Kiri Sosial membuka ruang bagi kawan-kawan yang ingin berkontribusi pada Kirisosial.blog. Kami menerima kontribusi dalam bentuk artikel terjemahan yang memuat tentang inspirasi gerakan yang partisipatif atau tentang inspirasi persatuan. Silahkan kirim terjemahan anda melalui inbox FB atau kirim melalui kirisosial@gmail.com. Terimakasih

CARA KUBA MENGATASI KRISIS ENERGI

Berbeda dengan Indonesia yang menanggulangi kekurangan energi dengan pencarian pinjaman baru dan pembangunan pembangkit listrik yang mengandalkan bahan bakar fosil, Kuba lebih menekankan pemanfaatan sumber energi terbarukan (renewable) dengan melibatkan seluruh rakyat. Ini merupakan keberhasilan - apalagi di tengah impitan embargo negara sebesar AS - yang patut dijadikan pelajaran."

Beberapa waktu lalu, 20 spesialis konservasi energi dari AS pergi ke Kuba untuk melihat cara warga negara itu menangani krisis energi. Laporan yang kemudian dibuat para ahli AS itu menyebutkan, Kuba adalah sebuah negara yang telah bekerja keras mencukupi diri dalam bidang energi, serta melakukan pelbagai usaha besar di bidang penelitian dan pengembangan. Di antaranya melalui pemanfaatan aneka jenis sumber daya energi terbarukan (renewable), seperti biomassa, biogas, tenaga mikrohidro, energi angin, serta tenaga matahari.

Listrik dari ampas tebu
Belum terlalu lama Kuba dilanda masa suram. Ketika Uni Soviet masih ada, hampir semua kebutuhan negara kepulauan di kawasan Karibia berpenduduk sekitar 11 juta jiwa itu ditopang Uni Soviet. Ketika itu, Fidel Castro relatif tak mengalami kesulitan besar menghadapi embargo AS yang memukul banyak sektor. Namun, ketika federasi pimpinan Gorbachev itu bubar pada 1989, Kuba terseret masuk ke lembah kesuraman. Suplai minyak dari Soviet ke Kuba turun 50%. Listrik hanya menyala dua jam setiap hari. Mata uang tak berharga lagi. Perekonomian nyaris ambruk. Orang Kuba menyebut masa sulit itu "Special Period", saat khusus. Ketika Soviet masih ada, satu ton gula Kuba dihargai empat ton minyak Soviet. Di masa sulit orang Kuba harus menghadapi kenyataan, satu ton gula Kuba hanya dihargai satu ton minyak Soviet. 

Sejak itu pemerintah Castro melakukan sejumlah lompatan. Intinya, mengubah kebijakan energi dari yang berbasis minyak menjadi energi matahari atau energi lain yang bisa diperbarui. Upaya itu, dengan diikuti pengembangannya, ternyata berhasil. Bahkan belakangan menjadi inspirasi berharga bagi negara lain. Belum ada negara yang secepat dan seefektif Kuba dalam menangani kesulitan energi.

Gula sebagai ekspor utama Kuba telah memasok sepertiga kebutuhan energi nasional. Begitu tebu dipanen, bagasse atau ampas tebu yang mirip jerami dibakar untuk menghasilkan listrik bagi pabrik itu sendiri, dan selebihnya dijual ke jaringan listrik konvensional. Daun dan tangkai tebu dipres untuk digunakan sebagai bahan bakar padat.

Ada 156 pabrik gula di seluruh Kuba. Pabrik itu hanya dapat membangkitkan rata-rata 20 KWh listrik untuk setiap ton tebu dengan menggunakan turbin uap tua yang kurang efisien bertekanan 18 atmosfer. Sedangkan konversi energi pada pabrik yang lebih baru bisa menghasilkan sekitar 40 KWh listrik dari setiap ton tebu. Di berbagai negara industri maju, angkanya mencapai 60 - 80 KWh. Di Hawaii, dengan pemanfaatan teknologi kogenerasi listrik yang efisien, listrik yang dihasilkan satu ton tebu mencapai 100 KWh.

Kementerian gula Kuba bertekad untuk mencukupi kebutuhan listrik seluruh negeri dengan memasang peralatan kogenerasi di pabrik gula sebesar 100 MW, senilai AS $ 1 miliar. Berdasarkan perhitungan, dalam waktu 15 tahun daya listrik yang secara potensial dapat ditambahkan ke jaringan nasional adalah 400 MW. Ini berarti, seluruh kebutuhan BBM untuk menghidupkan pembangkit listrik dapat digantikan oleh ampas tebu yang dulunya terbuang percuma.

Mengeksploitasi matahari
Metode penghematan lain adalah energi terbarukan yang disebut sol Kuba. Intinya adalah menciptakan energi dari pemanfaatan sinar matahari. Di salah satu kota di Kuba, Magdalena, dengan mudah ditemui panel-panel surya penerima paparan sinar matahari. Sistem yang mirip kalkulator tanpa baterai itu diterapkan bagi tersedianya listrik untuk kota berpenduduk 574 jiwa itu. Setiap rumah menerima 18 jam aliran listrik (lighting hours) setiap hari, juga memiliki sistem voltase daya untuk menghidupkan lampu neon, radio, dan televisi berarus listrik searah. 

Sebagai negara beriklim tropis, Kuba mendapat sinar matahari sebanyak 5 KWh/m2/hari yang berlangsung sepanjang tahun. "Kuba bukan utopia. Tetapi situasi ekonomi dan sosialnya impresif," kata Gomberg, seorang pakar lingkungan dari AS. Sementara, orang Kuba hanya membakar dua barel per orang/tahun, walau sebelum krisis energi angkanya mencapai 4 barel/orang/tahun. "Komitmen yang sungguh-sungguh terhadap ilmu pengetahuan telah memberi negara itu persiapan menghadapi krisis energi dengan cara yang lebih ramah lingkungan," tambah Palm Montanero, koordinator Cuba Tours di San Francisco.

Pemerintah Kuba telah meluncurkan program ambisius dalam menyediakan listrik bagi masyarakat di daerah terpencil yang tidak terlewati jaringan listrik konvensional. Program itu disponsori oleh pemerintah, LSM, dan dana bantuan dari Swis, Spanyol, Austria, Jerman, juga India. Selain dipakai di perumahan, teknologi listrik bertenaga matahari juga dimanfaatkan oleh 225 klinik kesehatan.

Sungai juga merupakan sumber energi. Alirannya dimanfaatkan untuk menggerakkan 220-an pembangkit listrik bersistem mikrohidro. Masih pula ditambah ribuan kincir angin yang memompa air dari dalam tanah untuk pembangkitan listrik. Semua perangkat itu menyediakan energi bagi sekitar 30.000 orang.

Mengurangi bahan kimia
Masyarakat Kuba tidak terlalu tergantung pada sumber energi minyak. Mereka memanfaatkan bus untuk transportasi jarak jauh, dan sepeda untuk keperluan pribadi jarak dekat. Di awal 1990-an negeri itu mengimpor satu juta sepeda dari Cina. Sekarang mereka memiliki enam pabrik sepeda yang membuat model sesuai selera rakyat Kuba. 
Sejalan dengan berkurangnya BBM, produk-produk petroleum dan petrokimia semacam pupuk dan pestisida juga ikut berkurang. "Akibat krisis, Kuba justru memimpin dunia dalam konversi ke pertanian organik," Gomberg menambahkan.

Meninggalkan penggunaan bahan kimia telah mengurangi polusi air. Lantas orang bertanya, apabila nanti punya kesempatan kembali, apakah Kuba akan kembali ke cara-cara lama yang penuh kontaminasi? Masyarakat Kuba yang sudah menikmati keberhasilan tidak akan mundur ke belakang dengan menggunakan cara yang tidak ramah lingkungan.

"Jika sebuah negara benar-benar ingin membangun dengan cara yang berkelanjutan, maka negara itu dapat meningkatkan kualitas masyarakatnya, berapa pun produk domestik brutonya. Keberhasilan Kuba dalam bidang energi yang terus diperbaraui merupakan bukti akan hal itu," tegas Laurie Stone dari Solar Energy International di AS.

Tahun lalu, dua organisasi di Kuba mendapat penghargaan lingkungan hidup tingkat dunia. Kedua organiasi itu, Cubasolar dan Jose Marti Pioneers Organization, pada hari lingkungan hidup sedunia 5 Juni 2001 menerima penghargaan Global 500 dari United Nations Environment Program (UNEP). Cubasolar telah memainkan peran penting dalam mengusahakan listrik bagi 1.000 sekolah dan 380 klinik dokter keluarga di seluruh negeri. 

Kelompok ini berhasil membangun bendungan mini-hydroelectric dan terowongan air untuk sistem irigasi. Salah satu proyek Cubasolar yang spektakuler adalah pembangunan San Antonio del Sur, kota di provinsi timur Guantanamo. Daerah ini menerima curah hujan sangat rendah dan merupakan daerah termiskin. Pembangunan terowongan air dengan sistem gravitasi yang melintasi pegunungan dan menuju lembah berhasil mengubah areal yang dulunya tandus menjadi hijau penuh rumput.

"Kota berpenduduk kurang dari 40.000 orang, saat ini telah berubah bentuk," tutur Luis Biarriz, pimpinan Cubasolar. Masyarakat mampu mencukupi kebutuhan mereka dengan menghasilkan sayur, susu, dan daging, dan mengirimnya ke kota-kota sekitar. Di samping itu, listrik yang dihasilkan bendungan mini dan panel surya telah membawa dampak sosial luar biasa. "Daerah pegunungan yang semula terisolasi itu telah membuktikan bahwa peningkatan kualitas hidup dan pelestarian lingkungan bisa dilakukan secara bersama-sama," tambah Biarriz.

Jose Marti Pioneers Organization, dengan 1,4 juta anggota berusia 6 - 14 tahun, telah memainkan peranan penting dalam menciptakan kepedulian terhadap lingkungan hidup di antara generasi muda Kuba. "Lingkungan adalah segala sesuatu, udara yang kita hirup, air yang kita minum, oleh karena itu kita harus menjaganya," kata Lilian Tapanes (11), siswa SD Raul Gomez Garcia, Havana.

Para anggota Pioneers mengumpulkan bahan-bahan daur ulang, menanam pohon, mengambil bagian dalam usaha sanitasi sekolah, dan berpartisipasi dalam kontes yang berhubungan dengan lingkungan hidup. "Penghargaan Global 500 semakin memperkuat komitmen kami untuk bekerja lebih keras demi lingkungan. Kami bangga akan hal itu," tambah Tapanes.

Sekalipun di bawah tekanan embargo Amerika, berbekal komputer antik, sistem telepon yang masih primitif, peralatan laboratorium yang tidak lengkap, dan hanya bermodalkan pensil, Kuba berhasil memobilisasi upaya penelitian dan pendidikan untuk menghadirkan sumber energi baru. Krisis justru menjadi insentif bagi Kuba untuk mengubah perilaku rakyatnya dalam penggunaan energi. 

Dimulai dari pendidikan energi di sekolah menengah, Kuba saat ini sedang melatih generasi baru untuk memahami dan mengimplementasikan energi yang bisa diperbarui sebagai sumber yang ramah lingkungan. Kuba berhasil pula menggapai penelitian yang terbaik di dunia tentang teknologi renewable energy dan mengaplikasikannya untuk kemajuan rakyat.

Solidaritas rakyat
Tahun 2002, Kuba dipilih PBB menjadi penyelenggara Renewable Energy Conference, Konferensi Energi Terbarukan. Ada pengakuan keberhasilan dalam penunjukan itu. Dalam sebuah pertemuan di Berkeley's Ecology Center tahun lalu, pakar energi AS menanyakan kiat Kuba menuju keberhasilan. Henriquez, co-founder Cubasolar, menjawab, "Ada dua hal yang berperan penting dalam keberhasilan Kuba; yakni keberhasilan iptek dan solidaritas rakyat Kuba." 

Lebih jauh Henriquez menjelaskan, Kalifornia menghadapi persoalan krisis energi namun tak mampu menanganinya dengan baik. Padahal kapabilitas teknologi jelas ada. Masalahnya, tren individualisme yang melanda Amerika menjadi sebab tidak adanya solidaritas di antara warga untuk bersama-sama mengatasi krisis.

Bagaimana dengan Indonesia? Modal dasar yang dimiliki Kuba juga dimiliki bangsa Indonesia. Negara kita punya banyak pakar yang bisa menyumbangkan keahliannya bagi pemanfaatan energi yang bisa diperbarui. Solidaritas juga kita punya, yakni semangat gotong-royong.

Lalu, mengapa kita belum berhasil? Sangat mungkin penyebabnya adalah ketergantungan yang terlalu besar kepada negara maju. Ketergantungan itu telah menghambat kreativitas anak-anak bangsa dalam membangun negaranya. Dalam benak kita, negara majulah yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang lebih baik. Nah, sifat seperti inilah yang menyebabkan kita mudah didikte oleh mereka. 

Namun, kita jangan lantas menyalahkan mereka. Ketidakmampuan kita menangani masalah energi merupakan kelalaian kita sendiri. Mungkin peringatan Bung Karno terhadap bahaya neo-kolonialisme dan neo-imperialisme sudah terlambat untuk menghentikan ketergantungan kita terhadap negara maju, terutama dalam soal uang.

Tanpa bermaksud menanamkan paham anti-Barat, penulis ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip kembali pidato Che Guevarra, arsitek revolusi Kuba setelah rakyat Kuba berhasil memenangkan pertempuran melawan invasi Amerika di Teluk Babi. 

Di hadapan rakyat yang bersuka ria atas kemenangan itu Guevarra berkata, "Make sure that we never trust imperialism, in no way at all, not an iota (Pastikan bahwa kita tidak akan pernah percaya pada imperialisme, tidak dalam cara apa pun dan tidak setitik pun)."

Hubungan saling ketergantungan antarbangsa adalah wajar dan perlu, tetapi ketergantungan itu janganlah keterlaluan sampai mengorbankan kebebasan, kreativitas, harkat, dan martabat bangsa. Soal mengatasi krisis energi, tidak ada salahnya kita belajar dari Kuba.

No comments

Powered by Blogger.