Kiri Sosial membuka ruang bagi kawan-kawan yang ingin berkontribusi pada Kirisosial.blog. Kami menerima kontribusi dalam bentuk artikel terjemahan yang memuat tentang inspirasi gerakan yang partisipatif atau tentang inspirasi persatuan. Silahkan kirim terjemahan anda melalui inbox FB atau kirim melalui kirisosial@gmail.com. Terimakasih

HENTIKAN RENCANA EKSEKUSI TANAH WILAYAH ADAT KARUHUN SUNDA WIWITAN

Pendamping masyarakat adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Dewi Kanti [suara.com/Dian Rosmala

SIARAN PERS
“KASUS PERAMPASAN TANAH KOMUNITAS ADAT KARUHUN URANG (AKUR) SUNDA WIWITAN DAN KAWASAN CAGAR BUDAYA PASEBAN TRI PANCA TUNGGAL CIGUGUR “

SAMPURASUN, SALAM NUSANTARA !

Siaran pers ini merupakan kesepakatan para tokoh kasundaan, aktivis adat dan pemerhati lingkungan tatar Sunda, akademisi dan berbagai elemen masyarakat yang peduli terhadap pentingnya menjaga dan melindungi kedaulatan budaya, tanah beserta alam serta wilayah lingkungan sosio kultural di bumi tatar Sunda. Kegiatan ini karena adanya kepedulian terhadap berkembangnya kasus yang sedang dialami oleh masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan Cigugur kabupaten Kuningan yaitu penyerobotan dan upaya penggusuran tanah adat oleh para pihak yang tidak mau memahami kedaulatan tanah adat.

Dalam hukum adat kepemilikan atas tanah bersifat komunal dan tidak dapat diperjual beli kan kepada pihak lain. Sehingga saat tahun 1960 terjadi Pencatatan atas Tanah pertama oleh pemerintah Republik Indonesia maka banyak terjadi fenomena : Pencatatan atas tanah di atas namakan oleh Sesepuh Adat mewakili komunitas. Untuk menjaga hak atas tanah tersebut dibuatlah Hukum Adat, uga, wangsit maupun larangan larangan seperti pamali pamali.

Hal itupun terjadi pada wilayah adat karuhun Cigugur. Sehingga untuk melembagakan hak momunal atas wilayah adat tersebut maka tahun 1976 gedung Paseban Tri Panca Tunggal sebagai pusat kegiatan milik komunitas di jadikan Cagar Budaya Nasional. Sehingga pemahaman atas cagar budaya nasional, baik berupa dead monument (bangunan, situs, benda-benda, pusaka, artefak-artefak peninggalan leluhur adat) maupun life monument (masyarakat hukum adat termasuk didalamnya tuntunan, etika, hukum adat dan para warga pendukung keajegan keadatan leluhurnya) dapat menguatkan hak hak komunal masyarakat saat itu.

Belakangan ini Cigugur mengalami perubahan bentuk dari Desa berubah hingga menjadi kelurahan yang berada dibawah Kabupaten langsung. Sementara proses pengakuan atas Tanah dan Wilayah Adat banyak mengalami perubahan. Berbagai wilayah Adat yang sebelumnya adalah bagian dari ruang kehidupan baik ruang budaya maupun ruang ekonomi dan ruang Spiritual bergeser lewat proses Jual Beli. Perampasan atas ruang hidup masyarakat Adat kerap dilakukan oleh bekas anggota ataupun keturunan tokoh yang menjadi calo atau perantara kepentingan dari pihak Pemodal besar.

Pola pola devide et impera mulai di gunakan untuk memecah keharmonisan beragama di Cigugur. Begitupun dalam kasus penyerobotan wailayah adat dan hutan larangan. Kata kata pamali, ulah, teu kenging di ical kalah oleh Kekuasaan dan Uang. Provokasi dan konflik ditunggangi oleh berbagai kepentingan baik menggunakan issue SARA oleh pihak-pihak kelompok keagamaan tertentu yang jelas-jelas nampak dalam persidangan atau dalam pengerahan massa saat persidangan berlangsung.

Padahal objek sengketa, baik tanah yang disengketakan di blok Mayasih dan tanah yang di lokasi Leuweung Leutik (Hutan Larangan) Lumbu, pada dasarnya merupakan bagain yang tidak terpisahkan dari zona inti dan sekunder cagar budaya nasional yang secara historis dan sosiokultural, keadatannya masih memiliki kaitan yang erat dengan zona inti gedung Paseban Tri Panca Tunggal (Gedung Cagar Budaya Nasional).

Oleh karenanya sangatlah tidak beralasan historis kultural yang jelas dan tegas ketika Pengadilan Negeri Kuningan ada kecenderungan berpihak dan berkeras mengeksekusi lahan adat tersebut bagi kepentingan individual semata (penggugat) yang jelas-jelas dilatarbelakangi dan didukung oleh upaya intimidatif dan provokatif yang bersifat memanipulasi fakta sejarah dan sosiohistoris kultural Komunitas Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan yang sebenarnya. Berangkat dari kasus ini dan fakta-fakta kasus yang hampir sama terjadi di wilayah hukum-hukum keadatan di Tatar Sunda bahkan hukum-hukum adat di seantero nusantara, maka forum ini dengan tegas menyatakan dan mendukung “Kedaulatan budaya dan tanah masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan!”.

Pernyataan sikap ini perlu ditegaskan dan disebarkan dalam berbagai media massa baik cetak dan elektronik agar menjadi pelajaran bagi siapapun terutama para pemangku aparat hukum dan pemerintahan setempat dimanapun berada, agar berhati-hati dalam menangani kasus-kasus konflik dan sengketa pertanahan yang melibatkan penyerobotan dan pengrusakan tatanan hukum, wilayah, dan budaya adat leluhur Sunda dan nusantara pada umumnya.

Dengan demikian kami sampaikan petisi untuk mendukung kedaulatan budaya keadatan dan tanah adat khususnya yang sedang berkembang di masyarakat AKUR Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan, masyarakat adat Sunda, serta masyarakat adat di seluruh nusantara pada umumnya:

1. Hentikan rencana pengeksekusian tanah wilayah adat karuhun Sunda wiwitan yang masih berdasarkan girik atas nama P. Tedjabuwana yang sudah dilindungi secara hukum negara sebagai wilayah zona-zona cagar budaya nasional.

2. Tinjau ulang ketetapan pengadilan negeri Kuningan yang berindikasi adanya tindak pidana berupa kesaksian palsu para saksi persidangan dari pihak penggugat dan mafia tanah baik di tingkat kelurahan sampai kecamatan terkait kasus penyerobotan tanah adat AKUR Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan.

3. Selamatkan warisan-warisan budaya leluhur AKUR Sunda Wiwitan Cigugur sebagai wujud penegakan kedaulatan budaya dan wilayah adat Tatar Sunda dari penyerobotan dan pengrusakan yang dilakukan oleh siapapun yang bersikap tidak bertanggungjawab dan tidak bermoral.

4. Hukum harus berdiri tegak dan bijak dan memperhatikan aspek sosiohistoris kultural masyarakat adat yang sudah lama berkembang jauh sebelum berdirinya NKRI. Sehingga dalam konteks kasus ini perlu ada penelusuran dari Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terhadap kemungkinan adanya mafia hukum peradilan dalam kasus penyerobotan tanah-tanah AKUR Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan ini

5. Peringatan terhadap upaya-upaya kelompok atau oknum-oknum setempat yang berusaha membawa kasus ini ke dalam pusaran konflik issu bernuansa SARA dan mendukung penyerobotan tanah-tanah adat AKUR agar diusut tuntas oleh pihak aparat kepolisian setempat.

6. Mendukung berbagai upaya baik pemerintah maupun aparat keamanan dalam menjaga kedaulatan budaya, tanah dan lingkungan alam dalam wilayah keadatan AKUR Sunda Wiwitan yang tersebar di seluruh Jawa Barat.

7. Mendorong pihak dewan perwakilan rakyat daerah bersama dengan pemerintah daerah dimanapun agar segera melindungi kedaulatan budaya, tanah dan lingkungan alam masyarakat-masyarakat adat di Tatar Sunda ke dalam wujud pembuatan perda terkait Adat dan hukum adat setempat agar tidak terjadi ketidakadilan hukum di masa datang.

8. Menghimbau kepada seluruh masyarakat Jawa Barat agar selalu memiliki kepedulian dan tanggungjawab dalam menjaga semua warisan kebudayaan leluhur dan wilayah keadatan leluhur Sunda dan Nusantara. Petisi ini dibuat sebagai wujud kepedulian dan upaya untuk menjaga kedaulatan kebudayaan daerah dan kebudayaan leluhur bangsa Indonesia agar tidak dirusak oleh para penjarah budaya bangsa dan oleh sikap-sikap pengambil kebijakan yang berdasarkan pada ketentuan hukum negara yang masih harus banyak direformasi demi tegaknya empat pilar kebangsaan yaitu NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.

Petisi ini telah di sepakati dan ditandatangani di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, 8 Mei 2017 dan didukung oleh Forum Penegak Kedaulatan Budaya dan Tanah Adat Tatar Sunda Nusantara, Majelis Adat Sunda,Badan Musyawarah Sunda Jabar,Lentera Nusantara,Sunda Kiwari, DPKLTS, GEMPUR, GMBI,Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jabar Banten,Kesatuan masyarakat AKUR Sunda Wiwitan Jabar, KNPI Jawa Barat, dan dikesempatan kedepan terbuka bagi lembaga atau elemen masyarakat yang turut mendukung Petisi ini.

Jakarta, 18 Mei 2017

Narahubung :
Dewi Kanti 082111622292

No comments

Powered by Blogger.