Kiri Sosial membuka ruang bagi kawan-kawan yang ingin berkontribusi pada Kirisosial.blog. Kami menerima kontribusi dalam bentuk artikel terjemahan yang memuat tentang inspirasi gerakan yang partisipatif atau tentang inspirasi persatuan. Silahkan kirim terjemahan anda melalui inbox FB atau kirim melalui kirisosial@gmail.com. Terimakasih

Tesis 1 Sampai Tesis 6 (Bagian Pertama)

11 Tesis Marxisme Tentang Kebangkitan (Gerakan) Fundamentalisme Islam
Gilbert Achcar dibesarkan di Lebanon dan mengajarkan studi pembangunan dan hubungan internasional di School of Oriental and African Studies (SOAS) di London. Di antara banyak bukunya, antara lain adalah The Clash of Barbarisms, yang terbit dalam edisi kedua pada tahun 2006; Sebuah buku dialog dengan Noam Chomskyon the Middle East, Perilous Power: The Middle East and U.S (edisi ke 2 di tahun 2008); Dan yang terakhir: The Arabs and the Holocaust: The Arab-Israeli War of Narratives (2010).




Menilik pendiskusian belakangan ini, kami memunculkan kembali artikel tahun 1981, yang ternyata tak lekang oleh waktu. Tulisan ini telah tersebar dan diterjemahkan ke banyak bahasa. Keberhasilannya karena dokumen ini memberikan persepktif marxisme terhadap fenomena yang kala itu masih terbilang baru. Kebangkitan fundamentalisme Islam berawal dari tahun 1970, dan mencapai puncaknya kala itu setelah bertahun-tahun bergerak di bawah tanah, dengan revolusi Iran tahun 1979.


1. Beragamnya varian bentuk fundamentalisme Islam, yang menandai awal dari kuartal terakhir abad ke-20, mengharuskan kita tidak mengeneralisasi dan menarik kesimpulan yang terburu-buru. Ibaratnya, sangat keliru menyamakan kekatolikan pekerja Polandia dengan kekatolikan rezim Franco, meski itu tidak membuat kita mengabaikan ciri umum sejarah agraria Spanyol dan Polandia atau konten ideologi dan politik yang bentuknya sama-sama beragama Katolik.



Demikian pula, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis fenemonea yang beragam seperti kebangkitan ulama Muslim di Mesir, Syria, Tunisa, Turki, Pakistan, Indonesia, Senegal, kediktatoran militer Zia Ul-Haq di Pakistan, atau Qadafy di Libya, atau naiknya Sheikh di Iran, atau gerilyawan Afganistan. Dan merupakan kekeliruan jika memasukan semua itu dalam satu frame gerakan yang sama. Bahkan fenomena yang di permukaan terlihat mirip, seperti kemajuan yang didapat oleh gerakan “Ikhwanul Muslimin” di Mesir dan Syria, memiliki landasan politik yang berbeda, yang ditentukan oleh perbedaan target jangka pendeknya.

Dibalik kesepemahaman mereka tentang hal-hal duniawi, kesamaan pandangan terhadap cara hidup keseharian, atau ketika mereka sepakat tentang sebuah isu, meskipun mereka serupa, bahkan identik bentuk organisasinya, gerakan Muslim pada esensinya merupakan gerakan politik. Maka dari itu ekspresi kepentingan sosio politiknya tidak jauh berbeda dari gerakan-gerakan politik lainnya yang ada di dunia.
2. Tidak ada kemunculan tiba-tiba Islam ke dalam kancah politik. Islam dengan politik selalu tak terpisahkan, karena secara etimologi Islam merupakan agama politik. Maka itu, jika di negara-negara Muslim ada tuntutan pemisahan agama dengan urusan pemerintahan akan dianggap lebih dari sekedar sekuler, ini akan dicap sebagai anti agama. Ini dapat menjelaskan mengapa tidak ada gerakan besar nasionalisme ala borjuasi atau borjuasi kecil di negeri Islam, terkecuali gerakan sekuler Kemalisme di Turki. Apa yang menjadi tugas dasar demokrasi di negara-negara lain—memisahkan antara agama dengan negara—merupakan sesuatu yang radikal bagi negara-negara Muslim, teruatama di timur tengah, yang bahkan ibaratnya lewat “kediktatoran proletariat” sekalipun akan sulit mengubahnya. Ini jauh di luar lingkup klas lainnya. 

Lebih jauh lagi, kelompok-kelompok pro demokrasi di komunitas Muslim sangat enggan menentang pandangan-padangan agamanya sendiri. Sebenarnya Islam tidak pernah dipersepsikan di abad ke-20 sebagai ideologi pengikat dari struktur kelas feodal atau semi feodal—yang sudah ketinggalan zaman. Melainkan Islam lebih dilihat sebagai elemen dasar identitas nasional yang dicemooh oleh penindas asing dari kelompok Kristen (atau bahkan ateis). Bukan sebuah kebetulan bahwa Turki merupakan satu-satunya komunitas Muslim yang tidak tunduk pada dominasi asing secara langsung selama abad 20 ini. Mustafa Kemal termasuk yang luarbiasa diantara sejawatnya. Dia melancarkan pertempuran utamanya bukan melawan kolonialisme atau imperalisme tapi justru melawan sang Sultan, yang merupakan kombinasi kekuatan politik dan spiritual (Kalifah). Di sisi lain Nasser, meski termasuk borjuasi nasional yang radikal, sangat bersemangat untuk mengidentifikasikan dirinya dengan Islam dalam pertarungannya melawan imperalisme; ini merupakan salah satu cara dia untuk melindungi diri dari serangan sayap kiri maupun sayap kanan.
3. Tesis berikut tidak berurusan dengan Islam sebagai satu kesatuan yang sama , meski merupakan unsur fundamental, dalam arus ideologi nasionalis. Islam yang seperti itu sudah lewat masa waktunya, juga dengan arus-arus yang mengidentifikasikan dirinya seperti itu. Lebih umum lagi, kita harus membedakan antara Islam yang digunakan sebagai salah satu sarana membentuk dan menegaskan sebuah bangsa, atau komunal, atau bahkan identitas sektarian, di satu sisi, dan Islam yang dianggap sebagai sebuah tujuan, sebuah totalitas, tujuan umum, di sisi yang lain. “Al-Quran adalah konstitusi kami,” dinyatakan oleh Hassan Al-banna, pendiri Ikhwanul Muslimin ditahun 1928. Islam yang kita cermati saat ini merupakan Islam yang menjadi sebuah prinsip absolut, dimana setiap tuntutan perjuangan dan reformasi merupakan kepentingan dibawahnya—Islam menurut Ikhwanul Muslimin, atau menurut asosiasi ulama lainnya “Jamaat-i-Islami,”, dan dari pergerakan Ayatollah yang ekspresi keorganisasiannya adalah Partai Republik Islam.

Sebutan umum untuk gerakan-gerakan yang berbeda ini adalah fundamentalis Islam, yaitu, keinginan untuk kembali ke Islam, inspirasi atas utopia Islam, yang notabene tak bisa dibatasi atas satu negara tapi harus mencakup semua masayarakt Muslim di seluruh dunia. Dalam semangat ini, Bani-Sadr menyatakan kepada harian An-nAhar di tahun 1979 bahwa “Ayatollah Khomeini merupakan seorang internasionalis; dia menentang Stalinis Islam yang ingin membangun Islam di satu negara saja”. “Internasionalisme” ini juga dapat terlihat dari cara gerakan-gerakan ini menyebar melewati batas-batas negara mereka sendiri. Mereka menolak nasionalisme dalam pandangan yang sempit, dan menganggap arus nasionalisme—bahkan yang mengklaim sebagai Islam—sebagai lawan atau bahkan musuh. Mereka menentang penindasan asing atau musuh dalam negeri dengan mengatasnamakan Islam, bukan untuk melakukan pembelaan atas nama bangsa. Oleh karena itu, Amerika Serikat tidak terlalu “Imprealis” bagi Khomeini melainkan dianggap sebagai “Iblis Besar”; di sisi lain Saddam Hussein diatas segalanya merupakan “ateis” dan “kafir” bagi Khomeini. Dalam semua gerakan mereka, Israel lebih dianggap sebagai “perampasan tanah suci Islam oleh Yahudi” ketimbang perampasan tanah oleh Zionis.

4. Bagaimanapun progresifnya, nasionalismenya dan/atau demokratisnya tujuan dari perjuangan yang diusung oleh berbagai gerakan fundamentalis Islam, tidak dapat menutupi fakta bahwa ideologi dan program-program mereka pada dasarnya, secara definisi, reaksioner. Program macam apa yang bertujuan membangun negara Islam dengan meniru model di abad ke-7 di era Kristen, jika bukan merupakan utopia reaksioner? Ideologi macam apa yang tujuannya merestorasi tatanan abad ke-13, jika bukan ideologi reaksioner? Jadi salah dan bahkan absurd untuk mendefinisikan gerakan fundamentalis Islam sebagai gerakan borjuis, betapapun perjuangan mereka coba diselaraskan dengan semua atau sebagian borjuasi di negara mereka. Sama salahnya dengan mendefinisikan mereka sebagai revolusioner ketika mereka secara kebetulan berkonflik dengan borjuasi yang sama. 

Dilihat dari sifat program dan ideologi mereka, komposisi sosial mereka, dan bahkan asal muasal sosial pendirinya, gerakan fundamentalis Islam merupakan borjuis kecil. Mereka tidak menyembunyikan kebencian mereka pada para perwakilan pemilik modal besar lebih dari pada perwakilan klas pekerja, atau kebencian mereka terhadap negara-negara imprealis lebih dari pada negara-negara “komunis”. Mereka memusuhi dua kutub masyarkat industrial yang mengancam mereka: Borjuasi dan Proletariat. Mereka sesuai dengan penggambaran borjuis kecil seperti yang dijelaskan dalam Manifesto Komunis:

“Klas menengah kebawah, pemilik toko, tukang, petani, semuanya berjuang melawan borjuasi untuk menyelamatkan diri dari kepunahan eksistensi mereka sebagai bagian dari kelas menengah. Oleh karena itu mereka tidak lah revolusioner, namun konservatif. Mereka adalah kaum reaksioner, karena mereka mencoba memutar kembali roda sejarah.” 

Kelompok reaksioner borjuis kecil Islam menemukan ideologinya dan unsur-unsur utamanya di antara “intelektual tradisional” masayarakat Muslim, ulama dan sejenisnya, dan juga diantara lapisan dibawah “intelektual organik” borjuis, yaitu mereka yang berasal dari borjuis kecil dan dikutuk untuk tetap berada di posisi itu: guru dan pekerja kantor pada khususnya. Dalam masa kekuasaannya fundamentalis Islam merekrut secara luas dari universitas-universitas dan institusi lain yang memproduksi “intelektual,” dimana mereka masih lebih terkondisikan oleh asal usul sosial mereka ketimbang masa depan yang bersifat hipotesis dan belum pasti. 

5. Di negara-negara dimana fundamentalis Islam mampu menjadi gerakan yang besar dan mendapat angin segar untuk berkembang, angkatan kerjanya mencakup kelas menengah yang cukup besar, mengacu definisi Manifesto Komunis: yaitu produsen kecil, pemilik toko, pengrajin, dan petani. Meski begitu, setiap mencuatnya fundamentalisme Islam, mereka memobilisasi tidak hanya lapisan yang lebih besar atau lebih kecil dari kelas menengah tersebut, tetapi juga lapisan kelas lain yang baru ditelurkan dari kelas menengah yang terkena dampak pemiskinan dan akumulasi modal sistem kapitalisme. 

Dengan demikian bagian dari klas proletariat yang belum lama terproletariatkan, dan diatas segalanya bagian sub-proletariat yang baru saja terseret turun dari klas borjuis kecil, sangat mudah menerima agitasi kaum fundamentalis dan rentan terjebak di dalamnya. Inilah basis sosial dan basis massa fundametalisme Islam. Tetapi basis ini bukanlah pertahanan alami dari kereaksioneran secara religious, sebagaimana cara borjuasi mengkaitkan dengan programnya sendiri. Apapun kekuatan perasaan religious yang dirasakan diantara massa tersebut, bahkan sekalipun agamanya adalah Islam, ada lompatan kualitatif dari yang sekedar berbagi perasaan, menjadi melihat agama sebagai sebuah utopia duniawi yang disa diwujudkan. Agar keyakinan massa ini dapat menjadi stimulant yang efektif di era yang serba otomatis ini, massa rakyat harus benar-benar berada pada posisi tidak ada pilihan lain kecuali memasrahkan diri sepenuhnya pada kehendak Ilahi. 

Sebenarnya fundamentalisme Islam menimbulkan lebih banyak masalah ketimbang memberi solusi. Meski hukum Islam beberapa abad lebih muda dari pada hukum Romawi, namun hukum tersebut dibuat oleh masyarakat yang jauh lebih terbelakang ketimbang Roma kuno. Dan selain masalah memperbaharui hukum sipil yang berusia tiga belas abad, ada juga pertanyaan untuk menuntaskannya. Dengan kata lain, fundamentalis Islam yang paling ortodoks tidak mampu merespon masalah yang dihadapi masyarakat modern sekarang ini hanya dengan berbekal teks yang multi tafsir semata, kecuali jika teks tersebut diterapkan secara absolute dan oleh karena itu juga menjadi sumber perselisihan tanpa henti dari para penafsir. Dengan demikian akan selalu ada banyak tafsir tentang Islam karena ada banyak penafsir di dunia. Inti dari fundamentalisme Islam, yang bahkan bila disetujui oleh semua umat Islam, sama sekali tidak memuaskan kebutuhan mendesak borjuis kecil, terlepas apakah dapat memenuhi kebutuhan spiritual mereka. Fundamentalisme Islam dengan sendirinya bukanlah program yang paling tepat untuk memuaskan aspirasi lapisan sosial yang mendukungnya
6. Dasar sosial yang dijelaskan di atas penting untuk menjelaskan fleksibilitas kelompok-kelompok fundamentalis Islam. Kutipan dari Manifesto Komunis di atas bukan untuk menggambarkan sikap pasti kelas menengah, melainkan untuk menjelaskan karakter asli perjuangan mereka ketika muncul pertentangan kepentingan dan balik melawan borjuasi. Sebelum melawan borjuasi, kelas menengah merupakan sekutu dalam perang melawan feodalisme; sebelum kemudian kelas menengah yang sama justru ingin memutar roda sejarah dimana mereka sendiri ikut andil dalam menjatuhkannya. 

Kelas menengah merupakan penyokong utama revolusi demokratik dan perjuangan pembebasan nasional. Di belakang, ada kelompok-kelompok masyarakat yang bergantung padanya, seperti masyarakat Muslim. Kelas menengah masih memegang peran ini selama tugas-tugas pembebasan nasional dan revolusi demokratik belum tuntas. Mereka adalah pendukung utama kepemimpinan borjuis manapun (dan bahkan dari borjuis kecil) yang mengusung tugas revolusi demokratik. Kelas menengah adalah basis sosial yang paling mumpuni sebagai pendukung Bonapartisme dari borjuasi yang berkuasa; mereka sebenarnya merupakan basis sosial dari semua Bonapartisme yang berkuasa. Jadi, satu-satunya waktu ketika mayoritas bagian kelas menengah menyerang pimpinan dari kelas mereka sendiri adalah ketika pimpinan borjuis yang mengemban tugas demokratik tersebut berlari melewati batas dan kehilangan kredibilitasnya.

Tentu saja, saat kondisi kapitalisme sedang maju, seakan muncul peluang bagi kelas menengah untuk menaikkan posisi sosialnya. Selama kondisi atau eksistensi mereka membaik, mereka tidak akan mempertanyakan tatanan yang sedang berjalan—kapitalisme. Bahkan, ketika mereka didepolitisasi atau dikekang, mereka masih memainkan peran “silent majority” dalam tatanan borjuis. Tetapi, jika evolusi kapitalis mulai membebani mereka dengan segenap kekuatannya—bobot persaingan, inflasi, hutang nasional—maka kelas menengah akan menjadi lumbung oposisi yang tangguh dalam melawan kekuatan yang ada. Kemudian mereka akan lepas dari kontrol borjuasi dan menjadi sangat kuat, karena kemarahan borjuis kecil ketika dalam keadaan tertekan tiada bandingannya.


No comments

Powered by Blogger.