Kiri Sosial membuka ruang bagi kawan-kawan yang ingin berkontribusi pada Kirisosial.blog. Kami menerima kontribusi dalam bentuk artikel terjemahan yang memuat tentang inspirasi gerakan yang partisipatif atau tentang inspirasi persatuan. Silahkan kirim terjemahan anda melalui inbox FB atau kirim melalui kirisosial@gmail.com. Terimakasih

GABUNGAN AKADEMISI SE-INDONESIA MENOLAK PABRIK SEMEN DI PEGUNUNGAN KENDENG


Ditengah banyaknya dukungan akademisi terhadap PT Semen Indonesia dan Pemerintah yang bersikeras segera mengoperasikan pabrik penambangan semen di pegunungan Kendeng. Hari ini, tujuh puluh tujuh akademisi yang tergabung dalam Forum Akademisi Peduli Agraria menyatakan sikapnya mendesak agar penambangan semen di wilayah ruang hidup dan ekologi masyarakat Kendeng Utara, dibatalkan.

Dukungan dari akademisi ini terlihat pula dari berbagai kampus dalam dan luar negeri, di wilayah  Jawa Tengah sendiri: Yogyakarta--Univ Gadjah Mada, Univ Atmajaya; Semarang--Univ. Dipenogoro, Univ Negeri Semarang, Univ Pandanaran, Univ Katolik Soegijapranata; Purwokerto-- Univ Jenderal Soedirman. Pun kampus diluar Jawa Tengah yang turut bersikap seperti di Aceh, Padang, Lampung, Jakarta, Bekasi, Bogor, Bandung, Surakarta, Surabaya, Malang, Madura, NTB, Samarinda, Tarakan, Jayapura. Bahkan dari Australia dan Germany.

Begitulah seharusnya kaum intelektual memberdayakan pengetahuannya, dengan demikian pengetahuan tidak menjadi alat untuk menipu rakyat semata-mata demi pembangunan yang hanya mencari keuntungan tanpa melihat dampak ekologi-sosial, parahnya perampasan paksa ruang hidup rakyatlah yang terjadi.

Inilah pernyataan sikap akademsi itu:


SERUAN MORAL AKADEMISI INDONESIA:
“KEMBALIKANKEDAULATAN RUANG HIDUP DAN 
EKOLOGI RAKYAT KENDENG UTARA”

FORUM AKADEMISI PEDULI AGRARIA 
(ditandatangani 70 akademisi)

Pengantar

Kami, pendidik dan peneliti, selalu mengamati, mengawasi, dan hadir dalam setiap peristiwa perjalanan bangsa. Kami ingin memastikan bahwa penyelenggaraan negara, tata kehidupan antarwarga, dan pembangunan untuk tujuan kesejahteraan masyarakat, dilakukan dengan memperhitungkan prinsip keadilan sosial, penghormatan kepada hak hidup masyarakat adat/ komunitas lokal, dan keadilan ekologis. Prinsip-prinsip tersebut sudah dipikirkan secara visioner oleh para Pendiri Bangsa, dan karenanya dirumuskan dalam Konstitusi dan diamanatkan dalam berbagai peraturan perundangan Indonesia sampai hari ini.

Seruan ini kami sampaikan karena percaya bahwa kedaulatan rakyat dan kebaikan bersama bagi bangsa menjadi tanggungjwab kita bersama agar bangsa Indonesia dapat mencapai tujuan agungnya menjadi bangsa besar, bermartabat dan berkeadilan.

Kita belajar bahwa keputusan ilmuwan yang salah, tidak berhati-hati, dan mengabaikan manusia dan ruang hidupnya, akan punya dampak besar terhadap potensi bencana lingkungan hidup, dan kesengsaraan manusia dan masyarakat. Ada banyak contoh bagaimana kita sudah melakukan kesalahan, yang dampaknya sukar dipulihkan, diantaranya adalah kasus lumpur Lapindo. Ketika ilmuwan dan pemerintah memutuskan bahwa pengeboran Lapindo hanyalah sebatas persoalan teknis, tanpa memperhitungkan bahwa di lokasi tersebut ada manusia, kebudayaan dan kesejarahannya, maka dampaknya adalah kerusakan yang luar biasa dan sukar untuk diperbaharui.


Darurat Ekologis Pulau Jawa

Terdapat banyak sekali penelitian dan kajian yang menunjukkan daya dukung lingkungan Pulau Jawa yang semakin kritis, di antaranya:

Pulau Jawa memiliki luasan kars yang paling kecil di Indonesia, padahal wilayah bentang alam karst memiliki fungsi hidrologi yang mengontrol sistem ekologi di dalam kawasan. Permukaan bukit karst berperan sebagai penyimpan air yang utama. Jika terjadi kerusakan karst, akan sukar diperbaharui karena karst adalah bentukan alam sejak 470 juta tahun dan yang terbaru adalah sejak 700.000 tahun yang lalu.

Kondisi hutan di Pulau Jawa juga berada pada titik kritis, karena luasnya semakin berkurang secara cepat. Luas kawasan hutannya tinggal sekitar 24 % dari luas Pulau Jawa (Puspijak KLH, 2015);
Dengan luas hutan dan bentangan karst yang semakin mengecil, Pulau Jawa telah mendapatkan beban sangat berat karena 60 % populasi penduduk tinggal di pulau Jawa. Penduduk menghadapi ancaman bencana, dengan indikasi semua provinsi di Pulau Jawa mempunyai indeks rawan bencana banjir, abrasi, longsor, dan kekeringan yang tinggi, yang juga diperparah oleh perubahan iklim.
Kerusakan dan melemahnya daya dukung ekologis Pulau Jawa adalah juga karena tekanan dari maraknya pertambangan batu gamping dan pabrik semen terhadap kawasan karst, besar dan kecil, baik yang legal maupun ilegal.


Masalah Kendeng Utara

Kendeng Utara adalah suatu potret dari kawasan karst yang bentuknya menyerupai ular naga di Pulau Jawa, dikelilingi mata air dan menyimpan sungai bawah tanah. Kendeng adalah salah satu bumper area bagi resapan air Pulau Jawa. Itu sebabnya ketika pemerintah menggulirkan kebijakan menambah pabrik semen dan menetapkan wilayah cekungan air tanah (CAT) Watu Putih Rembang sebagai lokasinya; potensi bencana ekologis membayangi para warga. Terutama adalah para petani, yang hidupnya tergantung pada alam, tidak bisa dipisahkan dari tanah, dan secara turun temurun memegang kearifan/pengetahuan lokal tentang kelangsungan ekologi.


Fakta Hukum

Keberadaan masyarakat lokal dan ruang hidupnya dilindungi oleh Konstitusi dan sejumlah peraturan perundangan Indonesia, bahkan sudah terdapat putusan pengadilan dalam kasus ini.
Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 99/PK/TUN/2016 menyatakan bahwa Kawasan Cekungan Air Tanah Watuputih, lokasi di mana PT. Semen Indonesia akan melakukan penambangan, merupakan Kawasan Bentang Alam Karst yang harus dilindungi. Putusan Mahkamah Agung itu didasarkan pada Surat Badan Geologi Kementerian ESDM Nomor 3131/05/BGL/2014 tertanggal 1 Juli 2014, yang dalam pertimbangannya halaman 112 menyebutkan: “…Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) dalam Suratnya Kepada Gubernur Jawa Tengah (bukti P-32) menyampaikan pendapat untuk menjaga kelestarian akuifer CAT Watuputih agar tidak ada kegiatan penambangan…”

Perdebatan tentang CAT Watuputih sebagai Kawasan Bentang Alam Karst seharusnya telah selesai dalam proses di pengadilan dengan merujuk dua hal: Pertama, pertanyaan tentang ada atau tidaknya Sungai Bawah Tanah telah disajikan melalui bukti-bukti oleh masing-masing pihak di Pengadilan. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya halaman 113 menyebutkan: “ Penambangan yang dilakukan sebagaimana tergambar dalam Amdal mengakibatkan runtuhnya dinding-dinding sungai bawah Tanah…” Kedua, Amdal PT. Semen Indonesia tahun 2012 pada BAB VI Halaman 28 jelas mengakui adanya sungai bawah tanah di area tambang mereka. Dengan demikian putusan Mahkamah Agung merupakan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap yang seharusnya tidak diperdebatkan lagi.

Status CAT Watuputih dinyatakan sebagai Kawasan Lindung Geologi berdasarkan fungsinya sebagai resapan air tanah sesuai dengan Perda Kabupaten Rembang No.14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rembang 2011-2031, Pasal 19/a.

CAT Watuputih juga telah ditetapkan oleh Presiden sebagai salah satu Cekungan Air Tanah (CAT) dengan luas 31 Km2 berdasarkan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 2011.

KLHS merupakan bagian yang diwajibkan oleh Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah membuat KLHS guna memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. KLHS diatur tata laksananya oleh Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2016 yang menekankan prinsip pembangunan berkelanjutan jaminan atas keterlibatan masyarakat, dan mekanisme pelaksanaan KLHS.


Masalah Manusia dan Kebudayaan

Perjuangan petani Kendeng Utara, khususnya komunitas Sedulur Sikep seharusnya direspon dengan pendekatan akademis yang komprehensif, ditelaah secara multi, inter dan transdisiplin, dan dibaca dengan kejujuran akademis dan nurani yang bening. Dari perspektif kebudayaan yang berfokus pada manusia, maka peristiwa ini harus dilihat sebagai sistem pengetahuan dan sistem hukum (adat) yang dilahirkan oleh lokalitas geografis, sosial dan kesejarahan masyarakat setempat. Manusia, dan relasinya dengan semesta alam, tidak dapat direduksi ke dalam hitungan angka dan teknis.


Sistem Pengetahuan

Sistem pengetahuan dibutuhkan oleh manusia untuk melangsungkan kehidupannya berselaras dengan alam dan sesama manusia. Masyarakat Sedulur Sikep mengajarkan kepada kita tentang filosofi hubungan hakiki antara manusia dengan Ibu Bumi, alam semesta. Suatu pengetahuan yang mendasar tentang manusia dan ruang hidup, serta kelestarian masa depan bumi Pulau Jawa dan Indonesia.

Sistem pengetahuan lokal ini sama canggihnya dengan sistem pengetahuan modern dan dapat ditemukan dalam mitologi, kisah-kisah pengalaman dan sejarah keseharian terkait relasi manusia dengan alam dan keragaman hayati. Sayangnya narasi sejarah lokal dan kaitannya dengan lingkungan alam sering tenggelam dalam narasi sejarah besar dan tidak tercatat secara memadai dalam repertoire ilmu pengetahuan arus utama.


Sistem Hukum Adat

Sistem hukum adat lahir karena kebutuhan untuk mengatur tata hubungan antar warga, apa yang dianggap boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga demi kelangsungan hidup bersama.
Prinsip dalam hukum adat terkait kepemilikan sumberdaya alam tanah pada masyarakat pertanian adalah: “Tanah hilang, kami pun punah”. Artinya, mencerabut mereka dari ruang hidupnya sama dengan meniadakan mereka. Mereka bukan hanya akan kehilangan ruang hidup, tetapi juga paparan partikel semen yang potensial akan merusak tanah, karst, sumber air, segala tanaman dan terlebih paru-paru mereka


Masyarakat Desa dan Ruang Hidupnya

Secara prinsip tanah, air dan sumber-sumber agraria lainya bukan sepenuhnya barang dagangan (komoditas). Sehingga pengelolaan atasnya tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar (UUD 1945, Pasal 33, UUPA, No/ 5/1960). Sebab secara hakiki hubungan manusia dengan tanah dan sumberdaya alamnya bersifat kompleks dan berlapis (Sosial, Budaya, Ekonomi, Ekologi, dan Spiritual). Sehingga dalam praktriknya, seluruh kebijakan pembangunan ekonomi nasional tidak dapat boleh menyederhakan hubungan tersebut hanya pada satu bentuk dimensi saja. Pemisahan kompleksitas dan lapisan-lapisan hubungan tersebut secara terus menerus akan dapat menggoncangkan sendi-sendi sosial, ekonomi, politik dan keberlanjutan ekologis dan akan melahirkan gejolak perlawanan untuk melindungi kerusakan yang lebih luas.

Secara kesejarahan tenurial masyarakat di sekitar pegunungan Kendeng Utara terbukti telah hidup lama dan turun temurun bergantung dari sumberdaya dan ruang hidup di pegunungan Kendeng. Secara sosial-ekonomi masyarakat di Kendeng Utara cukup sejahtera dengan model pertanian yang dikembangkan sekarang di sekitar pegunungan Kendeng. Model pengembangan ekonomi pertanianya bercorak pertanian kombinasi sawah, ladang, palawija dan ternak. Meski tanah di sekitar Kendeng Utara bercorak tandus, namun para petani dan masyarakat desa mampu adaptif mengembangkan pertanian lokalnya. Maka tidak cukup beralasan jika masyarakat di sekitar pegunungan Kendeng Utara dikatakan tidak sejahtera atau miskin. Hal ini sangat tergantung bagaimana model pengukuran tingkat kesejahteraan yang digunakan (Sains, 2015). Dengan demikian jelas bahwa masuknya industri semen di wilayah ini telah mengancam sumber pokok ekonomi petani dan masyarakat desa di sekitar Pegunungan Kendeng Utara dan sekitarnya. Ancaman itu bukan hanya persoalan kebutuhan air namun juga persoalan rusaknya ruang hidup ekosistem pegunungan Kendeng Utara dan ekosistem pertanian masyarakat desa di pegunungan Kendeng secara keseluruhan. Karena itu, jika kebijakan nasional melandaskan pembangunan dari pinggiran, maka masyarakat desa dan ruang hidupnya mesti didudukkan sebagai subjek utama pembangunan, bukan sebagai korban.


Pernyataan Sikap Akademis

Demi kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadilan dan menghormati keberadaan masyarakat lokal petani Kendeng Utara, khususnya komunitas adat Sedulur Sikep, untuk menjamin keberlangsungan hidupnya yang sangat bergantung pada kelestarian alam, maka kami menyatakan sikap sebagai berikut:

Pemerintah dan semua pihak seharusnya menghormati putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung. Sangat baik bila kita bersedia belajar pengalaman dari berbagai negara lain yang menghormati keberlangsungan hidup masyarakat lokal/adat beserta ruang hidup, kebudayaan dan kesejarahannya, demi kelangsungan hidup mereka.

Kepentingan pembangunan ekonomi hendaknya tidak dibayar dengan lenyapnya ruang hidup masyarakat yang manapun, beserta kebudayaan, hukum adat dan kesejarahannya. Dengan lenyapnya ruang hidup dan ruang ekonomi masyarakat sekitar pabrik yang mayoritas petani, jurang stratifikasi sosial dikhawatirkan akan semakin tinggi. Padahal, persoalan kesenjangan ekonomi ini merupakan persoalan penting yang dihadapi Indonesia saat ini, dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi.

Paradigma pembangunan modern yang sudah dilakukan di negara-negara maju termasuk Asia, pada saat ini sudah semakin meninggalkan industri ekstraktif yang mengeksploitasi sumberdaya alam (tanah dan air), untuk keperluan tambang dan membabat hutan untuk perkebunan monokultur. Contohnya adalah ditutupnya pabrik-pabrik semen di China, yang merupakan produsen semen terbesar dunia, sejak 2013. Alasan penutupannya adalah dampak ekologis dan kesehatan warganya yang terpapar polusi pabik semen. Sejak saat itu, China memindahkan sebagian industri semennya ke Indonesia

Paradigma pembangunan modern adalah upaya memampukan anak-anak muda, kecerdasan otak warga negara, perempuan dan laki-laki, untuk menciptakan berbagai hasil cipta karya, melahirkan berbagai inovasi, kreasi, yang berdaya saing. Keberhasilan membangun potensi hasil karya, temuan teknologi, dan lahirnya hak kekayaan intelektual dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, akan semakin memperkaya keuangan negara. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat Indonesia tengah memasuki masa jendela demografi pada tahun 2020-2035, di mana penduduk usia muda/produktif akan mencapai jumlah 200-an juta, dan menyediakan potensi modal pembangunan dengan mengandalkan kecerdasan, kreasi dan inovasi mereka.

Masih banyak cara untuk memajukan pembangunan bangsa termasuk menyediakan semen, dengan cara yang lebih mementingkan manusia dan kelestarian alam, melalui ilmu pengetahuan dan teknologi modern dari ribuan otak pintar para ilmuwan, yang berhati jujur dan berintegritas. Kebutuhan semen saat ini tidak termasuk sangat urgen dibandingkan kepastian kedaulatan pangan masyarakat dan kepentingan konservasi. Produksi semen dalam negeri saat ini masih tercukupi, terutama di Pulau Jawa. Proyeksi kebutuhan semen ke depan juga masih aman. Oleh karena itu, mengorbankan pertanian dan sumber air warga demi produksi semen untuk ekspor tentu tidak bijaksana.


Rekomendasi

Pembangunan pabrik semen di Rembang sudah selesai, dan sekarang tinggal penambangannya. Berdasarkan paparan di atas, dengan segala hormat dan kerendahan hati, kami mendesak Bapak Presiden, untuk membatalkan rencana penambangan semen sebagaimana diamanatkan dalam putusan Mahkamah Agung. Pembangunan pabrik yang sudah terlanjur berdiri harus ditinjau ulang berdasarkan perspektif yang kritikal, dengan prinsip kehati-hatian, agar tidak mengulangi berbagai kesalahan pembangunan sebelumnya. Bersama itu kiranya juga dapat ditinjau ulang berbagai penambangan lain yang sudah ada, baik yang legal maupun liar. Upaya melindungi keselamatan manusia dari bencana kerusakan ekologis yang tidak terbaharui, dan mempertahankan ruang hidup manusia yang berselaras dengan alam, kebudayaan dan peradabannya, jauh lebih berharga bagi masa depan Indonesia jangka panjang, daripada keuntungan ekonomi.


Jakarta, 3 April 2017

FORUM AKADEMISI PEDULI AGRARIA
  1. Paskalis Maria Laksono, Prof (UGM)
  2. Muhajir Darwin, Prof (UGM)
  3. Sulistyowati Irianto, Prof (UI)
  4. Mia Siscawati, PhD, (UI)
  5. Rikardo Simarmata, Dr (UGM)
  6. Suraya Afif, PhD (UI)
  7. Amrih Widodo (Australia National University)
  8. Hendro Sangkoyo, Dr. (SDE)
  9. Lidwina Inge, Dr (UI)
  10. Dian Noeswantari (Ubaya)
  11. Riris Sarumpaet, Prof (UI)
  12. Mayling Oey-Gardiner, Prof (UI)
  13. Poppy Ismalina, M.E.c.Dev, PhD (UGM)
  14. Moh. Sobary (Universitas Indonesia)
  15. Melany A. Sunito, M.Si. (Institut Pertaian Bogor)
  16. Awaludin Marwan, S.H., M.H., M.A. (Fakultas Hukum Universitas Pandanaran, Semarang)
  17. Manneke Budiman (UI)
  18. R.Yando Zakaria (Lingkar Pembaharuan Desa dan Agraria, Yogyakarta)
  19. Satyawan Sunito, Dr. (Institut Pertanian Bogor)
  20. Endriatmo Soetarto, Prof. (Institut Pertanian Bogor)
  21. Tri Chandra Aprianto (UNEJ)
  22. Benny D. Setianto, SH., LLM., MIL. (Fakultas Hukum dan Komunikasi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang)
  23. Bivitri Susanti, SH., LL.M. (Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Jakarta)
  24. David Bayu Narendra, S.H., M.H. (Fakultas Hukum Universitas Pandanaran, Semarang)
  25. Devi Rahayu, SH., MH., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo, Madura)
  26. Donny Danardono, SH., Mag.Hum. (Ketua Prodi Magister Lingkungan dan Perkotaan dan Fakultas Hukum dan Komunikasi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang)
  27. Dri Utari CR, S.H., LL.M (Fakultas Hukum Universitas Airlangga)
  28. Dwi Rahayu K, S.H., MA. (Ketua Departemen HTN Fakultas Hukum Universitas Airlangga)
  29. Franky Butar Butar, SH., M.Dev. (Unair)
  30. E. Prajwalita Widiati, SH., LLM. (Fakultas Hukum Universitas Airlangga)
  31. Esmi Warasih Pujirahayu, SH., MS., Dr., Prof. (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang)
  32. Fery Amsari, SH., MH., LLM. (Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)
  33. Franky Butar-Butar, SH., M.Dev.Prac. (Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya)
  34. Frits Siregar, SH., LLM., PhD. (Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Jakarta)
  35. Haris Azhar, SH., MA (Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta)
  36. Haris Retno S, S.H,.M.H. (Ketua Pusat Studi Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda)
  37. Harry Supriyono, SH., M.Si., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta)
  38. Hasan Muazis, S.H., M.H. (Fakultas Hukum Universitas Pandanaran, Semarang)
  39. Herdiansyah Hamzah, S.H., LLM. (Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda)
  40. Herlambang P. Wiratraman, SH., MA., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya)
  41. Hifdzil Alim, S.H,.M.H. (Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada)
  42. HS. Tisnanta, SH., MH., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung)
  43. Iman Prihandono, SH., MH., LLM., PhD. (Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya)
  44. Joeni A. Kurniawan, SH., MA. (Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya)
  45. Khairani Arifin, SH., M.Hum (Ketua Pusat Studi HAM, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh)
  46. Kurnia Warman, SH., MH., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)
  47. Manunggal K. Wardaya, SH., LLM. (Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto)
  48. Mela Ismelina, SH., M.H., Dr. Prof. (Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung)
  49. Melkias Hetharia,S.H.,M.H., Dr., Prof. (Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih, Jayapura)
  50. Mohamad Ilham Agang, S.H., M.H., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Borneo, Tarakan)
  51. Muhtar Said, S.H., M.H. (Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta)
  52. Myrna A. Safitri, PhD (Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta)
  53. Oce Madril, S.H., M.A. (Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta)
  54. Rahayu., SH., MH. Dr., Prof. (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro)
  55. Rian Adhivira Prabowo, S.H., S.Sos, M.H. (Fakultas Hukum Universitas Pandanaran, Semarang)
  56. Rikardo Simarmata, PhD. (Fakultas Hukum Universitas Gajahmada, Yogyakarta)
  57. Siti Rakhma Mary Herwati, SH., M.Si., MA. (Prodi Hukum Universitas Presiden, Bekasi)
  58. Eko Cahyono, S.Th.I, MSi (Fakultas Ekologi Manusia, Institute Pertanian Bogor)
  59. Stefanus Laksanto Utomo, S.H.,M.H., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Sahid)
  60. Suteki, S.H., M.Hum., Dr. Prof. (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang)
  61. Syukron Salam, SH., MH. (Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Semarang)
  62. Tristam P. Moeliono, SH., LLM., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)
  63. W. Riawan Tjandra, SH., MH., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogyakarta)
  64. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat)
  65. Yance Arizona, SH., MH., MA. (Prodi Hukum Universitas Presiden, Bekasi)
  66. Zainal A. Mochtar, SH., LLM., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta)
  67. Yacinta Kurniasih (Monash University Australia)
  68. Patrick Ziegenhain, Dr.Prof, (Department of Southeast Asian Studies, Goethe University, Frankfurt, Germany)
  69. Heru Nugroho, Prof, (UGM)
  70. Ratna Noviani, Dr (UGM)
  71. Dewi Candraningrum, Dr, (Jejer Wadon, Surakarta)
  72. Sylvia Tiwon, Prof, (Univ California at Berkeley
  73. Rachmi Diyah Larasati, Prof, (Univ of Minnesota
  74. Dyah Pitaloka PhD, (Univ of Sydney)
  75. Manneke Budiman, Ph.D. (Universitas Indonesia)
  76. R. Yando Zakaria (Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria)
  77. Muktiono, SH., M.Phil. (Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

No comments

Powered by Blogger.