Kiri Sosial membuka ruang bagi kawan-kawan yang ingin berkontribusi pada Kirisosial.blog. Kami menerima kontribusi dalam bentuk artikel terjemahan yang memuat tentang inspirasi gerakan yang partisipatif atau tentang inspirasi persatuan. Silahkan kirim terjemahan anda melalui inbox FB atau kirim melalui kirisosial@gmail.com. Terimakasih

KONDISI YANG MENYEBABKAN PEMOGOKAN UMUM DI BRASIL

Persatuan dan Pemogokan Umum
Roberto Véras de Oliveira 10 May 2017

Aksi mogok di Belo Horizonte, kota ke empat terbesar di Brazil

Pada tanggal 28 April, Brazil menjadi saksi terjadinya pemogokan umum terbesar sepanjang sejarah. Lalu, apa yang berubah setelah pemogokan? Bagaimana kelanjutan perlawananan terhadap pemerintahan Temer?

Pemogokan umum yang terjadi tanggal 28 April 2017 lalu terjadi 11 tahun paska pemogokan umum pertama. Selama kurun waktu tersebut, gerakan buruh secara aktif telah mewarnai sejarah perkembangan Brazil. Setelah dua dekade dibawah belenggu kediktatoran (1964-1985), dengan segala penganiayaannya, gerakan buruh memiliki peran yang menonjol dalam pembangunan proses demokratisasi dan keberhasilannya dalam memasukan isu-isu kesejahteraan sosial ke dalam undang-undang dasar yang direvisi tahun 1988. Diantara tahun 1983 hingga 1996, serikat-serikat buruh Brazil telah mengadakan enam kali pemogokan umum. 

Sejak awal, sudah terdapat dua model gerakan yang berbeda; yang pertama diwakili oleh Unified Workers' Central (CUT), yang terbentuk tahun 1983, pewaris "new unionism”—gerakan persatuan buruh yang muncul di tahun 1970—dan berafiliasi pada Partai Buruh (PT); kelompok satunya direpresentasikan National Conference of the Working Class (CONCLAT), yang dibentuk di tahun yang sama dengan dukungan sector-sektor pekerja yang terkait dengan konfederasi yang tergabung dalam CONCLAT, dan mengubah namanya di tahun 1986 menjadi General Confederation of Workers (CGT). Beberapa tahun kemudian, di tahun 1991, sebuah faksi dalam CGT membentuk Union Force (FS), yang mendukung pemandangan pragmatis neoliberal.



Aksi mogok di kota Salvador

Di tahun 1990, pemerintahan Fernando Collor de Mello dan Fenando Henrique Cardoso menerapkan program-program neoliberal pada kebijakan-kebijakan makro ekonomi yang menghambat terciptanya lapangan kerja baru: privatisasi, divestasi kepemilikian perusahaan jasa nasional, kebijakan pro pengusaha, anti kebebasan berserikat, dan lainnya. Dihadapi oleh resiko kenaikan jumlah pengangguran, informalitas pasar tenaga kerja, dan pemotongan upah, membuat para serikat buruh mengambil sikap defensif. Sampai batas yang maksimal, mereka sanggup memperjuangkan tuntutan-tuntutan buruh, tapi gagal memperlihatkan kepemimpinan politik yang menjadi karakter di masa lalu.

Dibawah pemerintahan Luiz Inácio Lula da Silva and Dilma Rousseff, negara melanjutkan jalur kebijakan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pendistribusian pendapatan. Kondisi kerja dan iklim politik yang lebih baik berdampak positif bagi peningkatan posisi tawar serikat buruh dan keterlibatannya dalam aksi politik yang berbeda. Tapi keadaan tersebut belum dapat mengembalikan peran politik serikat buruh seperti yang terjadi di tahun 1980.

Kemudian, sebagian kelompok yang memiliki posisi kuat di dalam CUT memutuskan untuk “menitipkan” program-program sosial dan ketenagakerjaan mereka pada pemerintah, dan ini berujung pada perpecahan internal. Faksi yang tidak sepakat dengan dukungan CUT pada pemerintah memisakan dan membentuk Trade Union and Popular Centre Conlutas (CSP-Conlutas), yang memiliki kedekatan dengan dua partai yang berpaham lebih kiri ketimbang partai PT; yaitu the Socialism and Freedom Party (PSOL) and the Socialist Party of Unified Workers (PSTU). Kemudian juga muncul Workers' Central of Brazil (CTB), yang memiliki kedekatan dengan Communist Party of Brazil (PCdoB).

Periode ke-dua pemerintahan Rousseff dimulai tahun 2015, di masa awal terjadinya krisis ekonomi dan serangan kubu konservatif, yang ditolong oleh media massamainstream dan didukung keberhasilan konsolidasi politik kekuatan sayap kanan di parlemen, sejalan dengan bergesernya dukungan lembaga yudisial ke kanan dan mobilisasi masyarakat kelas menengah dibawah panji “perlawanan anti korupsi”. Kepungan pada pemerintahan kiri-tengah terus berlanjut, dan berujung pada pemakzulan presiden Rousseff secara inskonstitusional. Penghakiman oleh parlemen, lembaga yudisial, dan media massa berlangsung antara bulan April hingga Agustus 2016. Dengan tersingkirnya Roussef, wakil presiden Michel Temer diangkat menjadi presiden dan ketua koalisi yang dipimpin oleh partainya, the Brazilian Democratic Movement Party (PMDB), dan juga partainya Cardoso, the Brazilian Social Democracy Party (PSDB), yang telah dikalahkan oleh partai buruh PT di 4 pemilu sebelumnya.

Krisis ekonomi pun semakin parah. Angka pengangguran naik jadi 13,7 % (setelah mencapai titik minimum, 4,8%, di tahun 2014). Capaian-capaian agenda kesejahteraan sosial dan politik diputar balik oleh pemerintahan Temer. Meski rendahnya angka dukungan dan adanya tuduhan korupsi pada kader-kader utamanya—termasuk sang presiden sendiri—, namun Temer tetap mendapat dukungan luas dari kongres dan media massa, yang memungkinkan dia melanjutkan program politiknya.
Jam-jam awal, aksi mogok di Sao Paulo

Pemerintah memiliki tiga prioritas. Pertama, penyesuaian fiskal, tujuan utamanya adalah mengurangi pengeluaran publik (sebuah amandemen Undang-undang yang membatasi pengeluaran anggaran untuk 20 tahun kedepan telah diloloskan, dengan satu-satunya pengecualian untuk alokasi pembayaran bunga hutang). Kedua, pengurangan hak-hak sosial dan buruh (sebuah Perpu dikeluarkan untuk memperluas pemberlakuan outsourcing bahkan hingga ke pekerjaan administrasi publik; beberapa perundangan tentang pasar tenaga kerja serta reformasi pensiun sedang dikutak-katik di kongres). Ketiga, mengintensifkan program privatisasi dan pengalihan perusahaan publik ke sektor swasta (salah satu tujuannya adalah asset-aset Petrobras dan area pertambangan mineralnya).

Yang menjadi target serangan bukan hanya kebijakan-kebijakan sosial pemerintahan Lula dan Dilma, namun juga hak-hak yang telah diakui dalam Undang-Undang Dasar tahun 1988 dan bahkan juga jaminan hak-hak sosial buruh yang ada pada Consolidation of Labour Laws (CLT)—Undang-undang ketenagakerjaan—yang ditandatangani tahun 1940. Hingga kini, rangkaian protes menentang kebijakan-kebijakan tersebut direpresi dengan cara kekerasan dan dikriminalisasi dengan didukung media-media massa mainstream. Skenario baru ini menempatkan tanggung jawab besar di pundak serikat-serikat buruh dan gerakan rakyat untuk melawan gempuran agenda konservatif ini.

Inilah yang menjadi latar belakang berbagai serikat pekerja (CUT, CTB, Inter-unions, CSP-Conlutas, UGT, Union Force, New Central, CSB and CGTB) dan gerakan raykat yaitu the Movement of Landless Rural Workers (MST), the Movement of Homeless Workers (MTST) and the Popular Movements Central (CMP), juga front-front rakyat lainnya melakukan pemogokan umum pada 28 April. Ini merupakan momen persatuan berbagai serikat pekerja bersama dengan kekuatan rakyat. Perlu dicatat, Union Force, walau terlibat dalam pemerintahan Lula namun mereka mendukung pemakzulan Roussef. 

Pemogokan umum ini berlangsung pada saat yang sangat menentukan. Pada hari Rabu sebelumnya, anggota kongres telah menyetujui rancangan undang-undang reformasi ketenagakerjaan yang diajukan pemerintah, yang sekarang sedang proses persetujuan senat. Reformasi sistem pensiun sekarang juga sedang digodok dan tinggal menunggu persetujuan kongres. Didukung oleh penggunaan sosial media yang intens, aksi protes tersebut mendapat dukungan awal dari beberapa serikat buruh penting seperti serikat pekerja perbankan, pekerja metal, minyak, dan pekerja sektor petrokimia, guru sekolah umum dan swasta, pekerja angkutan umum dan sepeda motor, dan petugas pos, konstruksi sipil, serikat kerja perdagangan, kesehatan dan perkotaan.

Pemerintah sendiri tetap ngotot pada roadmap programnya dan mengabaikan gerakan rakyat yang mulai mengkonsolidasikan diri. Media massa besar secara hati-hati menghindari penyebaran informasi mengenai pemogokan, yang secara umum penyebarannya dilakukan melalui media sosial. Dukungan para pastor dan uskup Katolik di seluruh megeri ditafsirkan sebagai sebuah perkembangan positif bagi pemogokan—sebuah perubahan sikap yang diperkuat oleh penolakan Paus Fransiskus terhadap undangan Temer pada perayaan ke-300 Our Lady Aparecida, pelindung Brazil. Selain menolak hadir, Paus menambahkan beberapa komentar kritis mengenai tindakan pemerintah yang memperburuk situasi kaum miskin di Brazil.

Pemogokan umum 28 April menghentikan berbagai aktivitas di penjuru negeri, yang diikuti dengan mimbar rakyat, pawai, blokade jalan, dan aksi massa. Pemerintah-pemerintah daerah yang berkoalisi dengan Temer memberi lampu hijau untuk tindak represif, dan Rio de Janeiro salah satu contohnya: polisi mencegah massa raly menuju ke alun-alun Cinelandia menggunakan gas air mata dan memukuli para peserta aksi. Di Goiás, seorang mahasiswa dipukuli oleh polisi hingga mengalami koma. Di São Paulo, tiga pimpinan MTST ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan melakukan tindak kriminal dan hasutan melakukan kekerasan. Dalam pernyataan para pejabat pemerintah, mereka menganggap aksi-aksi tersebut tidak sah dan cuma tindak kriminal: bagi menteri pertanian, pemogokan tersebut tidak penting; bagi Temer, itu hanyalah sekelompok kecil orang yang menghalangi jalan dan terminal yang didorong oleh penolakan mereka terhadap “modernisasi undang-undang nasional”. Sedang bagi media massa, awalnya mereka coba mengabaikan apa yang sedang terjadi, namun akhirnya mustahil menutupi fakta dan lebih memilih melaporkan bentrokan dan kerusakan-kerusakan yang terjadi di jalanan.

Panitia pemogokan mengatakan ada lebih 35 juta buruh yang terlibat dalam pemogokan, yang menjadikannya sebagai pemogokan terbesar sepanjang sejarah Brazil. Aksi mereka berlanjut dengan aksi perayaan May Day, dan memberi tekanan pada para deputi dan senator yang akan memilih atau menentang undang-undang tenaga kerja dan pensiun, juga sebagai persiapan bagi sebuah pawai besar persatuan di Brazil. Dan bagi kekuatan rakyat penentang serangan kubu konservatif, 28 April dianggap sebagai hari bersejarah dimana arus perjalanan negeri mulai berbalik mendukung kekuatan buruh dan rakyat.


Sumber : https://www.opendemocracy.net/

No comments

Powered by Blogger.