SIKAP GEMA DEMOKRASI
VONIS PENODAAN AGAMA PADA AHOK, PEMBUBARAN ORMAS HTI SECARA SEPIHAK, DAN PEMBUBARAN PAMERAN SENI KARYA ANDREAS ISWINARTO ADALAH BENTUK PELECEHAN DEMOKRASI DAN KETIDAKADILAN JAKARTA, 9 MEI 2017 - Indonesia semakin menjauh dari negara demokrasi dan berkeadilan dengan rentetan tiga peristiwa dalam seminggu terakhir: vonis hukuman dua tahun penjara terhadap Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dengan menggunakan pasal penodaan agama, pembubaran ormas HTI secara sepihak, dan pelarangan pameran seni karya Andreas Iswinarto di Semarang dan Yogyakarta.
Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gema Demokrasi) yang terdiri dari lebih 80 organisasi masyarakat sipil dan sejumlah individu yang peduli pada demokrasi, mengecam keras ketiga peristiwa tersebut atas dasar:
Pertama, Indonesia adalah negara demokrasi yang di dalamnya menjunjung tinggi penegakan hukum yang berkeadilan (rule of law) serta nilai-nilai hak asasi manusia yang pemberlakuannya tidak pandang bulu. Artinya seluruh manusia di bumi Indonesia terhadapnya haruslah dipastikan penerapan prinsip-prinsip serta nilai-nilai hukum, demokrasi dan hak asasi manusia tanpa terkecuali.
Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gema Demokrasi) yang terdiri dari lebih 80 organisasi masyarakat sipil dan sejumlah individu yang peduli pada demokrasi, mengecam keras ketiga peristiwa tersebut atas dasar:
Pertama, Indonesia adalah negara demokrasi yang di dalamnya menjunjung tinggi penegakan hukum yang berkeadilan (rule of law) serta nilai-nilai hak asasi manusia yang pemberlakuannya tidak pandang bulu. Artinya seluruh manusia di bumi Indonesia terhadapnya haruslah dipastikan penerapan prinsip-prinsip serta nilai-nilai hukum, demokrasi dan hak asasi manusia tanpa terkecuali.
Kedua, Indonesia adalah rech staat (negara hukum) dan bukannya mach staat (negara kekuasaan) yang seharusnya tidak tunduk pada pendapat segerombolan orang (massa) yang melakukan tekanan baik terhadap hukum maupun otoritas pemerintah (mobokrasi)
Ketiga, atas vonis 2 tahun penjara kepada Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau dipanggil Ahok karena “terbukti melakukan penodaan agama” dan perintah Ketua majelis hakim Dwiarso Budi Santiarto untuk segera menahan Ahok, kami menyatakan bahwa pasal 156a KUHP ini pasal anti demokrasi yang tidak lagi kontekstual diimplementasikan pada negara demokrasi seperti Indonesia. Pasal ini adalah pasal yang sudah ketinggalan zaman, lahir di masa demokrasi terpimpin yang anti-demokrasi. Pasal ini juga termasuk pasal karet yang tidak memenuhi asas lex certa, lex scripta dalam asas legalitas pada hukum pidana. Hal tersebut mengakibatkan penafsiran terhadap pemenuhan unsur-unsur pasal sangat subyektif dan akhirnya melahirkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat Indonesia.
Keempat, selama ini pasal penodaan agama kerap menjadi alat represi kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas, hal ini ditandai dengan adanya pola yang sama sejak aturan ini dilahirkan, yakni tekanan masa pada setiap penggunaan pasal penodaan agama, sehingga putusan peradilan tidak lagi mengacu pada hukum yang objektif dan imparsial melainkan tunduk pada tekanan massa (rule by mob/mobokrasi).
Kelima, terkait dengan pembubaran ormas secara sepihak yang dilakukan pemerintah terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kami berpendapat pembubaran ormas adalah wajah terburuk dari demokrasi karena bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Sekalipun pembatasan dibenarkan, tetapi seharusnya itu merupakan upaya paling akhir pemerintah sebagai bagian dari penegakkan hukum dan pembatasan dan dilakukan dengan sangat terpaksa serta didasari dengan Undang-Undang serta alasan yang jelas atas pelanggaran yang dilakukan oleh sebuah ormas. Pembubaran juga tidak bisa hanya berdasarkan ujaran semata melainkan harus dibuktikan melalui proses peradilan yang adil, yang sebelumnya harus didahului dengan serangkaian tindakan administratif yang diatur oleh UU
Keenam, jika alasan pembubaran ormas karena ormas tersebut terindikasi melakukan pelanggaran hukum yang mengganggu ketertiban serta keamanan masyarakat berupa kejahatan/pelanggaran yang diancam dengan tindak pidana maka seharusnya dilakuan dengan memroses hukum ormas-ormas yang terbukti melakukan aksi kekerasan, bukan memberangus atas dasar perbedaan gagasan.
Ketujuh, kami mengutuk keras upaya pembubaran pameran karya seniman Andreas Iswinarto berjudul "Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa" di Pusham UII Yogyakarta dan di Gedung Sarikat Islam Semarang. Tuduhan berbau komunis dan aksi pembubaran yang dilakukan oleh ormas-ormas vigilante berbalut Pancasila dan Islam seharusnya bisa secara tegas ditindak pemerintah karena melanggar kebebasan berekspresi dan termasuk tindakan menyebarkan berita bohong. Kami mengecam aparat dan intel dari pihak Kepolisian yang hanya diam dan tidak melakukan tindakan apa pun serta merestui tindakan main hakim dari ormas-ormas vigilante tersebut, alih-alih melindungi lembaga yang menyelenggarakan acara pameran seni tersebut.
Dari ketiga peristiwa di atas, kami menyimpulkan bahwa pemerintah Joko Widowo saat ini sudah melecehkan demokrasi dan keadilan. Hukum tidak lagi menjadi panglima dalam proses bernegara. Negara dalam hal ini pemerintah dan lembaga peradilan justru memunculkan wajah yang tunduk pada vigilante serta tekanan kerumunan massa/mobokrasi. Saat negara tidak lagi tunduk dan taat pada prinsip rule of law pada saat yang sama negara sedang menghancurkan bangunan demokrasi yang ada.
Jakarta, 9 Mei 2017
Narahubung:
Pratiwi Febry : 081387400670
Damar Juniarto : 08990066000
GEMA DEMOKRASI terdiri dari:
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Asosiasi Pelajar Indonesia (API), Arus Pelangi, Belok Kiri Festival, Desantara, Federasi SEDAR, Federasi Mahasiswa Kerakyatan (FMK), Forum Solidaritas Yogyakarta Damai (FYSD), Garda Papua, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gereja Komunitas Anugrah (GKA) Salemba, Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (GSPB), Institute for Criminal Justice Reform (IJCR), Imparsial, Indonesian Legal Roundtable (ILR), INFID, Institut Titian Perdamaian (ITP), Integritas Sumatera Barat, International People Tribunal (IPT) ’65, Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Indonesia, Koalisi Seni Indonesia, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), KPO-PRP, komunalstensil, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar, Komunitas Buruh Migran (KOBUMI) Hongkong, Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), LBH Pers, LBH Pers Ambon, LBH Pers Padang, LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Padang, LBH Pekanbaru, LBH Yogya, LBH Semarang, Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Marjinal, Papua Itu Kita, Partai Pembebasan Rakyat (PPR), Partai Rakyat Pekerja (PRP), PEMBEBASAN, Perempuan Mahardhika, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Perjuangan Mahasiswa untuk Demokrasi (PM-D), Perpustakaan Nemu Buku – Palu, Pergerakan Indonesia, Politik Rakyat, Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI), PULIH Area Aceh, PurpleCode Collective, Remotivi, RedFlag, Sanggar Bumi Tarung, Satjipto Rahardjo Institut (SRI), Serikat Jurnalis Untuk Keragaman (SEJUK), Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), Sentral Gerakan Mahasiswa Kerakyatan (SGMK), Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN), Sloka Institute, Suara Bhinneka (Surbin) Medan, Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia (SeBUMI), Serikat Buruh Bumi Manusia-Nanbu (SEBUMI-NANBU), Solidaritas.net, Taman Baca Kesiman, Ultimus, Yayasan Bhinneka Nusantara, Yayasan Satu Keadilan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Manikaya Kauci, YouthProactive
dan individu-individu yang peduli pada masa depan demokrasi Indonesia antara lain: Agus Wahyudi, Irine Gayatri, Roy Thaniago, Whisnu Yonar, Rizky Harahap, Aji Trilaksmana, Aya Oktaviani, Shinte Galeshka
No comments
Post a Comment