Kiri Sosial membuka ruang bagi kawan-kawan yang ingin berkontribusi pada Kirisosial.blog. Kami menerima kontribusi dalam bentuk artikel terjemahan yang memuat tentang inspirasi gerakan yang partisipatif atau tentang inspirasi persatuan. Silahkan kirim terjemahan anda melalui inbox FB atau kirim melalui kirisosial@gmail.com. Terimakasih

Tanggapan Untuk Editorial Indoprogress


Aksi Damai Buruh Tolak PP 78/2015--Dihajar Polisi, 30 Okt 2015


Keterasingan Indoprogess

oleh : Budi Wardoyo



Editorial Indoprogress hari ini, sungguh mengejutkan, bukan hanya karena isinya yang sama sekali tidak berangkat dari kenyatan dinamika gerakan buruh di Indonesia dalam kurun waktu belakangan ini, namun justru diangkat pada saat ribuan kawan-kawan Awak Mobil Pertamina—dengan solidaritas luas—sedang berjuang untuk hidup dan matinya mereka---bukan dalam istilah kiasan, tetap itulah kenyataannya.

Sebuah editorial dari media—yang mencitrakan dirinya, sebagai media dengan pandangan-pandangan progressif, namun justru secara tajam menyerang Gerakan Buruh Indonesia secara semena-mena.


Baiklah, mari kita lihat dimana letak serangan itu?

Garis besar dari editorial Indopregress, intinya mau mengatakan gerakan buruh Indonesia hari ini —dengan istilah politik identitas—adalah gerakan yang sangat sektarian, mengabaikan segala hal diluar kepentingan langsung dirinya sendiri, sehingga dengan demikian akan mudah dimanfaatkan oleh elit yang sebenarnya menjadi musuh buruh, dan juga membuat gerakan buruh tidak punya kemampuan untuk bersolidaritas terhadap buruh lainnya apalagi terhadap sektor rakyat di luar buruh. Sebuah serangan yang juga menganggap remeh perjuangan hak-hak demokratik buruh.

Tapi apakah benar faktanya gerakan buruh Indonesia, secupet gambaran editorial Indoprogress atau justru Indoprogress yang cupet?

Tak perlu menarik terlalu jauh ke periode di mana Coen masih menjadi aktivis, untuk melihat bahwa gerakan buruh Indonesia saat ini juga menjadi bagian dari Gerakan Demokratik, misalnya seperti salah satu link yang saya sertakan di komentar saya pada akun FB Coen, bahwa saat Rezim Kapitalis di Indonesia mencoba mempersempit ruang demokrasi—yang salah satu caranya dengan membatasi organisasi-organisasi massa, Gerakan Buruh menjadi bagian terdepan yang melakukan mobilisasi perlawanan pada saat itu, untuk menolak pengesahan RUU Ormas bersama dengan gerakan sosial lainnya.

Juga Gerakan Buruhlah yang telah berperan—sekaligus dikecam, karena telah memperjuangkan satu sistem jaminan sosial, terutama jaminan kesehatan yang dikenal dengan BPJS Kesehatan (dengan catatan, kecaman itu nampak keras saat awal, namun sebagian pihak yang dulu mengecam, justru sekarang berbalik mendukung BPJS, setidak-tidaknya mendukung KIS—yang merupakan bagian dari BPJS Kesehatan.
Lebih jauh lagi, sebagai bagian dari tanggung jawab untuk memperjuangkan sistem pelayanan kesehatan yang lebih baik—karena BPJS memang bermasalah, Gerakan Buruh di banyak kota, membentuk berbagai relawan kesehatan, yang setiap hari melakukan kerja-kerja advokasi kesehatan bagi siapapun yang mengalami hambatan dalam pelayanan kesehatan—satu badan relawan kesehatan yang paling berpengaruh adalah Jamkeswatch, yang dibentuk oleh kawan-kawan FSPMI, sementara mungkin Coen justru sedang tidak melakukan apa-apa dalam hal ini.

Untuk kasus lainnya, adalah bagaimana gerakan buruh menjadi bagian penting dari Gerakan Solidaritas terhadap Petani Kendeng—sehingga sampai hari ini, upaya pihak Semen Indonesia (yang tentu saja kongkalikong dengan kekuasan lokal maupun nasional) untuk mengadu domba antara kaum tani dan kaum buruh, bisa dikatakan tidak berhasil atau diminimalkan.

Doa Lintas Agama--Untuk Yu Patmi dihadiri juga oleh Gerakan Buruh Pembela Kendeng yang terdiri dari KSPN, FSPMI, SP Reformasi, FSPI, Yasanti/PPR Mandiri, Effort, FSP Farkes Reformasi, FSP KEP, FSPLN, Kahutindo, Jejer Wadon, dan LBH Semarang.

Sebagai contoh terakhir, apakah benar dengan mengangkat isu-isu PHK atau Upah misalnya, tidak punya kesanggupan membangun solidaritas? Seharusnya Coen lebih banyak membaca kiri sosial (hehe), yang menjadi salah satu corong perjuangan kawan-kawan AMT saat ini melawan PHK ilegal, melawan status kerja kontak/outsourcing dan soal-soal normatif lainnya. 

Dukungan terhadap perjuangan mereka sudah cukup banyak—mungkin yang terbanyak setelah kasus Petani Kendeng. Dukungan itu datang dari KASBI, SGBN, KSN, FPBI, SERBUK Indonesia, FBLP, SP BANK PERMATA, FORUM BURUH KAWASAN, FSP2KI, FSPMI, KSPI, YLBHI, LBH Jakarta, LBH Bandung, Arus Pelangi, Jala PRT, KPA, Perempuan Mahardhika, Federasi Mahasiswa Kerakyatan, Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi, Serikat Mahasiswa Indonesia—ini yang sekitar Jakarta, belum lagi organ-organ lokal yang ikut bersolidaritas di Lampung, Banten, Yogya, Bandung, Tegal, Surabaya, Banyuwangi, Makassar dan kota-kota lainnya.

Ah, mungkin Coen bertanya, lho, kok cuman itu, kenapa Gerakan Tani gak mendukung, kenapa LSM HAM gak mendukung, atau kenapa intelektual-intelektual gak mendukung? Itu juga pertanyanku, kenapa Indoprogress dan yang lainnya tidak ikut mendukung? Apa karena persoalan PHK adalah persoalen remeh temeh, tidak terkait dengan masalah lainnya, sehingga tidak layak diperjuangan-didukung sekuat-kuatnya?

Dan tidak masuk akal, sebuah gerakan--termasuk gerakan buruh, akan sanggup memperjuangkan kepentingan jangka panjangnya, kalau tidak secara militan memperjuangkan kepentingan jangka pendeknya? Apalagi di Indonesia, berjuang untuk kepentingan normatif--yang bahkan sudah diakui dalam UU, resikonya tidak kecil.

Buruh Dibacok Karena Pejuangan Normatif




Keresahan yang sama

Bukan hanya Coen yang resah—kecuali kalo Coen bepikir hanya dialah yang punya kesanggupan untuk merasakan bahaya dari kebangkitan politik SARA dan politik Militeristik yang berkelit kelindan dengan kepentingan modal dan kekuasaan.

Gerakan Buruh Indonesiapun menyadari hal tersebut, oleh karena itulah, pada momentum MAY DAY 2017, sebuah tekad diluncurkan oleh Gerakan Buruh Indonesia, dengan mengambil tema “Gerakan Buruh Untuk Rakyat”yang poinnya antara lain melawan politik SARA dan politik Militeristik, bersamaan dengan poin melawan kebijakan Kapitalis-Neoliberal yang dijalankan oleh Rezim Jokowi. 

Semangat ini, masih berlanjut sampai dengan momentum kematian Marsinah, bahkan sampai Momentum 21 Mei—Peringatan jatuhnya Soeharto, yang mungkin tidak lagi diperingati oleh Coen.

Hampir semua elemen buruh—dan memang mayoritas elemen dari Komite ini adalah gerakan buruh—terlibat dalam peringatan 21 Mei 2017, yang mengambil tema “Bangun Demokrasi Rakyat, Lawan Kebangkitan Politik Orde Baru “ di Tugu Proklamasi Jakarta. Acara yang digagas oleh KPBI, KASBI, SGBN, SP BANK PERMATA, KSPI, FPR, Politik Rakyat, LBH Jakarta dan lainnya—tentu dengan membuka diri bagi semua kelompok gerakan rakyat, bahkan bagi setiap individu yang setuju pada tema ini—justru tidak banyak dihadiri oleh elemen-elemen non buruh (bahkan dari mereka yang cukup gencar mengkampanyekan isu yang sama), dan ini adalah sebuah persoalan yang harus dipecahkan bersama-sama, bahwa sekalipun temanya menyangkut persoalan umum rakyat, tidak otomatis didukung oleh semua elemen-elemen pergerakan rakyat.

Coen benar, ketika berpikir masih banyak persoalan yang tidak direspon oleh Gerakan Buruh Indonesia. Tentu saja, sebagaimana juga halnya masih banyak persoalan yang tidak direspon oleh Indoprogress.

Tapi apakah dengan tidak (atau belum) diresponnya sebagian persoalan memberikan landasan yang kuat bagi Coen untuk memberikan kesimpulan seperti pada tulisannya? Jika logikanya begitu, Indoprogress harus disimpulan seperti apa?

Peringatan 21 Mei 2017; Pimpinan-pimpinan buruh dari KSPI, KASBI, SGBN, KPBI, SP JHONSON nampak di Foto bersama Pimpinan Mahasiswa


Kerja-kerja-kerja (Bekerjalah lebih giat untuk perjuangan)

Mungkin disinilan masalah Indoprogress, yang tidak menceburkan dirinya dalam dinamika gerakan buruh Indonesia, sehingga tidak bisa memahami—bahkan sampai kehilangan empati, bahwa bukan hal yang mudah saat ini bagi Gerakan Buruh (juga gerakan rakyat lainnya) untuk tampil sebagai satu kekuatan politik dengan kesadaran yang lebih komperhensif (dalam bahasa Coen, kesadaran kelas).

Di tengah situasi semakin gencarnya Rezim Kapitalis Jokowi menjalankan program-program Kapitalis-Neoliberalnya, maka setiap kelompok masyarakat, termasuk kelompok buruh dihadapkan pada masalah-masalah kongkrit, yang terkait dengan kehidupannya, yang oleh Coen diremehkan-seperti perjuangan melawan PHK Ilegal, atau perjuangan melawan Status Kerja Kontrak/Outsourcing dan bahkan Jokowi jutru lebih keji lagi, dengan menasionalkan program status kerja magang ( Jokowi yang sama, yang dulu didukung Coen)--Apakah ini terlalu sulit untuk dimengerti, bahwa tingkat kegawatannya serupa dengan kasus perampasan tanah di desa-desa?

Ada faktor obyektif—tanpa kemudian harus menyerah pada kesulitan-kesulitan tersebut—yang memang menghambat ruang gerak bagi pengembangan kesadaran kelas di kalangan buruh, apalagi kebebasan berserikat tidak sepenuhnya terjamin di Indonesia, dengan waktu luang yang semakin sempit--akibat jam kerja yang melebihi 8 jam kerja, dan kelelahan fisik serta mental.

Hambatan ini memang harus diatasi—dan bukan dengan menjadi bagian dari Rezim Kapitalis Jokowi, atau menjadi bagian dari Faksi Borjuasi lainnya, melainkan dengan beberapa pekerjaan yang simultan (baik kerja pembangunan kesadaran politik dan ideologis , pengorganisasian, aksi-aksi perlawanan, persatuan dll) yang semuanya itu harus sekaligus diletakan dalam arena perjuangan buruh setiap harinya, dan dalam arena perjuangan yang lebih luas.

Bagaimana bisa, kaum buruh masuk dalam proses penyadaran yang diseru-serukan dari kejauhan, dari gedung-gedung tinggi, sementara sang penyeru, tidak pernah hadir dalam pergumulan sehari-harinya buruh, tidak ikut berdarah-darah dalam perjuangan upah, phk, status kerja dll?

Jangan sempitkan kehadiran itu harus setiap saat dengan kehadiran fisik—tinggal setiap hari seumur hidup misalnya dengan kawan-kawan buruh, namun juga kehadiran dalam bentuk empati, dalam bentuk solidaritas, dalam bentuk dukungan, dalam bentuk dialog—bukan ceramah.

Beruntunglah, sekarang ini jaman media sosial, sehingga sekalipun jarak Amerika dan Indonesia, begitu jauh, namun (jika berkendak) ruang dialog dengan buruh bisa terbangun secara intensif, sehingga seorang Coen bisa dengan mudah seharusnya berdialog dengan seorang Awak Mobil Tanki Pertamina yang saat ini lagi di PHK, dan disitulah masing-masing pikiran didengarkan, didiskusikan, sehingga Coen bisa mengerti apa yang sedang terjadi pada kawan-kawan ini, dan sebaliknya, kawan-kawan bisa mengerti apa yang sedang Coen pikirkan.

Dengan demikian, pada akhirnya Indoprogresspun menjadi media bagi kaum buruh untuk menyuarakan kepentingan-kepentingannya—baik kepentingan jangka pendek, maupun kepentingan jangka panjangnya, dan sebaliknya gagasan-gagasan progressif—jika ada , dari Indopogresspun ada yang diserap oleh kaum buruh Indonesia.

No comments

Powered by Blogger.