PERUSAHAN MEDIA-MEDIA INTERNASIONAL MEMBALIKKAN FAKTA DI VENEZUELA
Aksi perempuan mendukung Maduro, 27 April 2017 |
Jangan salah: Ada blokade media terhadap Venezuela
Oleh : Rachael Boothroyd Rojas
Venezuela membara. Paling tidak sebagian darinya.
Sejak 4 April, milisi oposisi sayap kanan terus melakukan berbagai tindak kekerasan yang terencana, mulai dari vandalisme, pembakaran, sampai bentrokan yang disengaja dengan pihak kepolisian guna menciptakan situasi kacau di seantero negeri hingga dengan paksa dapat menyingkirkan pemerintahan sosialis yang sebelumnya terpilih secara demokratis. Ini adalah upaya berkelanjutan selama 18 tahun untuk menghambat Revolusi Bolivarian dengan cara apapun—meski luarbiasanya di media-media mainstream upaya kontra demokrasi ini isunya justru menjadi ‘mengembalikan demokrasi’.
Daftar kekerasan yang terjadi selama 18 hari ini sangat mengejutkan—sekolah-sekolah dibobol, gedung mahkamah agung dibakar, pangkalan AU diserang, fasilitas transportasi publik, dan kesehatan dihancurkan. Setidaknya 23 orang dibiarkan tewas, dan banyak lagi terluka. Salah satu kasus kekerasan yang paling mengejutkan dilakukan oleh pihak oposisi terjadi pada tanggal 20 April pukul 10 malam, ketika para perempuan, anak-anak, dan sekitar 50 bayi yang baru lahir terpaksa diungsikan oleh pemerintah dari salah satu rumah sakit bersalin akibat diserang preman-preman oposisi.
Andaikata kejadiannya di Eropa, pasti akan membuat shok dunia internasional, dan langsung keluar desakan untuk mengakhiri segala tindak kekerasan, sekaligus menuntut pihak-pihak yang bertanggung jawab segera ditangkap. Namun, pada kenyataannya dunia barat justru menututp mata terhadap kekerasan yang mengerikan tersebut, bahkan ironisnya media-media disana pun justru menyalah artikan kengerian tersebut. Pers yang seharusnya menyajikan berita-berita internasional secara obyektif dan tanpa bias, secara sembrono justru membeo klaim sepihak oposisi Venezuela, bahwa pemerintah yang merepresi aksi damai mereka, dan melemparkan tanggung jawab jatuhnya korban jiwa.
Ayo, kita kupas datanya secara lebih detail dan akurat.
Hingga saat ini, tiga orang (dua orang peserta aksi dan satu orang penonton) terbunuh oleh oknum petugas keamanan, yang setelah itu langsung ditangkap dan didakwa bersalah.
Dipastikan lima orang terbunuh oleh massa oposisi, sementara satu orang tewas akibat blokade oposisi di kota Caracas. Korban tersebut atas nama Ricarda Gonzales, 89 tahun, yang menderita penyakit CVA dan dilarang pergi ke rumah sakit.
Lima orang tewas tertembak di beberapa kejadian dekat lokasi aksi massa namun belum jelas kejadiannya seperti apa. Satu korban ditembak dari gedung tinggi oleh sniper yang diduga dari pihak oposisi, meski afiliasi pelakunya belum dapat terkonfirmasi.
Sembilan pemrotes tewas akibat tindakannya sendiri yaitu tersambar listrik ketika sedang menjarah sebuah toko roti.
Melihat kenyataannya, pemerintah jelas tidak dapat dipersalahkan atas mayoritas kematian tersebut. Namun begitu, seperti yang telah diucapkan oleh seorang penulis Venezuela, Jose Roberto Duque, “kebenaran mendadak menjadi tidak ada artinya.”
Media telah gagal meliput secara obyektif berbagai detail kejadian yang melatar belakangi jatuhnya para korban tersebut; tepatnya, karena kebenaran tersebut dapat menjadi halangan yang serius terhadap kebohongan besar yang coba mereka paksakan, bahwa mereka merupakan korban represifitas pemerintah saat berlangsungnya aksi damai. Kebohongan itu bukan hanya terlalu naïf, namun juga mengaburkan kenyataan yang terjadi di lapangan. Sebuah disinformasi bagi kalayak internasional.
Ambil saja contoh artikel penyesatan yang disengaja ditulis di oleh Nicholas Casey, penulis Koran New York Times, corong propaganda oposisi:
“Pemrotes yang menuntut diadakannya pemilu dan pengembalian demokrasi memadati jalan-jalan kota Caracas dan kota lainnya di Venezuela pada hari Rabu. Pasukan Garda Nasional dan aparat keamanan pemerintah memukul mundur massa dengan gas air mata, peluru karet dan senjata lainnya. Setidaknya tiga orang tewas, menurut kelompok hak asasi manusia dan laporan berita.” Lihat linknya di sini “Protesters demanding elections and a return to democratic rule jammed the streets of Caracas and other Venezuelan cities on Wednesday. National Guard troops and government-aligned militias beat crowds back with tear gas, rubber bullets and other weapons, and at least three people were killed, according to human rights groups and news reports.”
Casey memilih untuk menghilangkan fakta bahwa tidak satupun dari penyebab jatuhnya ketiga korban tersebut merupakan akibat tindakan aparat keamanan, juga tidak disampaikan bahwa salah satu korbannya adalah seorang sersan tentara yang terbunuh oleh pemrotes. Terlebih lagi, mereka yang dihalau menggunakan gas air mata dan peluru karet bukanlah bagian dari massa aksi damai seperti yang ditunjukan oleh Casey. Siapapun yang berada di timur kota pada tanggal 19 April, baik massa oposisi ataupun masa pro pemerintah, dapat melihat bagaimana massa bebas berkumpul dengan damai di Plaza Francia di Altamira. Mereka dengan leluasa membeli kaos-kaos anti pemerintah, topi, dan eskrim, bahkan mereka dibolehkan melakukan raly melewati jalan raya dari timur kota menuju ke barat. Lihat videonya di sini
Pembangunan opini represifitas polisi telah direncanakan melalui dua skenario. Skenario pertama adalah ketika para preman dari oposisi membakar barikade dan melakukan aksi kekerasan serta vandalisme di jalan-jalan. Termasuk ketika mereka berusaha merangsek ke gedung-gedung institusi publik—sebuah aksi yang disengaja untuk memprovokasi aparat guna mendapatkan hasil foto yang dramatis dan menyudutkan.
Skenario yang kedua adalah ketika masa oposisi berusaha menerobos barikade polisi yang menghadang mereka memasuki distrik El Libertador, dimana secara tradisi merupakan basis kekuatan massa pro Bolivarian. Lagi, tindakan itu disengaja untuk memprovokasi polisi dan massa pro pemerintah. Sebab, mereka jelas-jelas mengetahui sudah dilarang melintas sejak upaya kudeta yang gagal di tahun 2002, yang dipicu oleh aksi massa anti pemerintah di istana negara yang berujung pada aksi penembakan oleh milisi oposisi yang menewaskan 19 orang.
Sulit melihat polisi akan meresponnya secara berbeda terhadap berbagai kekerasan macam itu jika terjadi di belahan dunia lain. Bukan tidak mungkin responnya lebih brutal. Saya dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika massa yang bersenjata bertindak rusuh dan berusaha menerabas ke Gedung Putih di Washington, atau menuju Downing Street No 10 di London. Bagaimana jika mereka menyerang blokade polisi di luar Gedung Putih, atau menyerang rumah-rumah sakit dan menjarah daerah bisnis di London? Bukan saja mereka akan dihalau, tapi sudah pasti akan ditembaki, atau paling tidak akan mendekam lama di penjara dengan dakwaan terorisme. Tapi di Venezuela, pihak oposisi dapat mengandalkan persetetujuan media-media barat sebagai jaminan untuk bertindak seenaknya tanpa dijatuhi hukuman.
Tak perlu lagi dijelaskan detail tindakan anti demokrasi yang dilakukan pihak oposisi dan pendukungnya—mulai dari dukungan upaya kudeta berdarah di tahun 2002 hingga berbagai aksi kekerasan belakangan ini—dengan spektakulernya luput dari liputan media. Hal ini terjadi kendati pemimpin aksi protes kali ini—Julio Borges, Henrique Capriles Radonski, Henry Ramos Allup, dan Leopoldo Lopez—termasuk aktor utama dalam upaya kudeta berdarah tahun 2002.
Artikel bias yang ditulis Casey terang-terangan bertujuan menyesatkan publik atas kejadian yang sebenarnya terjadi di Venezuela. Namun sayangnya fenomena ini bukan sekedar satu kasus kesalahan dari satu kantor berita. Kantor berita Inggris, Guardian, contohnya, menyajikan berbagai foto aksi oposisi tanggal 19 April, tapi meninggalkan fakta di waktu yang sama juga terjadi aksi massa pro pemerintah dengan jumlah massa sama besarnya. Mereka dengan mudah mengabaikan aksi ratusan ribu—bahkan jutaan—massa pro pemerintah. Apapun berita dari kantor berita yang kamu lihat, entah itu BBC, Washington Post, atau CNN, kamu akan menemukan hal yang sama. Keseragaman opini atas pemberitaan Venezuela. Tiada ada kata-kata yang dapat menggambarkan skandal ini selain “Blokade total media”.
Terakhir kali Venezuela mengalami keresahan sebesar ini adalah tahun 2014, ketika kaum oposisi sekali lagi mencoba dan gagal melengserkan Presiden Nicolas Maduro menggunakan taktik yang sama, yang berakhir pada jatuhnya 43 korban jiwa. Mayoritas korban merupakan orang-orang tak berdosa yang terjebak di sekitar lokasi provokasi massa. Korban lainnya adalah pihak aparat keamanan yang mendapat tugas agak mustahil (sama seperti kali ini) yaitu mencoba menahan diri ketika sejumlah massa memprovokasi dan secara sengaja berupaya mencederai bahkan membunuh mereka.
Sementara aksi protes di tahun 2014 berawal dari keresahan kelompok mahasiswa sayap kanan, tahun ini dimulai di awal April paska Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan yang memberi wewenang sementara kepada pengadilan untuk mengambil alih fungsi parlemen (Majelis Nasional). Keputusan itu merupakan respon terhadap parlemen Venezuela yang dinyatakan dalam status “contempt of court”—menghina pengadilan—selama lebih dari enam bulan, akibat pihak oposisi menolak perintah pengadilan untuk mengganti 3 anggota dewannya yang didakwa oleh Mahkamah agung telah melakukan kecurangan pemilu. Ini mirip kasus hukum yang menerpa lebih dari tigapuluh anggota parlemen konservatif di Inggris. Bedanya, di Venezuela anggota parlemen tersebut hanya diskors pelantikannya sambil menunggu hasil investigasi. Namun belum apa-apa pihak oposisi langsung menyerang pemerintah, mengklaim tindakan tersebut sebagai upaya “kudeta” oleh pemerintah tanpa alasan yang jelas. Media barat menalan mentah-mentah klaim tersebut. Dan, meski keputusannya segera dibatalkan, pihak oposisi tetap turun ke jalan dan mencelanya sebagai pelanggaran konstitusi.
Kejadian itu segera disusul dengan keluarnya serangkaian ultimatum dari Majelis Nasional (satu dari lima negara pemerintahan Venezuela), yang merupakan agenda utama oposisi setelah berhasil memenangkan kontrol Majelis Nasional sejak Desember 2015, dan menjanjikan akan menjatuhkan pemerintahan yang sah dalam jangka waktu enam bulan—sesuatu yang jauh dari wewenang Majelis Nasional. Termasuk dalam tuntutannya adalah pembebasan atas apa yang mereka sebut sebagai “tahanan politik”, pembukaan jalur kemanusiaan untuk menerima bantuan internasional, dan lebih penting lagi, tuntutan pemilu yang dipercepat. Munculnya aksi protes di jalan merupakan kesempatan yang tidak dilewatkan oleh oposisi, yang popularitasnya sedang menurun setelah sepanjang tahun menyia-nyiakan suara mayoritasnya di parlemen.
Nampaknya, strategi jangka panjang bukan keunggulan pihak oposisi. Sejarah mencatat bagaimana mereka cenderung mengejar kerusakan semaksimal mungkin di jangka waktu yang pendek, apapun bayarannya. Itu sekaligus jawaban atas latar belakang berbagai tindak kekerasan, yang telah beberapa kali dilakukan selama 18 tahun ini oleh kelompok oposisi Venezuela, kembali lagi terjadi saat ini. Jika memang pemerintahan Nicolas Maduro begitu tidak populer, seperti yang mereka klaim, mengapa tidak menunggu saja hingga pemilu di tahun 2018 nanti?
Pada titik ini sudah sangat jelas satu-satunya tujuan dari pihak oposisi. Jauh dari mewujudkan demokratisasi. Mereka justru mengangkangi demokrasi. Mereka ingin menyingkirkan pemerintahan telah terpilih secara demokratis lebih cepat satu tahun dari jadwal pemilu. Tapi mereka tidak ingin berhenti disini. Seperti yang dikatakan oleh seorang peserta aksi kepadaku Rabu kemarin: “Kemasi barang-barangmu Maduro, karena kau akan masuk penjara.” Tujuan akhir dari oposisi adalah pembinasaan prinsip Chavismo.
Apapun kekurangan dan kesalahan selama empat tahun dibawah kepemimpinan Nicolas Maduro, kaum progresif di penjuru dunia memiliki kewajiban untuk membelanya dari serangan gencar pihak oposisi dan blokade media-media internasional. Sebab, resikonya adalah kebiadaban neoliberalisme seperti yang dipraktekan secara brutal oleh pemerintahan Brazil saat ini yang berkuasa tanpa melalui proses pemilu
Slogan “No Volveran!” (Jangan sampai mereka kembali !) adalah kebutuhan mendesak.
Sumber : https://venezuelanalysis.com/
Lima orang tewas tertembak di beberapa kejadian dekat lokasi aksi massa namun belum jelas kejadiannya seperti apa. Satu korban ditembak dari gedung tinggi oleh sniper yang diduga dari pihak oposisi, meski afiliasi pelakunya belum dapat terkonfirmasi.
Sembilan pemrotes tewas akibat tindakannya sendiri yaitu tersambar listrik ketika sedang menjarah sebuah toko roti.
Melihat kenyataannya, pemerintah jelas tidak dapat dipersalahkan atas mayoritas kematian tersebut. Namun begitu, seperti yang telah diucapkan oleh seorang penulis Venezuela, Jose Roberto Duque, “kebenaran mendadak menjadi tidak ada artinya.”
Media telah gagal meliput secara obyektif berbagai detail kejadian yang melatar belakangi jatuhnya para korban tersebut; tepatnya, karena kebenaran tersebut dapat menjadi halangan yang serius terhadap kebohongan besar yang coba mereka paksakan, bahwa mereka merupakan korban represifitas pemerintah saat berlangsungnya aksi damai. Kebohongan itu bukan hanya terlalu naïf, namun juga mengaburkan kenyataan yang terjadi di lapangan. Sebuah disinformasi bagi kalayak internasional.
Ambil saja contoh artikel penyesatan yang disengaja ditulis di oleh Nicholas Casey, penulis Koran New York Times, corong propaganda oposisi:
“Pemrotes yang menuntut diadakannya pemilu dan pengembalian demokrasi memadati jalan-jalan kota Caracas dan kota lainnya di Venezuela pada hari Rabu. Pasukan Garda Nasional dan aparat keamanan pemerintah memukul mundur massa dengan gas air mata, peluru karet dan senjata lainnya. Setidaknya tiga orang tewas, menurut kelompok hak asasi manusia dan laporan berita.” Lihat linknya di sini “Protesters demanding elections and a return to democratic rule jammed the streets of Caracas and other Venezuelan cities on Wednesday. National Guard troops and government-aligned militias beat crowds back with tear gas, rubber bullets and other weapons, and at least three people were killed, according to human rights groups and news reports.”
Casey memilih untuk menghilangkan fakta bahwa tidak satupun dari penyebab jatuhnya ketiga korban tersebut merupakan akibat tindakan aparat keamanan, juga tidak disampaikan bahwa salah satu korbannya adalah seorang sersan tentara yang terbunuh oleh pemrotes. Terlebih lagi, mereka yang dihalau menggunakan gas air mata dan peluru karet bukanlah bagian dari massa aksi damai seperti yang ditunjukan oleh Casey. Siapapun yang berada di timur kota pada tanggal 19 April, baik massa oposisi ataupun masa pro pemerintah, dapat melihat bagaimana massa bebas berkumpul dengan damai di Plaza Francia di Altamira. Mereka dengan leluasa membeli kaos-kaos anti pemerintah, topi, dan eskrim, bahkan mereka dibolehkan melakukan raly melewati jalan raya dari timur kota menuju ke barat. Lihat videonya di sini
Pembangunan opini represifitas polisi telah direncanakan melalui dua skenario. Skenario pertama adalah ketika para preman dari oposisi membakar barikade dan melakukan aksi kekerasan serta vandalisme di jalan-jalan. Termasuk ketika mereka berusaha merangsek ke gedung-gedung institusi publik—sebuah aksi yang disengaja untuk memprovokasi aparat guna mendapatkan hasil foto yang dramatis dan menyudutkan.
Skenario yang kedua adalah ketika masa oposisi berusaha menerobos barikade polisi yang menghadang mereka memasuki distrik El Libertador, dimana secara tradisi merupakan basis kekuatan massa pro Bolivarian. Lagi, tindakan itu disengaja untuk memprovokasi polisi dan massa pro pemerintah. Sebab, mereka jelas-jelas mengetahui sudah dilarang melintas sejak upaya kudeta yang gagal di tahun 2002, yang dipicu oleh aksi massa anti pemerintah di istana negara yang berujung pada aksi penembakan oleh milisi oposisi yang menewaskan 19 orang.
Sulit melihat polisi akan meresponnya secara berbeda terhadap berbagai kekerasan macam itu jika terjadi di belahan dunia lain. Bukan tidak mungkin responnya lebih brutal. Saya dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika massa yang bersenjata bertindak rusuh dan berusaha menerabas ke Gedung Putih di Washington, atau menuju Downing Street No 10 di London. Bagaimana jika mereka menyerang blokade polisi di luar Gedung Putih, atau menyerang rumah-rumah sakit dan menjarah daerah bisnis di London? Bukan saja mereka akan dihalau, tapi sudah pasti akan ditembaki, atau paling tidak akan mendekam lama di penjara dengan dakwaan terorisme. Tapi di Venezuela, pihak oposisi dapat mengandalkan persetetujuan media-media barat sebagai jaminan untuk bertindak seenaknya tanpa dijatuhi hukuman.
Tak perlu lagi dijelaskan detail tindakan anti demokrasi yang dilakukan pihak oposisi dan pendukungnya—mulai dari dukungan upaya kudeta berdarah di tahun 2002 hingga berbagai aksi kekerasan belakangan ini—dengan spektakulernya luput dari liputan media. Hal ini terjadi kendati pemimpin aksi protes kali ini—Julio Borges, Henrique Capriles Radonski, Henry Ramos Allup, dan Leopoldo Lopez—termasuk aktor utama dalam upaya kudeta berdarah tahun 2002.
Artikel bias yang ditulis Casey terang-terangan bertujuan menyesatkan publik atas kejadian yang sebenarnya terjadi di Venezuela. Namun sayangnya fenomena ini bukan sekedar satu kasus kesalahan dari satu kantor berita. Kantor berita Inggris, Guardian, contohnya, menyajikan berbagai foto aksi oposisi tanggal 19 April, tapi meninggalkan fakta di waktu yang sama juga terjadi aksi massa pro pemerintah dengan jumlah massa sama besarnya. Mereka dengan mudah mengabaikan aksi ratusan ribu—bahkan jutaan—massa pro pemerintah. Apapun berita dari kantor berita yang kamu lihat, entah itu BBC, Washington Post, atau CNN, kamu akan menemukan hal yang sama. Keseragaman opini atas pemberitaan Venezuela. Tiada ada kata-kata yang dapat menggambarkan skandal ini selain “Blokade total media”.
Terakhir kali Venezuela mengalami keresahan sebesar ini adalah tahun 2014, ketika kaum oposisi sekali lagi mencoba dan gagal melengserkan Presiden Nicolas Maduro menggunakan taktik yang sama, yang berakhir pada jatuhnya 43 korban jiwa. Mayoritas korban merupakan orang-orang tak berdosa yang terjebak di sekitar lokasi provokasi massa. Korban lainnya adalah pihak aparat keamanan yang mendapat tugas agak mustahil (sama seperti kali ini) yaitu mencoba menahan diri ketika sejumlah massa memprovokasi dan secara sengaja berupaya mencederai bahkan membunuh mereka.
Sementara aksi protes di tahun 2014 berawal dari keresahan kelompok mahasiswa sayap kanan, tahun ini dimulai di awal April paska Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan yang memberi wewenang sementara kepada pengadilan untuk mengambil alih fungsi parlemen (Majelis Nasional). Keputusan itu merupakan respon terhadap parlemen Venezuela yang dinyatakan dalam status “contempt of court”—menghina pengadilan—selama lebih dari enam bulan, akibat pihak oposisi menolak perintah pengadilan untuk mengganti 3 anggota dewannya yang didakwa oleh Mahkamah agung telah melakukan kecurangan pemilu. Ini mirip kasus hukum yang menerpa lebih dari tigapuluh anggota parlemen konservatif di Inggris. Bedanya, di Venezuela anggota parlemen tersebut hanya diskors pelantikannya sambil menunggu hasil investigasi. Namun belum apa-apa pihak oposisi langsung menyerang pemerintah, mengklaim tindakan tersebut sebagai upaya “kudeta” oleh pemerintah tanpa alasan yang jelas. Media barat menalan mentah-mentah klaim tersebut. Dan, meski keputusannya segera dibatalkan, pihak oposisi tetap turun ke jalan dan mencelanya sebagai pelanggaran konstitusi.
Kejadian itu segera disusul dengan keluarnya serangkaian ultimatum dari Majelis Nasional (satu dari lima negara pemerintahan Venezuela), yang merupakan agenda utama oposisi setelah berhasil memenangkan kontrol Majelis Nasional sejak Desember 2015, dan menjanjikan akan menjatuhkan pemerintahan yang sah dalam jangka waktu enam bulan—sesuatu yang jauh dari wewenang Majelis Nasional. Termasuk dalam tuntutannya adalah pembebasan atas apa yang mereka sebut sebagai “tahanan politik”, pembukaan jalur kemanusiaan untuk menerima bantuan internasional, dan lebih penting lagi, tuntutan pemilu yang dipercepat. Munculnya aksi protes di jalan merupakan kesempatan yang tidak dilewatkan oleh oposisi, yang popularitasnya sedang menurun setelah sepanjang tahun menyia-nyiakan suara mayoritasnya di parlemen.
Nampaknya, strategi jangka panjang bukan keunggulan pihak oposisi. Sejarah mencatat bagaimana mereka cenderung mengejar kerusakan semaksimal mungkin di jangka waktu yang pendek, apapun bayarannya. Itu sekaligus jawaban atas latar belakang berbagai tindak kekerasan, yang telah beberapa kali dilakukan selama 18 tahun ini oleh kelompok oposisi Venezuela, kembali lagi terjadi saat ini. Jika memang pemerintahan Nicolas Maduro begitu tidak populer, seperti yang mereka klaim, mengapa tidak menunggu saja hingga pemilu di tahun 2018 nanti?
Pada titik ini sudah sangat jelas satu-satunya tujuan dari pihak oposisi. Jauh dari mewujudkan demokratisasi. Mereka justru mengangkangi demokrasi. Mereka ingin menyingkirkan pemerintahan telah terpilih secara demokratis lebih cepat satu tahun dari jadwal pemilu. Tapi mereka tidak ingin berhenti disini. Seperti yang dikatakan oleh seorang peserta aksi kepadaku Rabu kemarin: “Kemasi barang-barangmu Maduro, karena kau akan masuk penjara.” Tujuan akhir dari oposisi adalah pembinasaan prinsip Chavismo.
Apapun kekurangan dan kesalahan selama empat tahun dibawah kepemimpinan Nicolas Maduro, kaum progresif di penjuru dunia memiliki kewajiban untuk membelanya dari serangan gencar pihak oposisi dan blokade media-media internasional. Sebab, resikonya adalah kebiadaban neoliberalisme seperti yang dipraktekan secara brutal oleh pemerintahan Brazil saat ini yang berkuasa tanpa melalui proses pemilu
Slogan “No Volveran!” (Jangan sampai mereka kembali !) adalah kebutuhan mendesak.
Sumber : https://venezuelanalysis.com/
No comments
Post a Comment