayan. Dia bilang,  banyak proyek mengancam wilayah pesisir, mulai dari penambangan pasir hingga reklamasi. “Ketika proyek mau jalan tak pernah ada analisis terpilah gender.”
Peran perempuan lebih berat, misal perempuan mengelola keuangan rumahtangga.  
“Ketika reklamasi menurunkan pendapatan penghasilan, nelayan perempuan harus berpikir keras bagaimana harus menutupi kebutuhan sehari-hari karena harus bayar sekolah anak dan lain-lain,” katanya.
Berdasarkan penelitian Solidaritas Perempuan, nelayan perempuan di pesisir bekerja lebih 17 jam sehari. “Ini tak sehat untuk reproduksi mereka.”

Tuntutan Komite Aksi IWD 2017 terdiri dari berbagai elemen perempuan lintas sektor kepada pemerintah:

  1. Mengakui peran perempuan dalam politik, melibatkan dan mengakomodir kepentingan perempuan dalam berbagai forum pengambilan keputusan, khususnya mengenai kepentingan politik dan kehidupan perempuan.
  2. Mengakui peran dan kontribusi sosial dan ekonomi yang signifikan melalui pekerjaan perempuan baik di ruang domestik dan publik.
  3. Wujudkan Kebijakan yang berpihak dan adil bagi perempuan, di antaranya melalui: RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Ratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga, RUU Pertanahan, Reforma Agraria dan Kebijakan Iklim yang Adil Gender, Revisi RUU Perikanan, serta peraturan maupun kebijakan tentang napza yang berperspektif korban dan keadilan gender.
  4. Mengevaluasi dan mencabut kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, di antaranya Roadmap Zero Domestic Workers, Kepmen Penghentian Penempatan PRT Migran di Negara Timur Tengah, Qanun Jinayat, Perda Etika Berbusana di Kendari, perda-perda ketertban umum maupun larangan prostitusi yang didalamnya memuat asumsi dan stigma negatif terhadap perempuan dan LGBT, serta Perdes Hukum Cambuk di Desa Padang, Sulawesi Selatan.
  5. Menghapus hukuman mati, dan mewujudkan aparat penegak hukum yang berperspektif keadilan gender serta sistem peradilan yang sensitif gender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan, termasuk perempuan pengguna napza, Trans+, dan kelompok minoritas lainnya.
  6. Menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuk, rasial, kelas sosial, orientasi seksual, ekspresi gender, agama lokal/penghayat keyakinan leluhur, difable, ODHA, baik dalam mengakses pendidikan, akses informasi termasuk informasi Hak Kesehatan Reproduksi, pekerjaan, pelayanan kesehatan, maupun melalui kurikulum pendidikan dan sosialisasi yang mencakup hak-hak perempuan dan berkeadilan gender.
  7. Menghentikan proyek-proyek atas nama pembangunan yang merampas ruang hidup dan wilayah kelola perempuan, di antaranya Pertambangan, Pembangunan Pabrik Semen, Ekspansi Perkebunan Skala Besar, NCICD, Reklamasi dan privatisasi wilayah pesisir.
  8. Mewujudkan penyelesaian konflik agraria dengan prinsip keadilan gender dan antar generasi, dan wujudkan tanah untuk perempuan.
  9. STOP komitmen perjanjian perdagangan bebas yang menghilangkan kedaulatan perempuan, di antaranya RCEP dan TPP.
  10. Segera usut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM, hukum dan adili pelanggar HAM masa lalu, dan Tolak Dewan Kerukunan Nasional.
  11. Mengakui dan melindungi pilihan politik perempuan dan wujudkan perlindungan bagi perempuan di wilayah konflik, khususnya perempuan Papua, Aceh, dan Poso.
  12. Menghapus diskriminasi upah dan mewujudkan Jaminan Perlindungan Hak Perempuan Buruh Jaminan Keamanan Kerja serta Kerja Layak terhadap Perempuan Buruh, baik di sektor Formal maupun Informal.
  13. Mewujudkan layanan kesehatan yang aman, ramah, nyaman terhadap perempuan dan remaja perempuan termasuk layanan kesehatan reproduksi.


No comments

Powered by Blogger.