Kiri Sosial membuka ruang bagi kawan-kawan yang ingin berkontribusi pada Kirisosial.blog. Kami menerima kontribusi dalam bentuk artikel terjemahan yang memuat tentang inspirasi gerakan yang partisipatif atau tentang inspirasi persatuan. Silahkan kirim terjemahan anda melalui inbox FB atau kirim melalui kirisosial@gmail.com. Terimakasih

Tesis 7 Sampai Tesis 11 (Bagian Kedua-Selesai)




Sambungan dari bagian pertama



11 Tesis Marxisme Tentang Kebangkitan (Gerakan) Fundamentalisme Islam


7. Meski demikian, pilihan menjadi reaksioner tidak dapat dihindari oleh borjuis kecil yang tertindas oleh masyarakat kapitalis dan terilusi oleh kepemimpinan borjuasi nasional demokratik. Tentu saja selalu ada pilihan lain, paling tidak secara teori. Kelas menengah dihadapi pada dua pilihan antara menjadi reaksioner atau revolusioner. Dan mereka dapat bergabung dalam perjuangan revolusioner melawan borjuiasi, seperti yang diramalkan oleh Manifesto Komunis:

Jika secara kebetulan (kelas menengah) menjadi revolusioner, mereka hanya mempertimbangkan nasib mereka nanti ketika turun kelas menjadi proletariat. Sehingga mereka tidak sedang membela kepentingannya sekarang, namun kepentingan masa depan mereka. Mereka meninggalkan sudut pandang mereka sendiri untuk menempatkan diri sebagai proletariat.

Dalam masyarakat yang terbelakang dan tidak mandiri—kelompok kelas menengah yang tidak diperhitungkan oleh Manifesto Komunis—tidak perlu melepas kepentingannya saat menempatkan diri di bawah kepemimpinan proletariat. Justru sebaliknya, dengan mengusung aspirasi kelas menengah, terutama tugas demokratik dan soal kebangsaan, kaum proletar dapat memenangkan dukungan kelas menengah untuk ikut bergabung.


Tetapi agar proletariat dapat memenangkan kepercayaan kelas menengah, pertama-tama proletariat juga harus memiliki kepemimpinan yang kredibel, pimpinan yang telah membuktikan dirinya secara politik dan praksis. Di sisi lain, jika pimpinan kelas pekerja sebagai mayoritas telah mendiskreditkan dirinya di level perjuangan demokratik (sementara tetap mempertahankan posisinya karena daya tawar serikatnya, atau hanya karena kurangnya alternatif pemimpin), dan jika terbukti secara politik bersikap lembek dalam menghadapi penguasa, atau lebih parah lagi justru mendukungnya, maka kelas menengah benar-benar tidak punya pilihan lain selain memberikan telinga pada borjuis kecil yang reaksioner—sekalipun solusinya seabsurd kaum fundamentalis—dan mungkin mengikuti seruannya.

8. Di semua negara dimana fundamentalisme Islam tumbuh subur, terutama di Mesir, Suriah, Iran, dan Pakistan, semua kondisi yang dijelaskan di atas ada. Di semua negara tersebut standar hidup kelas menengah sedang mengalami kemunduran besar selama beberapa tahun terakhir ini. Meski merupakan eskportir minyak, satu-satunya dampak kenaikan harga minyak bagi kelas menengah adalah naiknya inflasi yang tidak terkendali. Selain itu, pimpinan borjuasi nasional demokratik dan pimpinan borjuis kecil umumnya dideskriditkan di negara-negara ini. Di keempat negara ini, kepemimpinan nasional-demokratiknya sedang mengalami ujian atas kekuasaan mereka.

Semua pemimpin negara tersebut memiliki dukungan kelas menengah yang kuat pada momen-momen tertentu dalam sejarah mereka ketika mereka mencoba menerapkan program-program demokratik. Beberapa bahkan memiliki dukungan melebihi dari lainnya, terutama di Mesir dan negara-negara yang berada di bawah pengaruhnya, dimana Nasser mendapat dukungan politik yang begitu luas. Kaum nasionalis dapat mempertahankan kekuasaannya dalam kurun waktu yang cukup lama—dalam kasus terakhir karena meminjam kekuasaan tentara. Di Iran dan Pakistan, dimana kaum nasionalis membentuk pemerintahan sipil, tidak lama kemudian setelah tentara membabat mereka; kekuasaan Mossadegh dan Bhutto berakhir tragis. Di keempat negara tersebut, bagaimanapun juga telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam menerapkan program-program nasional-demokratik, bahkan untuk batasan negara borjuis. Begitu pula di Iran walau kekuasaan Mossadegh hanya sebentar, Shah merebutnya (atas saran penasihat ASnya) untuk mewujudkan metode pseudo-Bismarckiannya yang merupakan gabungan dari Robespierres and Bonapartes.

Di sisi lain, satu-satunya jaringan organisasi politik kelas pekerja yang patut diperhitungkan di kawasan itu adalah partai-partai Stalinis.

Dengan segala tindak tanduknya selama ini, partai-partai Stalinis telah mendeskriditkan gerakan mereka sendiri dalam sejarah panjang menggadaikan perlawanan rakyat dan bersekutu dengan kelas penguasa. Jadi ketika ketidakpuasan kelas menengah mulai muncul ke permukaan pada beberapa tahun terakhir di keempat negara tadi, tak ada organisasi klas pekerja, atau organisasi borjuis nasional yang mampu memanfaatkannya. Pintu pun terbuka lebar bagi kelompok borjuis kecil fundamentalis Islam.

Sebaliknya, di Aljazair, Libya dan Irak, rezim diktator borjuasi nasionalnya lebih “tercerahkan” sehingga memungkinkan kelas menengah disana juga ikut merasakan keuntungan dari sumber minyak di negaranya. Dengan begitu pengaruh fundamentalis Islam dapat dibendung.

9. Sementara fundametalis Islam dapat berkembang pesat di Mesir dan Suriah, sama seperti di Iran dan Pakistan, namun bentuk dan perkembangannya berbeda jauh antara negara satu dengan yang lainnya, seperti halnya muatan dan metode gerakan politik. Di Suriah gerakan fundamentalis merupakan oposisi utama Bonapartisme dari birokrasi borjuis Baath yang sedang menurun, dan berjuang hidup-mati melawan rezim tersebut. Fundamentalis Suriah mendapat keuntungan karena elite pimpinan partai Baath yang berkuasa merupakan kelompok minoritas (Alawi).

Sifat gerakan fundamentalis Suriah yang sangat-sangat reaksioner mengurangi probabilitas mereka untuk merebut kekuasaan dengan kekuatan sendiri, sebuah hal yang menjadi mustahil. Mereka tidak mungkin sendirian, dengan program yang diusung seperti itu, untuk memobilisasi kekuatan menggulingkan rezim Baath. Dan kalaupun berhasil, akan lebih sulit lagi menjalankan pemerintahan dengan kondisi ekonomi politik serumit Suriah. Karena itu, fundamentalis Suriah mau tidak mau harus bekerja sama dengan kaum borjuis dan pemilik tanah. Dan keterlibatan mereka tidak bisa sekedar sebagai ujung tombak. Di Mesir juga, untuk alasan yang sama, kemungkinan bagi kelompok fundamentalis mampu merebut kekuasaan sendiri sangatlah kecil, apalagi pengaruh mereka di Mesir jauh lebih kecil dibanding di Suriah. Di kedua negara ini perjuangan panjang melawan rezim progresif—dibanding karakter feodal—telah menempa gerakan fundamentalis, sehingga makin menguatkan karakter reaksionernya. Terlebih lagi, masalah ekonomi Mesir yang begitu luas membuat tawaran solusi kekuasaan bagi fundamentalis kurang dapat dipercaya.

Borjuasi Mesir sangat sadar dengan kelemahan itu dan karenanya justru mendukung gerakan fundamentalis. Bagi mereka kaum fundamentalis dapat dimanfaatkan menjadi pemecah gerakan massa, antibodi yang efektif untuk kelompok kiri. Itulah mengapa borjuasi Mesir sama sekali tidak khawatir ketika gerakan fundamentalis berupaya mengambil alih kepeloporan dua isu favorit kelompok kiri: soal kebangsaan dan kesejahteraan sosial; keuntungan apapun yang didapat pihak reaksioner Islam berarti kerugian bagi kelompok kiri. Sikap borjuasi Mesir terhadap gerakan fundamentalis menyerupai sikap borjuasi manapun terhadap kelompok fasis kanan ketika menghadapi krisis sosial yang mendalam. Pakistan berbeda dari Mesir karena gerakan fundamentalis Pakistan telah mengkonsolidasikan dirinya dibawah rezim reaksioner. Karena itu mereka dapat memanfaatkan beberapa bagian program demokratik guna melanggengkan kekuaaan hingga cukup lama sebagai oposisi yang kredibel dari tatanan yang sudah mapan—sistem kapitalisme. Namun dalam kurun waktu yang sama, borjuasi nasional-demokratik menjadi kelompok oposisi di Pakistan, dan lebih kredibel dan lebih berpengaruh ketimbang kaum fundamentalis.

Hanya ketika Bhutto, yang mengabaikan tahapan evolusi ala Nasser, mengambil jalan pintas dan naik ke panggung politik dengan begitu mengesankan, justru mengasingkan massa dan terjerat dalam kontradiksinya sendiri telah menjadi pintu masuk bagi naiknya kelompok ekstrim kanan yang didominasi oleh gerakan fundamentalis (mengingat kekuatan kiri di Pakistan tidak terlalu signifikan). Kebangkrutan pemerintahan Bhutto begitu mencolok hingga kaum fundamentalis berhasil memobilisasi massa yang begitu besar untuk melawannya.

Kudeta militer dimaksudkan untuk mencegah terjadinya “anarki” akibat mobilisasi besar-besaran yang menyebabkan jatuhnya pemerintahan Bhutto (seperti di Iran). Kemudian untuk memenangkan simpati kaum fundamentalis, rezim militer reaksioner Zia Ul-Haq mengambil alih kendali isu reformasi Islam dan menggunakannya demi keuntungan sendiri. Hingga kini mereka mengandalkan gerakan fundamentalis untuk menetralisir oposisi “progresif”, termasuk oposisi dari partainya Bhutto. Dalam tiga kasus yang dianalisa di atas, gerakan fundamentalis telah membuktikan dirinya tak lebih sebagai pembantu borjuasi yang reaksioner. Tapi Iran berbeda.

10. Di Iran, gerakan fundamentalis yang direpresentasikan oleh ulama Syiah ditempa dalam perjuangan panjang dan sengit melawan rezim Shah Iran yang sangat reaksioner yang didukung kekuatan imprealis. Kebangkrutan menyedihkan borjuasi nasional dan Stalinisme Iran sudah terlalu “masyur” untuk dijelaskan kembali. Karena kombinasi latar sejarah ini, gerakan fundamentalis Iran berhasil menjadi ujung tombak dari dari dua tugas langsung revolusi demokratik: menggulingkan Shah dan memutus hubungan imperealisme AS.

Kondisi itu mungkin terjadi karena kedua tugas mendesak tersebut sesuai dengan program umum fundamentalis Islam di Iran. Jadi ketika krisis sosial memuncak hingga mencapai batas prasyarat penggulingan revolusioner rezim Shah, dan ketika kebencian kelas menengah mencapai titik puncaknya, kelompok fundamentalis yang dipersonifikasi oleh Khomeini berhasil memanfaatkan kekuatan besar kelas menengah dan sub-proletariat guna menjatuhkan pukulan telak pada rezim yang berkuasa.
Kaum fundamentalis hampir saja bunuh diri karena tekadnya untuk tetap tidak mengangkat senjata. Gerakan fundamentalis Iran berhasil melaksanakan tahap pertama revolusi demokratik. Namun karakter fundamentalisnya dengan cepat muncul ke permukaan.

Dalam arti tertentu, revolusi Iran merupakan revolusi permanen secara terbalik. Dimulai dari revolusi demokratik nasional, yang jika dibawah kepemimpinan proletariat dapat berlanjut menjadi transformasi sosialis. Namun kepemimpinan borjuis kecil fundamentalis mencegahnya, mendorongnya berlawanan menjadi kemunduran reaksioner. Revolusi Februari 1979 secara mengherankan mirip dengan revolusi Oktober 1917—dua titik awal identik yang menghantarkan pada hasil akhir yang bertolak belakang secara asimetris. Sementara revolusi Oktober 1917 menghantarkan revolusi demokratik Rusia menuju titik akhir logisnya, sebaliknya di Iran, kepemimpinan fundamentalis justru mengkhianati makna revolusi demokratik.

Pada Revolsi Oktober 1917, setelah berjuang membuat Bolshevik terpilih secara demokratis, mereka menggantikan Majelis Konstituante dengan kekuatan soviet-soviet yang demokratis; sementara Ayatollah membubarkan Majelis Konstituante, yang mereka masukan dalam program utama tuntutan mereka, namun menggantikannya dengan karikatur reaksioner: “Majelis Pakar Muslim”. Perbedaan nasib akhir tuntutan ini—pembubaran Majelis Konstituante—pada dua revolusi tersebut mencerminkan karakter kepemimpinan keduanya, demikian pula arah endingnya yang saling bertolak belakang.

Mengenai bentuk organisasi yang muncul menjelang revolusi Februari Iran, pimpinan fundamentalis Islam telah mengkooptasinya. Shorah (dewan pakar) sangat jauh berbeda dari soviet! Mengenai soal kebangsaan, internasionalisme proletariat Bolshevik memungkinkan adanya keseteraan dari daerah-daerah jajahan kekaisaran Rusia, sementara internasionalisme Islam ala Ayatollah ternyata berubah menjadi dalih keagamaan bagi represi berdarah atas bekas wilayah jajahan kerajaan Persia. Nasib perempuan dalam dua revolusi itu pun sudah kita ketahui bersama. Kesetiaan pimpinan fundamentalis Iran hanya pada satu program demokratik: perlawanan terhadap imperealisme AS. Tapi kesetiaan perlawanan ini agak rancu. Khomeini menggambarkan musuh bukan sebagai imperealisme tapi sebagai “Barat” atau kalau tidak sebagai “Iblis Besar”. Khomeini mengeneralisir imperealisme dengan segala hal positif peradaban barat. Dia mengkaitkan semua keuntungan politik dan sosial dari revolusi borjuis, termasuk demokrasi dan bahkan Marxisme, yang dia anggap produk peradaban “barat” yang dia benci.

Khomeini mengajak warga Iran menyingkirkan wabah ini dari masyarakat, sementara mereka mengabaikan hubungan ekonomi Iran dengan imperealisme. Sedang mengenai insiden di kedubes AS tidak membuahkan hasil apa-apa bagi Iran, yang justru harus dibayar sangat mahal dan menguntungkan Bank-Bank AS. Namun begitu, kekuatan diktator fundamentalis berkembang di Iran, dan menjadi hambatan besar bagi perkembangan revolusi Iran.

Apalagi, proses evolusinya bermasalah. Di luar kombinasi kerumitan di atas, ada perbedaan mendasar antara Iran dengan tiga negara yang lain (Suriah, Irak, Mesir). Iran memiliki cadangan kekayaan untuk membiayai eksperimen rezim fundamentalis borjuis kecil yang terisolir. Kekayaan minyaknya yang sangat besar merupakan jaminan untuk kesimbangan neraca keuangan Iran. Tapi dengan resiko dan bertahan sampai berapa lama? Neraca ekonomi selama dua tahun berkuasanya fundamentalis sudah sangat negatif dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu, ketidak konsistenan “program” fundamentalis dan bervariasinya lapisan sosial yang mengidentifikasikannya dan menafsirkannya menurut pandangan mereka masing-masing mewujud dalam pluralitas persaingan di sekitar pusat kekuasaan. Hanya otoritas Khomeini yang sejauh ini mampu menyatukan mereka.

11. Fundamentalisme Islam merupakan salah satu musuh paling berbahaya bagi revolusi proletariat. Adalah mutlak dan dalam segala situasi yang diperlukan untuk melawan kaum fundamentalis yang sangat reaksioner dan ingin membawa masyarakat kembali ke zaman abad pertengahan, seperti yang sudah ditulis dalam “Masalah Kebangsaan dan Kolonialisme” yang diadopsi dari pembahasan pada Internationale ke-2 bertahun-tahun lalu. Bahkan dalam kasus seperti Iran, dimana gerakan fundamentalis sempat mengambil tugas-tugas demokratik, menjadi tugas sosialis revolusioner untuk berjuang mengkonter ilusi yang dipaksakan kaum fundamentalis ke massa yang berjuang.

Jika tidak, massa rakyat tidak akan dapat membebaskan diri pada waktunya, dan akan membayar mahal. Sementara berkoalisi menyerang musuh bersama, sosialis revolusioner harus memperingatkan massa rakyat untutk melawan segala bentuk usaha membelokkan perjuangan ke arah reaksioner. Setiap kegagalan dalam tugas-tugas mendasar ini bukan hanya sebuah kelemahan fatal, tapi juga akan memunculkan kekeliruan yang opurtunistik.

Di sisi lain, bahkan dalam kasus fundamentalisme Islam mengambil bentuk reaksioner murni, sosialis revolusioner harus menerapkan kehati-hatian dalam taktik melawannya. Khususnya kita harus dapat menghindari jebakan kaum fundamentalis yang ingin menggiring kita berperang dengan isu-isu keagamaan. Kita harus berpegang teguh pada soal-soal kebangsaan, demokratisasi, dan isu-isu sosial. Kita tidak boleh melupakan fakta bahwa sebagaian, seringkali mayoritas, massa di bawah pengaruh fundamentalis dapat dan harus ditarik keluar dari lingkar ilusinya guna dimenangkan oleh klas proletariat. Pada saat yang sama, sosialis revolusioner harus menyatakan dirinya secara tegas pada masyarakat sekuler, yang merupakan elemen dasar dari pengusung program demokratik.

Selesai,

1 February 1981



Pertamakali dipublikasikan dalam bahasa Inggris d International Marxist Review vol. 2 no. 3 (Summer 1987)

No comments

Powered by Blogger.